Dua buah bola mata saling bersitegang, menatap masing-masing dengan nyalang. "Hei! Suster 'cantik', apa yang salah denganku?!" batin Wani dengan memberi tekanan.
"Ah terima kasih banyak! Kamu baru saja terkejut mendengar kata 'ayah'. Sama sekali tidak mengingatnya?"
Wani menggeleng dengan raut wajah pias yang semakin kentara. "Ayah siapa?" Pasalnya, ayahnya telah wafat 3 tahun yang lalu.
"Um sudahlah, harusnya aku mengerti, kamu ini baru saja terbangun dari koma. Jangan khawatir, ingatanmu akan pulih dalam beberapa waktu lagi. Sekarang, biarkan aku menyelesaikan tugasku, ya."
Wani hanya mengangguk pasrah. Dokter cantik itu menusukkan sebuah spuit1 dengan jarum suntik yang tidak terlalu besar di atas lipatan tangannya, kemudian beberapa detik setelahnya sebuah cairan merah kental muncul mengisi rongga-rongga benda silinder itu, membuat Wani meneguk liurnya perlahan.
"Untuk apa?" tanya Wani khawatir. "Memangnya aku ini sakit apa?"
"Kamu baru saja terbangun dari koma, Sayang. Setidaknya aku harus mengecek keadaan terkini dari pasienku." Selesai memeriksa Wani, perawat itu menaruh alat-alatnya kembali di sebuah meja medis, kemudian pamit undur diri.
"Jaga kesehatanmu, aku yakin Ayahmu sebentar lagi akan datang. Istirahat yang cukup. Dan ... jangan terkejut dengan layar itu lagi, ya!" Wanita itu berlalu pergi dengan senyum manis yang kembali menghiasi wajahnya.
Wani menggerak-gerakkan tangan, melipat dan meregangkannya secara stagnan, pegal rasanya. Sedetik kemudian, gadis malang itu merebahkan badan di atas kasur empuk dan sangat bersih. Lambat laun matanya semakin mengendur, melemah, dan terasa gatal akibat kantuk yang mendera dengan secepat kilat.
"Hoam. Tidur memang lebih baik, setidaknya aku bisa segera mengetahui kalau semua ini cuma mimpi!" batin Wani diselingi mulut yang menguap berkali-kali. Baru saja matanya hendak mengatup, seseorang memanggilnya dengan suara nyaring.
"Halo gadisku!" diiringi derap langkah kaki yang cepat.
Mata Wani kembali terbuka seraya menarik napas dengan sangat dalam. "Sial!" umpatnya.
Sesosok pria tambun, berbadan gempal, dan berpakaian jas hitam di luar, ditemani kaus putih di dalam menatap Wani dengan tajam. Pria itu tersenyum, walau tidak semanis senyuman milik perawat yang baru saja pergi tadi. Mata wani terpaku, nyaris bibirnya tidak menutup.
"Pria yang tidak menawan," seloroh batinnya. Selepas itu, yang dilakukan Wani hanyalah menghitung berapa jumlah rambut yang ada di kepala si pria, tampaknya tidak terlalu banyak untuk dikatakan 'setumpuk rambut'.
"Terlalu banyak hari yang Ayah lewatkan tanpamu, Nak." Akhirnya pria itu membuka mulut mungilnya, memang tidak presisi dengan dua tumpuk pipi di kanan dan kiri.
Wani mengernyit heran, kemudian pria itu kembali melanjutkan, "Hampir saja Ayah memesan peti mati untukmu." Wani terkejut, ia meneguk salivanya dengan cepat.