Anderpati : A Time Travel To Kanigara

Fitria Yundiana
Chapter #2

Anderpati [01]

Bandung, 17 April 2020.

Alunan musik keroncong tugu1 dari balik radio tua milik Narto berhasil menarik perhatian Wani untuk kesekian kalinya. Baginya, pria paruh baya itu tampak eksentrik dan berbeda—alih-alih terbius arus musik zaman kiwari. Kebiasaan Narto yang bagi sebagian orang dianggap kuno itu justru menjadi salah satu dari sekian alasan mengapa Wani bersahabat baik dengannya.

Pagi ini, Wani membungkus rapi rambut basahnya dengan handuk merah muda, sembari membubuhkan sedikit losion aroma melati sisa 10 bulan yang lalu ke tangannya. Gadis itu tampak sederhana, berbalut gaun santai berwarna cokelat mahoni sebatas lutut, dengan rambut sebahunya yang selalu ia biarkan tergerai. Tidak ada polesan bedak bermerek mahal di atas kulit wajahnya, apalagi lensa mata buatan yang rasanya hanya mengganggu pandangan saja. Wani memilih tampil apa adanya, sesederhana ibunya menamai gadis cantik itu, Ambawani.

Terlepas dari berapa lama wanita mampu menghabiskan waktu untuk memperelok diri, Wani hanya memakai 5 menit dari 24 jam untuk memoles dirinya di pagi hari. Tidak ada semerbak wangi saat gadis itu berlalu pergi, aura cantik dan baik sudah terpancar alami dari perangainya yang lemah lembut.

Dilangkahkannya sepasang kaki jangkung menyusuri gang padat penduduk menuju sebuah rumah tua di ujung Gang Padat Karya. 'Rumah tusuk sate', kata sebagian orang yang beranggapan bahwa membangun rumah dengan pintu utama menghadap mulut gang adalah hal yang dihindari—'membuat malapetaka', begitu bunyi takhayul yang merebak di kalangan masyarakat Indonesia, tapi Wani hidup dalam lingkup keluarga yang tidak terlalu memercayai mitos, pun dengan Narto yang notabenenya adalah adik dari ayah Wani.

Lonceng kecil dari perunggu itu berbunyi tatkala Wani membuka pintu berkerai tipis di hadapannya. 'Dorong', begitu kata yang tertera di gagang pintu kayu ini, dan setelah pintu terbuka, tampak sebuah ruangan yang penuh dengan buku berjejer rapi dalam rak-rak kayu jati. Aroma buku menguar ke dalam indra penciuman Wani, salah satu aroma terwangi kedua setelah aroma soto Bandung buatan ibunya.

"Néng2 Wani, sesuai jadwal dan selalu tepat!" seloroh Narto bersemangat. Wani tersenyum lalu menggeser sebuah kursi rotan dan mendudukinya.

"Ada yang baru, Mang?"

"Makrifat Daun-daun Makrifat, karya Kuntowijoyo, di rak nomor 7, tingkat kedua, buku paling ujung." Tangan Narto menunjuk-nunjuk tempat yang ia maksud dari posisinya saat ini yang sedang mengelap piringan kaca klasik.

"Buku-buku di sini selalu terdengar menarik," puji Wani diselingi senyum simpul. Gadis itu beranjak dan berjalan pelan menyusuri tiap-tiap rak buku. Wani selalu haus akan ilmu, takdir yang menyuratkan bahwa ia harus putus sekolah selepas ayahnya wafat 3 tahun lalu justru semakin memantik bara penasarannya.

Mata Wani berpendar menjamah deretan buku berdebu, sesekali tangannya menyapu beberapa serbuk abu dan meniupnya ke udara. Setelah sekian menit mencari, sebuah buku bersampul putih berhasil menarik perhatiannya, disorongnya satu buah buku paling ujung itu, dan terlihatlah buku rekomendasi dari Narto.

"Sudah diberi arahan di mana buku itu tersimpan, kamu masih saja mencari-cari dari rak ke rak. Kadang aku bingung, kamu ini gak mau dengar kata orang atau gimana?" tanya Narto sambil mengganti beberapa lagu keroncong melalui tombol radionya.

Wani terkikik. "Mang, Mamang3 itu kan ngasih informasi, Wani anggap itu sekadar anjuran, bukan berarti Wani wajib langsung mampir ke rak itu. Oh iya, Mang, omong-omong itu rak sudah banyak debunya," urai Wani, disambut gelengan kepala dari Narto.

Lihat selengkapnya