ANDIN NABILA

Eddy Tetuko
Chapter #11

Menjelang Matahari Terbenam


Matahari sudah mulai tenggelam, menyisakan cahaya emas berkilau di ufuk barat. Lama menunggu uang tebusan sampai saat ini tidak juga kunjung datang. 

Arphan mulai gelisah, tangan sudah mulai terasa pegal, sedari tadi menggenggam sepucuk pistol mengarah ketengkuk Andin. Tidak gentar dengan gertakan Kapten Jatmiko malah balik mengancam, apa bila dalam tempo setengah jam uang satu milyar belum juga tersedia, Anto akan di tembak mati di tempat.

Ancaman ini tidak main-main, Arphan, telah membuktikan, dua temannya sendiri telah ditembak, salah satunya tewas seketika, dua butir peluru menembus jantungnya.

Anto sedang cidera mengalami pendarahan membutuhkan pertolongan medis, Andin mengusulkan agar Anto diperbolehlkan mendapat perawatan untuk mangobati luka di deritanya, setidaknya untuk dapat mengurangi pendarahan. Namun Andin serba salah untuk mengutarakan niatnya, tadi barusan di bentak.

“Emang, dia pacar, lo!”

Apa tidak mungkin Arphan akan semakin beringas dibakar rasa cemburu, mengetahui Andin begitu perhatian dengan Anto, padahal Anto bukan apa-apanya, sebatas sopir pribadi keluarganya.

Memang sejak Anto bergabung dengan keluarga Hermanto, selalu menunjukkan sikap yang baik, santun, ringan tangan, rajin dalam bekerja, nyambung kalau diajak ngobrol, lucu logat bicaranya. 

Sehingga tidak heran keluarga Hermanto menyukainya, demikian juga Andin. Tdak merasa mentang-mentang, anak pengusaha kaya, terus bersikap sombong terhadap karyawannya, baik itu pembantu rumah tangganya, security penjaga rumah. Juga dengan karyawan-karyawan, dari beberapa perusahaan dimiliki orang tuanya. 

Apa lagi terhadap Anto, percakapan mereka bedua terlhat cair tidak ada perbedaan kelas seperti itu, malah Anto dianggap sebagai bagian dari keluarganya. Anto sering melontarkan candaan-candaan lucu membuat Andin suka tertawa geli.

Melihat kondisi dialami Anto, sekarang ini, iba rasa hatinya, gara-gara dirinya ingin di dampingi oleh Anto. Dengan adanya Anto di sampingnya rasa takut, cemas, tegang, berkurang. Merasa terlindungi oleh Anto.

Pemuda di belakang sepertinya terus mencecar Anto, bahkan mengancam akan menembak. Dikhwatirkan oleh Andin, Anto, akan dijadikan tumbal untuk memuluskan rencana pelariannya.

Perjalanan drama penyanderaan ini masih akan panjang dirasakan, dialaminya, banyak kemungkinan-kemungkinan buruk bisa saja terjadi. Sulit di prediksi akhir dari penyanderaan ini. 

Bisa dibayangkan rasa takut Andin, seorang gadis muda, terbiasa bergaul dengan orang baik-baik, tidak pernah mengalami tindak kekerasan dari siapa pun, sejak kecil sampai dewasa. 

Tiba-tiba mendapati rentetan kejadian mengerikan, persis di depan mata sendiri, Dirinya di ancam dua buah pisau terhunus, oleh dua pemuda tidak dikenal, dengan wajah menakutkan. Dari mulutnya tercium bau alkhol terasa mau muntah, jijik, bukan alang kepalang. Tidak sepantasnya dialami oleh seorang gadis seperti Andin.

Suasana mencekam dialami datang silih berganti sejak itu, di perlakukan tidak senonoh, bayangan akan di perkosa oleh ketiga pemuda berandal itu, menghantuinya selama dalam masa masa penyanderaan.

Merasakan betapa sakitnya digampar sampai berdarah, seumur-umur belum pernah ada seseorang melakukan hal itu kepadanya, nyaris saja di perkosa oleh Gudel. Emosi kejiwaannya dikuras habis-habisan, mengikuti detak jarum, jam. Terasa panjang melelahkan, tidak berkesudahan.

Saatnya Andin tidak bisa diam begitu saja, gejolak emosinya sudah tidak tertahankan lagi.

“Maaf, Bang, bukan apa-apa, Anto butuh pertolongan. Abang, tahan melihat darah? Andin tidak tahan Bang, mual, mau muntah, pusing rasanya. Biar Andin, bersihkan darah di jok ini. Boleh, minta tissue di belakang itu, Bang.” Memberanikan diri mengutarakan.

Bukannya menghargai keperdulian Andin, malah membuat Arphan semakin cemburu buta, “Biar dia bersihin sendiri, ngapain,lo, pake bantuin dia segala. "Sambil melempar segepok tissue di dalam plastik ke wajah Anto.

“Biar Neng, Anto, bersihkan sendiri.”

Mulai menyeka darah di pelipisnya, membersihkan darah berceceran di jok, depan, bawah karpet. Kemudian membuang tissue melalui kaca jendela.

“Kalau, lo, macam macam lagi, gue, habisin, Anak belagu macam, lo, itu, pantas mendapat pelajaran. Ngarti kagak, lo!" Sedari tadi menggunakan logat betawi.

“Ngarti, bang.” Anto ikut-ikutan, padahal dalam hati, kesalnya minta ampun

Masih juga mendamprat Andin, “Lo, medingan kagak usah banyak bacot deh, gue, udah spaning tahu gak!”

Gantian Andin yang dibentak.

Andin tidak terima dibentak, “Andin tadi cuma kasih saran saja, Bang, Terima kasih, Abang sudah turutin, rasa mual, pusing Andin sudah berkurang. Abang, tidak usah spanning, percaya saja sama Andin. Papa, Andin, pasti akan menyiapkan uang diminta sama Abang, sebentar lagi.”

Nekat, berani betul Andin ini, sudah di suruh diam, malah nyerocos terus. Jangan dikira Andin wanita lemah, semut saja kalau diinjak akan marah.

Sudah tidak percaya lagi dengan janji manis diutarakan, “Mana buktinya? Sampai sekarang belum ada juga. Gue, tunggu sampai lima belas menit lagi, kalau belum datang juga, gue, tembak betulan pacar, lo!”

Andin merasa risi, pelaku selalu menyebut Anto, sebagai pacarnya, kalau anggapan itu terus menghinggapinya, bisa saja pelaku semakin bertambah brutal, terutama kepada Anto.

“Ya, ampun, dari tadi Abang bilang pacar-pacar melulu. Anto bukan pacar Andin, Abang, jangan salah paham. Anto itu, sopir pribadi keluarga yang bawa mobil ke mana-mana, Papa, pergi, Anto yang mengantar.”

Dasar pelaku sudah konslet otaknya tidak bisa menerima sanggahan Andin, “Bodo Amat! Tadi, gue suruh, lo, diem, kenapa ngebacot terus, bisa diem kagak sih, loe!. Dasar cewek murahan!."

Wah, semakin ngawur saja ucapan dan tindakan pelaku, sekarang sudah mengarah ke pelecehan, disertai tindakan kekerasan terhadap wanita.

Tidak saja merendahkan martabat Andin, dengan keji menyebut Andin sebagai wanita murahan, malah menjambak juga rambut Andin. Karena tadi Andin meyakini, Papanya, akan segera membawa uang tebusan dimintanya, belum juga terbukti sampai saat ini.

Merasa tersinggung berat dibilang cewek murahan. Kini Andin, lebih berani lagi bicara, sudah tidak takut lagi dengan ancaman pelaku.

“Abang, jangan sembarang mengatai Andin itu cewek murahan! Andin itu, datang dari keluarga terhormat. Kualat nanti, Abang!" sambil menahan emosi.

"Andin sendiri menghargai Abang, Abang tidak inget, waktu menghampiri Andin direstoran pagi, tadi? Abang janji, mau mengantar pulang. Andin percaya sama Abang, sampai menelepon Abang. Apa itu, namanya tidak menghargai, Abang?" Andin mencoba mengingatkan Arphan .

"Andin, cuma perempuan lemah Bang, tapi Andin, tidak mau direndahkan, dibohongi, seperti itu, apa lag disakiti. Andin sudah berikan semua uang ada di kartu. Andin juga merasa bersyukur, Abang, telah menyelamatkan Andin, hampir saja di nodai oleh teman Abang. Andin ikut berdoa semoga teman Abang yang meninggal tadi, diampuni dosa-dosanya."

Tidak bisa dipungkiri dibalik kebringasannya, Arphan beberapa kali melindungi Andin, dari kebrutalan kedua temannya. Seperti mengunci Andin di dalam mobil, agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh Jarot, dan Gudel. 

Lihat selengkapnya