Andai Kisah ini Tiba di Mejamu

Serasa Sarasa
Chapter #50

Ketidakberuntungan yang Baik

Aku menyerahkan sebuah cup es coklat ke arah Jalila. Kami duduk berpayung pohon di depan sekolah. Hari ini cuaca lebih panas dari biasanya. Dan hari Senin selalu menjadi hari yang paling melelahkan—bagiku yang kini telah menjadi siswa kelas dua belas—karena ada jadwal try out. Iya, kami dibebaskan dari upacara hari Senin, tapi sebagai gantinya kami wajib mengikuti try out Ujian Nasional. Sungguh sebuah nasib yang tidak bisa dihindari.

“Lah…, itu Tama.” Aku menunjuk Tama yang keluar dari gerbang sekolah dengan motornya tanpa berhenti dan mengajak Jalila pulang bersama seperti biasanya. “Kalian nggak pulang bareng?”

“Kita udah putus, Er.” 

“Putus?” tanyaku, tak percaya. Aku bingung harus merespons bagaimana karena selama ini aku melihat mereka berdua baik-baik saja. Kenapa bisa tiba-tiba putus? “Kok bisa?”

Jalila hanya mengangkat bahu, ekspresinya datar, seakan dia tidak punya emosi—sekadar rasa sedih atau kecewa untuk diperlihatkan dan diungkapkan. “Ya, biasa lah.”

“Udah seminggu yang lalu,” sambungnya lagi yang membuatku semakin terdiam. Tapi perempuan yang baru saja memangkas rambutnya menjadi sebahu itu malah tertawa. “Jangan bahas itu. Masa aku yang putus, kamu yang sedih.”

“Kamu sendiri gimana? Masa iya tiga tahun sekolah nggak naksir siapa-siapa?” 

Aku menyengir. “Nggak ada.”

“Ada, Er,” katanya.

“Nggak ada, La,” sahutku.

“Ada.”

“Nggak ada.”

 “Ada!”

“Ish! Orang nggak ada kok ngeyel, sih!” sebalku, setelahnya kita berdua sama-sama menertawakan obrolan aneh ini. 

“Padahal kalo ada juga nggak apa-apa, loh,” katanya lagi sambil melirikku. Aku hanya mengangguk sambil menyeruput es coklatku, berusaha untuk tidak goyah dan menceritakan soal Indra padanya. 

“Kamu mau lanjut ke mana, La, rencananya?” tanyaku, membunuh hening yang tercipta di antara kita. Sebetulnya karena tiba-tiba aku teringat Indra, biasanya ketika aku minum es coklat di sini sambil menunggu bus datang, aku kerap melihat Indra mengendarai motornya masuk ke dalam sekolah. Saat-saat itu, Aura sedang membolos dari kumpul rutin Focus dan mengira Indra tidak datang kumpul juga. Padahal Indra selalu datang, datang setelah kumpul selesai. 

“Sama kayak kamu, aku mau ambil psikologi juga di kota sebelah,” jawabnya dengan senyum lebar. Aku ikut mengembangkan senyum dan mengangguk dengan sangat antusias saat ia kembali berkata, “nanti kita sama-sama terus, ya.”

“Kamu satu-satunya orang yang aku percayai, Er. Aku juga percaya kok sama Mora, tapi kalo sama kamu, tuh, aku lebih nyaman buat ngomong apapun. Mau keputusanku salah atau benar kamu nggak akan ikut campur. Kayak tadi, kamu nggak nanya alasan kenapa aku sama Tama putus. Makanya aku belum bilang siapa-siapa, kecuali sama kamu, karena aku yakin aku bakal pusing meladeni pertanyaan soal itu. Kayak mereka bakal peduli aja, padahal mereka cuma kepo doang!” 

Aku merasa tersanjung karena mendapat kepercayaan Jalila sebesar itu. Dan mungkin karena ucapannya itu juga, aku juga menaruh kepercayaan yang besar pada Jalila. Tanpa berpikir panjang aku menceritakan soal Indra.

“Kenapa baru ngomong?!” protesnya. Aku menceritakan juga soal Aura, tidak lupa juga membahas soal dukungan Naya dan Kevin untuk perempuan itu. Namun, bukannya setuju dengan sikapku yang memilih mengalah, Jalila berubah menjadi Mora yang mulai mengomeliku. “Hei! Kenapa harus mundur dan minder? Astaga…, kalau dibandingin kamu sama Aura, ya, pasti bakal menang kamu lah, Er! Kamu anggun, dia bar-bar. Tipe-tipe ceweknya Indra tuh kayak kamu!”

Mendapat dukungan besar dari Jalila membuatku agak sedikit merasa terbuai. Tapi aku buru-buru menepisnya, buat apa? Orangnya juga sudah lulus. Kita tidak akan pernah bertemu lagi. 

“Harusnya kamu ngomong dari awal, biar aku bantu. Aku kan juga kenal sama dia, Er. Ada Tama yang bisa bantu juga—dulu.”

Aku meringis. “Udah bener gini, deh, La. Kalo misal aku juga koar-koar apa nggak makin parah hubungan kita sama Naya. Soal kemaren aja, dia malah ikut sensi ke kamu.”

“Kalo itu ya biarin! Orang dia yang salah juga kok, ubah keputusan seenak jidat.” Emosi Jalila mendadak meluap-luap. Ia bahkan sampai meremat gelas plastik di genggamannya yang sudah tak bersisa itu. “Asal kamu tau, Aura itu dulu naksir sama Tama, Er, tapi yang jadian sama Tama malah aku.”

Aku sontak menganga mendengar fakta itu. Antara percaya dan tidak percaya kalau Aura harus terjebak pada perasaan cinta segitiga. Untung dengan Indra tidak harus begitu, meski akhirnya perasaannya sama-sama tak terbalas.

“Jadi kalo misal kamu bilang Naya sensi sama aku setelah aku bela kamu waktu itu, itu salah. Dia udah sensi sejak awal aku jadian sama Tama.”

Mulutku sudah kehabisan kata-kata. Selama ini Jalila memendam semuanya sendiri tanpa bercerita kepada siapapun. Hari ini kami menceritakan banyak hal, soal apapun itu dibahas oleh Jalila sampai ibunya datang menjemput. Ia juga menjanjikan banyak hal, berangan-angan agar kebersamaan kita terus berlanjut sampai nanti kita berkuliah. 

Namun, satu hal yang tidak pernah kusadari, bahwa sehari setelah hari ini Jalila sudah tidak lagi menepati janjinya. Ia banyak membolos, banyak mangkir dari jam pelajaran, dan menghilang dari kehidupanku secara perlahan-lahan.



Minggu, Januari 2019

"Pulang, yuk!"

"Yuk, aku nggak sanggup kalau harus nunggu pengumuman try out sampai jam tiga," sahut Aura menyetujui ajakan Naya. 

"Aku juga mau ikut pulang, deh, daripada duduk lesehan di sini. Panas!" gerutu Mora. "Yuk, ikut pulang, Er!"

Lihat selengkapnya