"Mo, menurutmu.... gimana kalau cewek confess duluan?"
Setelah sekian tahun tidak bertemu, aku akhirnya menghubungi Mora lagi dan mengajaknya bertemu di sebuah kafe kecil di sudut kota. Saat kami bertemu, reaksinya langsung seperti yang kuduga—mengomeliku. Alhasil, sepanjang satu jam pertama aku harus mendengarkan ceramahnya yang kusambut dengan senyum bersalah.
“Kenapa, sih, kamu jarang banget hubungi aku? Apa aku pernah ngelakuin sesuatu yang bikin kamu jaga jarak?” Ini ucapan pertamanya saat kita bertemu. Ia tidak repot-repot menutupi kekesalannya, tapi aku tahu dia tulus.
Aku sama sekali tidak bermaksud menjauhi Mora. Sebaliknya, aku takut mengganggu kesibukannya. Terutama di masa-masa terpurukku saat aku gap year dulu, aku tentu tidak mungkin mengganggu kebahagiannya menjadi mahasiswi baru.
“Tapi dulu, sebelum Jalila hilang, aku malah ngira kamu yang bakal hilang tanpa kabar dari aku dan Jalila, Er. Kamu bener-bener pendiam banget dan nggak pernah terbuka ke kami berdua. Ternyata dugaanku salah, malah Jalila yang hilang.” Mora mengibaskan tangannya. “Ya udah lah, pasti Jalila sekarang udah bahagia sama hidupnya. Tapi kamu—kamu jangan ikut hilang-hilangan juga! Pokoknya harus terus berkabar sama aku.”
Aku terus mengiyakan ucapan Mora yang terus menerus menekankan agar aku tidak menghilang tanpa jejak dari hidupnya. Baru setelah aku kesal karena dia tidak percaya dengan ucapanku, Mora akhirnya menyerah menggodaku. Ia menanyakan bagaimana kabarku dan sebagainya sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk menceritakan hal gila yang telah aku lakukan.
"Kamu mau confess?" Aku menyengir. "Ya nggak apa-apa, dong. Banyak kok teman-temanku yang confess ke cowok duluan. Bahkan, ada temanku yang tetap confess ke cowok yang sudah punya pacar. Tapi kamu jangan sampai gitu, ya! Pastiin dulu cowoknya nggak punya pacar."
"Kayaknya, sih, nggak punya pacar, ya," jawabku ragu. Kemarin-kemarin aku lupa mempertimbangkan ini sebelum menyatakan perasaan ke Indra. Tapi entah kenapa aku yakin dia jomlo, semoga. "Sebenarnya, aku udah confess sih, Mo," gumamku pelan.
Bibir Mora membola. "Udah confess?! Ke siapa?!"
"Hei! Kok bisa-bisanya kamu nggak pernah cerita soal ini? Kenapa nggak pernah bilang ke aku sama Jalila, sih, Er?!"
Aku meringis mendengar omelannya lagi. "Panjang ceritanya. Kamu juga nanyanya satu-satu aja!"
"Oke, oke." Mora terlihat mengubah posisi duduknya, menghadapku secara penuh. "Pertama, kamu confess ke siapa?"
"Ke kakak kelas, anak Focus, namanya Mas Indra."
Mora mengangguk. "Terus kenapa nggak cerita?"
"Ya karena.... waktu itu Aura juga suka sama Mas Indra. Aku nggak tahu, sih, aku atau dia duluan yang suka sama Mas Indra, tapi Aura udah duluan koar-koar di kelas. Bahkan, dia selalu curhat ke Kevin—di mana Kevin ini kenal dekat sama Mas Indra. Ya, udah. Aku merasa nggak punya kesempatan untuk bilang ke siapapun."
"Mas Indra itu yang mana, sih?" Aku mengeluarkan ponsel, menunjukkan foto Indra dari laman media sosialnya. "Oh…, yang ini. Dia yang ngefoto kita pas ikut convoi DBL ke GOR yang waktu kita masih kelas 10 itu, kan?"
Aku mengangguk malu, ternyata Mora ingat momen itu juga. Tapi untungnya dia tidak sadar kalau aku salah tingkah waktu itu. "Oke, terus kamu confess-nya langsung ngajak ketemuan?"
"Enggak.” Aku langsung menggeleng horor, bahkan aku menertawakan diriku sendiri. “Mana aku berani? Aku confess-nya lewat email anonim karena aku pengen move on. Aku udah bikin kalimatnya dari bulan Desember lalu, terus mau aku kirim ke November, rencananya."
"Lama banget dari Desember ke November. Nggak sekalian dikirim pas Desembernya aja biar pas satu tahun?"
Aku meringis. "Tapi nggak jadi. Udah aku kirim seminggu yang lalu."