"Aku izin menyumbang ide, ya. Gimana kalau kita bahas penggunaan bahasa krama versus bahasa slang di kalangan anak muda? Karena bahasa krama itu kan bagian dari sopan santun, terutama saat berbicara ke orang yang lebih tua atau dihormati. Tapi, bahasa slang bisa menunjukkan identitas anak muda dan mungkin dinilai kurang sopan."
"Bagus, Er! Aku setuju, anak-anak sekarang lebih sering menggunakan bahasa slang. Menurutku, bahasa slang memang mungkin lebih ekspresif dipake komunikasi dengan teman sebaya mereka," sahut Dian, salah satu teman kelompokku untuk tugas mata kuliah ini.
Aku menatap layar laptopku, menunggu respons dari teman yang lain. Lalu, aku melihat kotak hitam bernama Tama itu memberi reaksi angkat tangan. Tidak lama mikrofonnya terbuka.
"Menarik, terutama kalau dilihat dari perbedaan antar generasi dalam penggunaan bahasa. Aku setuju untuk pakai ide ini. Tapi gimana elaborasi fenomena ini dengan materi tugas kita, Er?"
Aku menarik kertas catatanku. Sejak pagi aku sudah mempersiapkan riset-riset kecil untuk menyumbang ide ini sebelum diskusi melalui Zoom.
"Dari yang aku pahami, dalam psikologi sosial, adaptasi terhadap lingkungan bahasa mencerminkan kebutuhan untuk diterima dalam kelompok sosial. Nah, bahasa slang menjadi semacam identitas kelompok, menjadi sebuah cara untuk menunjukkan keanggotaan mereka dalam sebuah komunitas. Dan ini jadi hal penting untuk perkembangan identitas sosial mereka. Sementara, bahasa krama yang lebih formal mungkin dianggap kurang relevan dalam konteks pergaulan sehari-hari. tetapi penting dalam konteks budaya dan hubungan antargenerasi."
Teman-temanku mengangguk setuju, mereka juga saling melempar pandangan-pandangan yang semakin memperkaya diskusi siang ini. "Terima kasih jawabannya, guys. Oke, kita langsung bagi tugas aja, ya?" tanya Ijah.
"Boleh," sepakatku dan teman-teman lain secara bergantian.
"Ertha, boleh minta diulang nggak, ya, tadi poin-poinnya apa aja sambil aku catat di Google Docs?"
"Oke, bo—"
Aku memutar bola mata saat jaringan di laptopku terputus. Layar di depanku sekarang tiba-tiba freeze dan aku terlempar keluar dari Zoom. Sesuai dugaanku, sinyalku pasti bermasalah saat hujan turun. Aku langsung mencari ponselku yang ada di atas kasur, hendak mengabari teman-temanku kalau aku terlempar dari Zoom Meeting.
Aku berdecak kesal saat melihat notifikasi email terpampang di tengah-tengah layar. “Akademik ini kenapa rajin banget kirim jadwal kuliah, sih? Orang besok masih hari Minggu, ini malah udah share jadwal buat kuliah Senin. Nggak pada libur kah mereka?”
Aku sudah terlanjur berburuk sangka, padahal email itu bukan dari akademik kampus. Melainkan—
[Chandra Kalani]
Indra benar-benar membalas pesanku!!!
Jantungku berdetak lebih cepat. Aku bahkan lupa memberitahu teman-teman kelompokku tentang sinyal yang putus. Sekarang, aku hanya bisa memandang ponselku dengan cemas yang tidak sengaja kulempar ke atas meja. Pikiranku penuh dengan berbagai skenario: Indra membalas dengan balasan yang baik atau justru menyakitkan. Tapi, aku tidak berani membuka ponselku lagi.
"Halo, Ertha, udah balik ke Zoom lagi belum, ya?"
"Ertha, Ertha, Ertha! Ayo, cepat balik Zoom, soalnya nasib diskusi ini di tanganmu."
Aku langsung tersadar ke dunia nyata lagi saat suara-suara di laptopku terdengar. "Oh, sorry, sorry. Maaf banget sinyalku buruk, hujan soalnya. Tadi sampai mana, ya?"