Namun apa bila ini gagal, artinya pelaku juga mampu memuntahkan pelurunya bersamaan tepat kesasaran. Anto juga akan tewas seketika, sebelum dirinya sendiri terkapar di bawah lantai.
Bayang-bayang ketakutan akan terjadi pada dirinya menghantui Anto. Masih terus di bawah todongan pistol siap menyalak.
Posisi dirinya saat ini tidak menguntungkan, membelakangi pelaku, menyulitkan Anto untuk dapat berbuat sesuatu.
Sebenarnya Anto bisa saja melakukan perlawanan seketika, mengingat dirinya memiliki sedikit ilmu bela diri, memiliki juga keberanian untuk melakukan itu.
Namun pistol membidik kepalanya harus dipikirkan matang-matang oleh Anto sebelum bertindak, kalau dirinya tidak ingin mati konyol.
Detik demi detik terus berlalu, keheningan di luar sana semakin terasa mencekam, Persiapan penyerbuan akan segara dilakukan, tinggal menunggu perintah komando!
Tiba-tiba Anto memiliki gagasan.
“Boleh saya menghubungi komandan, saya akan bantu Abang, keluar dari sini.”
Sejak tadi memang tidak ada komunikasi sama sekali, radio maupun ponsel sengaja dimatikan oleh pelaku, bahkan ponsel milik Andin, masih dikuasi olehnya, tidak dikembalikan! Dasar tidak tahu di untung.
Berpikir sejenak, akhirnya membolehkan Anto menghubungi komandan, tapi tidak melaui radio, melainkan menggunakan ponsel milik Andin.
Tiba-tiba ponsel Kapten Hermanto berdering, terpampang foto, nama, Andin di layar.
“Iya, Andin masuk.” Dikira Andin yang menghubunginya.
“Hallo, komandan, Ini dengan Anto, bisa di dengar suara, saya?”
“Terdengar, teruskan!”
“Pelaku meminta sebuah helikopter segera didatangkan, mendarat di samping mobil. Tidak boleh ada siapa-siapa di dalamnya, juga senjata selain pilot helikopter itu sendiri.”
Tidak di jawab, telepon langsung ditutup oleh Kapten Hermanto. Anto tidak terlalu yakin dengan ide ini akan berhasil, tapi hanya itu satu satunya jalan keluar dari kepungan rapat.
Sebuah helikopter tidak mungkin akan terkejar oleh polisi. Pelaku senang bukan main dengan ide Anto ini.
“Gile, encer juga otak, lo, ... gini bro, gue, ada tawaran buat, lo.”
Tiba-tiba, entah ada angin apa, mulai bersikap lunak kepada Anto, tidak manggil, “Lo” lagi, tapi, “Bro,” saudara.
Pasti ada maunya, betul juga.
“Bro, .. tahu, berapa uang gue, dapetin ini. Satu Milyar, cuy ..., banyak, kan? Gue, mau berbagi asal, lo, mau kerja sama ama, gue. Bantuin lari dari sini ntar, lo, ikut." Mulai merayu Anto.
"Kita suruh pilot terbang jauh, nanti ketemu tempat sepi, suruh pilotnya mendarat di situ. Kalau perlu, pilotnya kita tembak sekalian, biar gak bisa ngejar kita lagi." Mulai menghayal.
"Terus kita kabur berdua bawa ini uang, paham maksud, gue, bro? Kalau berhasil kita bagi ini uang, separo-separo. Setuju, bro?"
Tawaran yang menggiurkan, “Lima Ratus Juta," masing-masing bisa buat beli rumah, atau mobil keluaran terbaru. Arphan mencoba mempengaruhi, tapi Anto tidak tertarik dengan tawaran itu …. Mustahil pikirnya.
Insting Anto mengatakan Kapten Jatmiko tidak akan membiarkan pelaku kabur dari sini, Reputasi jabatannya dipertaruhkan, apa bila gagal menyelesaikan masalah ini secepatnya. Apa kata dunia nanti?
Pelaku harus mempertanggung jawabkan perbuatan dilakukannya, menculik, menyandera seorang gadis. Membunuh, mencabut nyawa seseorang, melakukan tindak kekerasan dengan menciderai beberapa orang, memiliki senjata api ilegal, melarikan kendaraan bukan haknya.
Terakhir menguasai uang senilai, Satu Milyar, juga bukan haknya. Akan di kenai beberapa pasal. Berkemungkinan penjara lebih dari dua puluh tahun lamanya, bahkan, bisa terancam hukuman mati, apa bila sandera terakhir ikut tewas, akibat perbuatannya!
Tidak ada opsi lain dibenak Anto, selain megusulkan kabur menggunakan helikopter, merupakan pilihan terbaik untuk kabur dari sini.
Tapi mustahil, Kapten Jatmiko akan memenuhi permintaan ini. Terlalu mahal, berkhayal terlalu tinggi, Menginginkan seperti adegan film, Hollywood saja layaknya.
“Lebih baik kehilangan ikan Mujair, daripada kehilangan ikan Kakap.”
Nah, lo. Bisa gawat, nih! Dirinya yang menjadi perumpamaan sebagai ikan mujair, Sedang Arphan, sebagai ikan kakapnya.
Jadi berkemungkinan besar, Anto akan menjadi tumbal, demi membekuk sang pelaku. Hidup, atau Mati!.
Saat ini Anto merasa dirinya bukan siapa-siapa, terlalu jauh bila dibandingkan dengan Andin. Putri seorang konglomerat begitu dihormati semua kalangan.
Siapalah dirinya? Hanya seorang sopir pribadi, bekas tukang ojek, bukan juga dari kalangan orang berada, atau berpangkat. Orang tuanya hanya seorang petani biasa. Apa yang bisa dibanggakan dari seorang Anto?
Anto selama ini dipuja oleh majikannya karena keberaniannya, di segani di antara teman-temannya sejawatnya. Sekarang mulai kehilangan kepercayaan diri. Merasakan ajal akan menjemputnya sebentar lagi.
Tidak berdaya dibelakang kemudi di bawah todongan sepucuk pistol, siap menyalak saat pelaku merasa terdesak, terancam jiwanya.
Melakukan perlawanan bakal sia-sia saja, pelaku tidak bisa dianggap enteng, apa lagi sedang memegang senjata api, dirinya tidak membawa apa-apa.