Andai Kisah ini Tiba di Mejamu

Serasa Sarasa
Chapter #46

Telah Aku Terbangkan Keberanian

"Ertha! Ertha!" 

Aku membuka mata setelah merasakan tubuhku diguncang dengan kasar. Orang yang pertama kali kulihat adalah Ulil, kenapa dia ada di sini? Sementara aku tadi merasa sangat tidak berdaya di tempat yang gelap dan hampir—syukurlah, ternyata aku di kamar indekosku. Aku akhirnya menghembuskan napas lega sambil mengucapkan rasa syukur jutaan kali di dalam hatiku. Untungnya, kejadian-kejadian mengerikan itu hanya mimpi. Bukan, bukan, itu semua kehidupan nyata yang pernah aku alami dan terulang kembali di dalam mimpi. 

"Mimpi buruk lagi, Er?" Aku bangun dari posisi tidurku saat Ulil bertanya dengan tatapan mata yang sendu. Ia tampak berkaca-kaca, membuatku mengernyit. "Er, aku nggak tahu sesakit apa masa lalumu. Tapi lihat kamu tidur sambil nangis, aku baru paham kalo hidupmu pasti berat, ya?"

Buru-buru tanganku menyentuh wajah. Ada jejak air mata di pelupuk mataku. Aku malu sekaligus merasa bersalah karena terus membuat Ulil melihatku dalam kondisi yang menyedihkan. Pasti dia berpikir bahwa aku adalah perempuan yang lemah. "Maaf, ya, Lil. Kamu jadi liat aku dengan kondisi kayak gini." 

"Jangan gitu. Jangan minta maaf, ini bukan salahmu." Ulil mengusap bahuku, tadinya aku hanya tersenyum tipis, tapi lama-lama kedua mataku merebak. "Kamu tahu? Kamu keren banget, Er, udah bisa bertahan sampai hari ini. Kamu adalah temanku yang paling keren sedunia. Kamu pintar, kamu kuat, kamu keren, kamu berbakat. Wah, pokoknya aku bangga banget bisa jadi salah satu teman baikmu, Er."

"Apa, sih? Jangan lebay, deh," kataku sambil tertawa. Meski akhirnya, pertahananku roboh dan aku menangis. 

Aku juga semakin terisak saat Ulil memelukku. Aku merasakan tangannya mengusap-usap punggungku sambil sesekali menepuknya. Tangisku tidak bisa berhenti, karena untuk pertama kalinya aku merasakan ketenangan di antara kehidupanku yang pelik melalui pelukan Ulil.

"It's okay, Er. Nggak apa-apa. Kamu ada di tempat yang aman kok sekarang. Kamu juga udah ada di masa depan, semua akan baik-baik aja. Apapun yang ada di mimpimu, itu semua cuma masa lalu, itu semua udah lewat. Semuanya cuma bunga tidur."

Ulil melepas pelukannya. Aku hanya bisa memandanginya tanpa bisa berkata-kata. Aku belum sanggup berkata apapun, karena pasti tangisku akan pecah lagi. Jadi, aku hanya bisa melempar senyum ke arahnya sambil mengangguk. 

Tidak lama, tawaku langsung mengudara di pagi hari yang cerah ini. Gara-gara Ulil yang menepuk bahuku dan mengomeliku seperti ibu-ibu. "Makanya, tiap mau tidur itu berdoa. Jangan sampai stres dan jangan pernah ingat masa lalu lagi, karena itu akan kebawa ke dalam mimpi. Daripada ingat yang buruk-buruk, mending kamu ingat-ingat aku aja. Pasti mimpimu lebih bahagia. Kamu pasti tidur sambil ketawa-ketawa." 

"Dih. Jangan sampai, deh, aku mimpi kamu. Nanti yang ada aku langsung bangun dan nggak bisa tidur lagi sampai pagi saking horornya," sahutku dengan jenaka, sembari tertawa. 

"Kamu pikir aku setan!" Ulil melempariku dengan lembaran tisue yang membuatku semakin terbahak.



Selesai mandi pagi dan sarapan, aku mengantarkan Ulil sampai ke depan bangunan indekosku. Perempuan berambut panjang itu, sudah menginap di kamarku selama dua hari tiga malam. Dia memang sering merasa kesepian di indekosnya sendiri, jadi dia kerap datang ke tempatku untuk sekadar menginap atau menghabiskan stok makananku. Lalu, sekarang dia mau pulang ke rumah—ibunya sudah kangen, katanya—makanya perempuan itu sudah bangun sejak pagi-pagi buta sampai-sampai dia bisa melihatku yang tidur dengan mimpi buruk.

"Er, kamu beneran nggak apa-apa aku tinggal sendirian?" Ulil yang sebelumnya sudah di atas motor kembali turun, ia menghampiriku lagi.

"Ya nggak apa-apa. Kenapa memangnya? Aku lebih bebas tanpa kamu di kamarku."

Lihat selengkapnya