Andai Kisah ini Tiba di Mejamu

Serasa Sarasa
Chapter #51

Menarikku Pada Pertemuan Yang Layak

2023, satu tahun setelah confess.


Seharian ini aku hanya menghabiskan waktu di kamar, tenggelam dalam tumpukan buku dan catatan kuliah. Bukan untuk belajar, tetapi sekadar untuk mengisi kekosongan ruangan yang terasa terlalu sunyi. Aku merasa suntuk dan kehilangan motivasi untuk melakukan sesuatu. Rasanya aku sudah kehilangan arah, bahkan aku menghentikan segala tulisanku, termasuk novel yang pernah aku ceritakan kepada Indra. Bukan karena kehabisa ide, tetapi karena setiap kata yang kutulis justru menumbuhkan harapan—harapan bahwa mungkin, ceritaku dengan Indra bisa lebih dari sekadar tulisan. Harapan itu yang aku takuti karena melenceng dengan tujuanku yang ingin move on.

Sebenarnya, aku tahu akar dari demotivasiku ini. Tugas-tugas kuliah yang semakin menumpuk, beradu dengan keinginanku untuk berkarya. Aku ingin memotret, membuat puisi dari setiap hal yang kutemui, tapi bayang-bayang akademik selalu membelengguku. Aku takut jika terlalu larut dalam keinginanku, aku akan melupakan semua tanggung jawab yang ada. Namun akhirnya, semuanya hanya mengendap di kepala. Keinginan dan kekhawatiran itu justru menghilangkan semangatku untuk melakukan apapun.

Meja belajar yang biasanya menjadi pelarian kini terasa seperti tempat penyiksaan. Laptop yang sejak pagi terbuka langsung kututup begitu saja sebelum kemudian aku menjatuhkan badan di atas kasur. Aku tidak punya pilihan lain selain menghabiskan waktu dengan membuka media sosial yang semakin membosankan. Seolah-olah orang-orang di dunia maya itu saling berlomba-lomba memamerkan keberhasilan hidup mereka kepadaku yang tak punya progres apa-apa.

Namun, berbeda dengan unggahan yang sedang aku pandangi ini, aku tidak merasa ia sedang menyombongkan diri. Sebaliknya, aku merasa bangga dan selalu berbahagia untuknya. Indra yang tersenyum lebar dalam balutan toga, berdiri gagah di depan kampusnya. Aku merasa sangat senang melihatnya berhasil mencapai titik itu. Ia berhasil mencapai mimpinya, sesuatu yang dulu pernah menjadi mimpiku juga. Namun, aku hanya bisa menatap foto itu dengan cukup lama. Menahan diri untuk mengucapkan selamat kepadanya. Bukan karena tidak peduli, tetapi karena aku terus meyakinkan diri untuk belajar melepaskan. Mengucapkan selamat hanya akan menambah euforia perasaan yang berusaha kututup.

Aku tidak mengerti, magi apa yang ia berikan di dalam foto itu—senyumnya, mungkin—yang entah bagaimana memberikan energi positif untukku. Aku tiba-tiba merasa harus bangkit. Semangat yang sempat hilang berhari-hari, kini memenuhi hatiku. Membuatku berdebar-debar untuk menjalani hari dengan penuh semangat. 

Sambil merapikan buku-buku yang berserakan, pikiranku melayang, membuat target kelulusanku sendiri. "Aku harus bisa sidang skripsi di akhir tahun ini dan merayakan wisuda di awal tahun depan." 

Selesai membereskan kekacauan yang ada, tanpa ragu aku segera menuliskan mimpiku yang baru saja tercipta. Pada lembar yang lain aku menuliskan targert baru untuk diriku. Aku menempelkan lembar demi lembar di dinding, menatapnya lama dan mengamininya dengan serius di dalam hati. 

“Aku pasti bisa,” gumamku, sambil memeluk diriku sendiri, menenangkan debaran hantung yang kini terasa hidup kembali. “Nikmati prosesnya: baik dan buruknya, ringan dan beratnya hari yang akan aku lalui. Aku pasti bisa.” 

Lagi-lagi, aku akan selalu mengingat senyum Indra hari ini dan terus membawanya sampai aku selesai dengan prosesku. Aku ingin merasakan kebanggaan yang sama, mengenakan toga dan berdiri di depan gedung universitas dengan kepala tegak, aku akan bangga kepada diriku sendiri dengan semua kerja keras yang tidak pernah sia-sia.


⁂​


"Emang kita bisa, ya, lulus tepat waktu?" 

Kami berkumpul di kantin, lengkap dengan formasi biasa: Aku, Ulil, Nona, dan Ijah. Setelah beberapa minggu sibuk dengan urusan masing-masing, akhirnya kami bisa menikmati makan siang bersama. Dan seperti biasa, obrolan-obrolan kita pasti akan selalu terselip satu keresahan yang keluar dari mulut Nona. 

"Bisa, dong, kenapa enggak?" jawab Ulil santai, ia menyendok makanannya tanpa terpengaruh kekhawatiran Nona. Ulil memang bukan tipe orang yang terlalu ambil pusing dengan masa depan. Baginya, selama dia bisa menjalaninya, ya, dia akan menjalaninya dengan semampunya. 

"Na, kalau tepat waktu yang kamu maksud adalah lulus dalam empat tahun, ya, pasti bisa lah,” tambah Ijah. “Kita semester ini aja udah siap-siap proposal skripsi. Apalagi kita masih di tahun ketiga semester. Jadi pasti bisa selesai skripsi dalam waktu satu tahun."

"Aku, kok, nggak yakin, ya? Emang semudah itu nulis skripsi?" keluh Nona, ia masih terlihat gelisah.

"Nggak tau juga, sih, Na," sahutku. "Tapi aku malah bikin target selesai kuliah dalam waktu tiga setengah tahun."

Sontak mereka melongo dan aku cuma bisa tertawa. Pasti mereka akan menyebutku gila. Tapi aku tidak peduli. Kita hidup dengan timeline masing-masing. Aku punya rencana hidupku sendiri. Kalaupun targetku meleset, aku yakin melesetnya akan sangat sedikit dari yang sudah aku rencanakan.

"Gila, ambis banget!" ungkap Nona sambil geleng-geleng kepala. "Emang bisa, ya?"

Lihat selengkapnya