Lorong Waktu.
Wani tersadar bersamaan dengan lilitan sulur yang semakin mengerat—terlalu menekan pada bagian persendian tubuhnya. Ngilu dan pening sangat terasa di kepala—apapun itu definisinya, rasa sakit yang dialami Wani sekarang seolah seperti lilitan ular yang teramat kencang.
Ia mengedipkan mata berkali-kali, berusaha melihat dengan betul walaupun pandangannya sekarang sedikit mengabur. Wani seperti tengah memasuki sebuah terowongan panjang tak berujung, tanah memadat membentuk lubang yang cukup besar dan mengisap tubuhnya, aroma serupa petrikor pun cukup dominan di sini.
Tekanan dari benda yang melilitnya semakin menyesakkan dada, desiran darah yang mulai tersendat pun membuat tubuh gadis 19 tahun itu semakin pucat dan lebam di beberapa sisi yang tertekan. Rasanya pengap, rentetan kejadian ini membuat peluh membanjiri sekujur tubuhnya.
"Ah! Cahaya! Ada cahaya di depan sana!" teriak Wani saat sebuah cahaya putih tampak di balik pelupuk mata. "Tahan Wani! Tahan! Jangan pingsan! Sedikit lagi terowongan sialan ini berakhir!" lanjutnya menyadarkan diri sendiri yang sudah benar-benar kepayahan.
Kecepatan sulur yang mencerucup ini semakin meningkat—menyeretnya semakin kuat. Angin yang tadinya membelai halus kini berubah menjadi angin kencang yang semakin membuat luka di tubuh Wani terasa amat perih. Gadis itu seolah menyerah, tak kuasa lagi bahkan hanya untuk menatap ke arah cahaya. Tubuhnya kembali melemah, menyisakan kebisingan di telinganya tatkala sulur itu mulai menggores dinding terowongan yang mulai mengecil. Wani kembali tak sadarkan diri sesaat setelah matanya yang terpejam sedikit menangkap cahaya yang mulai jelas dan benderang.
Seiring tubuh Wani yang mulai terkulai parah dihabisi gravitasi, ribuan merpati memadati ujung lubang terowongan yang sangat panjang—seolah menyambut kehadiran Wani di negeri antah-berantah. Ribuan merpati ini berusaha menopang tubuh Wani dengan kompak, 5 lainnya berusaha mematuki sulur yang mulai terhenti di ujung terowongan agar segera melepas bebas tubuh gadis malang itu. Mereka—merpati putih itu seolah mengerti, kemana setelah ini tubuh Wani harus diistirahatkan.
Tanpa gadis itu sadari, kini tubuhnya dibaringkan di atas padang rumput yang luas. Angin kembali membelai lembut kulit Wani, membuatnya yang semula pingsan karena kesakitan, kini ingin terlelap dengan nyaman. Seekor merpati hitam besar datang dari arah utara—di mana tubuh Wani dihadapkan. Mata merpati itu merah rubi, kontras dengan warna bulunya yang hitam keabuan. Merpati hitam terbang memutari kepala Wani, mematuki dahi gadis itu, membuat tubuhnya menggeligis begitu hebat dan tak tertahankan.
Saat matanya masih terpejam, Wani mulai bisa merasakan ada benda tajam tengah menyentuh keras dahinya. Wani membuka mata, dan betapa terkejutnya ia saat melihat merpati sebegitu banyaknya. Impulsif—Wani mengibaskan kedua tangan di atas wajah ketika mendapati ribuan merpati itu mengelilinginya.
"Ah tidak! Merpati Nakal! Enyah! Enyah!" teriaknya histeris diselingi nyeri di area kepala. Merpati pun berhamburan ke udara. Wani yang panik, lantas duduk secara spontan. Pandangannya beredar—menelisik di mana sekarang dirinya berada. Hingga betapa terkejutnya ia saat berbalik badan, menemui raganya masih terkulai lemas di atas rerumputan.
"Hah?! Apa ini?! A-aku? Aku mati?!"
Dan Wani kembali ambruk di atas tanah. Entah berapa kali gadis belia itu tak sadarkan diri, yang ia tahu, saat ini dirinya amat kelelahan dan bingung.
Rumah Sakit Umum Kanigara, 28 Juli 2045.
Retina dari mata beriris cokelat tua itu menangkap sorot cahaya lampu yang begitu kuat, membuatnya mengerjap berkali-kali karena pusing yang ditimbulkan dari spektrum cahaya ini begitu kentara. Direnggangkannya tangan yang terasa jauh lebih berat dari biasanya. Ada rasa nyeri saat jari jemarinya berusaha ia gerakan, menimbulkan gesekan antara kulitnya yang tergores lebar di sana sini dengan kain penutup ranjang yang ia tiduri saat ini.
Matanya berpendar sekali lagi, menampilkan ruangan luas bercat putih bersih. Ada perasaan bingung acap kali ia memerhatikan sekitarnya.