Andam Karam

Windi Liesandrianni
Chapter #1

Bab 1: Rumah (1)

Di dalam rumah terdapat kehangatan yang berisi;

Kepercayaan seorang ayah yang tak bisa digantikan oleh apapun;

Kasih sayang seorang mamah yang tak bisa ditukar oleh apapun;

Maka dari itu ...

Pertahankanlah ...”

“Hei, anak bayi. Kamu begitu cantik,” ucap seorang wanita yang telah resmi mendapatkan gelar baru. Gelar yang akan melekat erat dalam raga dan jiwanya, gelar yang akan menjadi madrasah pertama.

“Masya Allah, orok teh lahir gumelis,” puji seorang wanita yang membantu persalinan wanita muda yang baru saja mendapatkan gelar abadinya.

Di usia yang masih terbilang muda, ia telah melahirkan seorang anak dengan paras yang begitu cantik. Hidung yang persis dengan seorang lelaki yang berada di sampingnya, lelaki gagah dengan paras rupawan yang baru saja mendapatkan gelar barunya. Gelar seorang ayah, gelar yang akan menjadi cinta pertama untuk anak gadisnya hingga akhir hayat.

“Saya akan kasih nama dia, Aluna,” ucap lelaki bergelar ayah itu, Bagas namanya. Ia memberikan nama itu dengan suara indahnya, usai mengumandangkan adzan dan iqomah untuk anak pertamanya.

Mereka yang menyaksikan itu turut mendoakan. Orang zaman dulu, kalau ada yang melahirkan selalu mengumandangkan doa-doa dan pujian-pujian untuk anak yang baru lahir, dengan harapan anak itu tumbuh dan besar menjadi sosok yang bermanfaat untuk orang sekitar, memiliki kesopanan yang berbudi luhur, indah, cantik, tampan, hingga menjadi sosok yang sehat jasmani dan rohani.

Bagas tiada hentinya menggendong anak pertama yang bernama Aluna, sang istri Fitri tak kalah bahagianya. Keluarga kecil itu telah dimulai dari titik ini, titik yang akan menjadi perjalanan kehidupan anak itu, perjalanan yang tak akan ada akhirnya hingga menemukan kehebatan yang sempurna dari Sang Maha Kasih Sayang.

***

“Neng Aluna,” panggil Fitri dengan suara lembutnya. Tatapannya terkunci pada sosok bayi yang kini telah beranjak usia enam bulan.

Perubahannya begitu nyata, kini bayi itu tumbuh menjadi bayi yang sehat dan gendut. Pipi seperti bakpau, bayi itu terlelap usai kenyang mabuk ASI dari sang ibu.

Fitri tiada hentinya mengelus rambut kecil itu, jari jemarinya tak mau kalah ia mencubit gemas pipi anak pertamanya sambil berbisik indah. “Kamu tidak mau bangun kah? Ini hari pertamamu makan.”

“Lho, anak itu masih lelap ternyata? Padahal ini hari pertama dia makan lho, dari kemarin nangis pengen nyoba buah pisang. Eh, malah terkunci dimimpi,” kata Bagas dengan nada mengejek.

Lihat selengkapnya