ANDIN NABILA

Eddy Tetuko
Chapter #5

Perburuan Dimulai


Hermanto seorang konglomerat, pengusaha sukses. Baru pagi tadi pulang dari Singapore untuk urusan bisnisnya, sempat tidur istirahat setibanya di rumah. Sekarang sudah terbangun, tidak mendapati siapa-siapa, Baik istrinya, maupun anaknya, Andin Nabila.

“Anto!" Memanggil Anto dengan nada tinggi.

“Saya, Juragan!" Dengan sigap, Anto sudah di depan Bapak Hermanto.

“Mana Ibu, Andin, pergi ke mana mereka?"

Tergagap Anto menjawabnya, “Anu, Juragan. Ibu tadi, bilangnya mau pergi kerumah temannya. Ibu Dewi yang menjemputnya. Sedangkan Andin, pergi sendiri ke mall, naik taksi tadi, Juragan.“

“Andin pergi ke mall sendirian naik taksi? Kenapa tidak kamu antar?“ Hermanto mulai berang.

“Anu, Juragan ... tadi saya sudah siap mengantarnya, tapi Andinnya maunya pergi sendiri, pengen naik taksi bilangnya.“ 

Pasti Iuragannya akan marah besar membiarkan Andin pergi sendirian, tanpa di kawal olehnya. Padahal itu tugas utama Anto, dipekerjakan di sini.

“Anu ... anu, kamu ini mulai bego, ya, sekarang! Telepon Andin, terus jemput sekarang juga!" Mulai marah-marah.

Segera Anto menelepon Andin sesuai perintah majikannya. Entah kenapa kali ini, jari jemari Anto terasa gemetaran ketika hendak menelepon Andin. Anto, sejak tadi memang sudah was-was.

Bersamaan dengan itu, Hermanto menelepon istrinya.

“Hallo, Ma, lagi dimana, sekarang?"

 "Ini Mama lagi di rumahnya, Jeng Dewi, tadi mau pamit, Papa masih tidur. Sebentar lagi Mama pulang, kok, Andin sudah pulang, Pa?"

“Belum juga, Anto bilang Andin pergi sendiri ke mall, naik taksi, Mama tahu, Andin pergi sendiri, tadi?"

“Iya, tadi Mama suruh Anto mengantarnya, tapi anakmu maunya pergi sendiri. Sudah jam segini belum pulang juga? Sebentar Mama telepon Andinya, Pa."

Percakapan terhenti, istrinya Hermanto memutuskan menelepon Andin segera, ingin tahu keberadaan putri kesayangannya.

Tidak tersambung! 

Mulai panik, memutuskan buru-buru pulang kerumah.

Ibu Dewi melihat gelagat ini bertanya, "Ada apa, Jeng, kelihatannya, gelisah begitu?"

"Itu, lho, tumben-tumbenan anakku, Andin, belum pulang juga, mana pergi sendirian, tidak bisa dihubungi lagi. Aku pamit pulang dulu, tolong rapatnya nanti, Jeng, Dewi wakili saya, ya."

"Ya, ya, Biar sopir saya antar Jeng, pulang, nanti saya kabari hasil rapatnya." Ibu Dewi merasa khawatir juga.

"Pak, Dirman, Sini! Cepat antar Ibu Hermanto ini pulang."

"Aku pamit dulu, ya, perasaanku, nggak, enak ini."

"Tenang saja, Jeng. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa."

Sementara di rumah, Hermanto kembali bertanya kepada Anto.

“Ada di mana ,Andin?"

Dengan raut wajah ketakutan, Anto menjawab.

“Teleponnya Neng Andin, tidak aktif Juragan, sudah berkali-kali tadi saya hubungi. Di luar jangkauan!" 

Anto, merasakan ada yang tidak beres. Sekarang Hermanto sendiri menghubungi putrinya. Jawabannya sama saja . Tidak ada nada panggilan terjawab. Sunyi, senyap! Hermanto mulai gundah.

“Ada apa, ini! Jam berapa tadi, Andin pergi?”

“Sekitar jam sembilan pagi, tadi, Juragan.“ Sambil melihat jam tanganya.

“Kamu itu ceroboh sekali! Bapak, kan, sudah bilang berkali-kali, temani Andin, ke mana dia mau pergi. Kenapa kamu biarkan, dia pergi, sendiri? Lama-lama saya pecat, kamu!"

Baru kali ini Anto dimarahi majikannya, sepertinya marah besar dengan dirinya. Ayahnya merasa khawatir, kenapa jam segini, Andin, belum pulang juga ke rumah. Berarti sudah hampir tiga jam lamanya, Andin meninggalkan rumah sendirian.       

Hermanto mencoba beberapa kali lagi, tetap saja tidak tersambung. Hampir tidak pernah terjadi seperti ini, biasanya akan cepat merespon, apa bila Mama, atau Papanya menghubunginya.

Anto sopir pribadi kepercayaan keluarga Bapak Hermanto, sempat dipuji atas keberaniannya menggagalkan usaha pencurian kaca spion ferrari, milik Juragannya. Kali ini mulai luntur!

Majikannya memarahinya habis-habisan. Padahal sebetulnya bukan Anto yang salah. Bukankah kemauan Andin sendiri, berniat pergi sendirian tanpa ditemani oleh Anto.

Kembali Hermanto menelepon istrinya.

Lihat selengkapnya