Di layar komputer, kata-kata muncul berderet, terbentuk oleh jemari Andini yang terampil menari di atas papan ketik. Setiap ketukan membawa cerita yang penuh makna, namun di balik deretan kalimat itu, ada beban tak kasat mata yang menyertai. Di luar jendela kantornya, Kota Makassar menderu dengan kehidupan yang tak pernah benar-benar tidur—klakson bersahutan, kendaraan melaju seakan berpacu dengan waktu, dan sinar matahari sore membelai lembut jalan-jalan yang dipenuhi pejalan kaki dan penjual di tepi trotoar. Kota itu hidup, berdenyut seperti nadi yang tak henti mengalir, dan Andini, sebagai jurnalis, adalah salah satu denyut penting di dalamnya.
Kehidupan di dunia jurnalistik adalah panggilan yang membawa kebebasan dan tantangan yang tak terukur. Setiap harinya, Andini menyelam ke dalam realitas yang seringkali tersembunyi di bawah permukaan, menelisik cerita yang belum diceritakan, membongkar fakta yang sengaja diselimuti. Ada kebanggaan dalam pekerjaannya—menjadi saksi mata sejarah, mencatat kejadian-kejadian penting yang kelak akan tertoreh dalam lembaran-lembaran masa depan. Dunia terus berubah, dan Andini ada di garis depan, menulis, menganalisis, menyampaikan.
Namun, di balik semua itu, Andini menyimpan sesuatu yang hanya dia dan satu orang lagi yang tahu—Bima. Hubungan mereka tidak dimulai dengan letupan besar, melainkan seperti api kecil yang pelan-pelan menyala dan menghangatkan. Bima, seperti dirinya, adalah seorang jurnalis. Mereka sering bertemu di lapangan, saling menyapa sekilas, berbagi ruang kerja meski di media yang berbeda. Namun, takdir mempertemukan mereka lebih dekat di sebuah konferensi pers yang kala itu meliput isu besar di kota.
"Jurnalis, ya? Pekerjaan yang selalu penuh kejutan," ujar Bima saat perbincangan pertama mereka benar-benar dimulai. Suaranya lembut namun penuh keyakinan, seperti seseorang yang sudah terbiasa menghadapi ketidakpastian dunia.
Percakapan yang awalnya hanya berkisar soal berita dan tekanan pekerjaan lambat laun berkembang menjadi lebih personal. Dalam Bima, Andini menemukan seorang teman yang mengerti lika-liku dunia jurnalistik, seseorang yang dapat diajak bicara tanpa harus menyaring kata-kata. Mereka berbagi cerita tentang tekanan deadline yang tak pernah habis, kisah-kisah di balik layar yang tak diketahui publik, dan perjuangan mereka menjaga integritas di tengah hiruk-pikuk dunia media. Dari pertemanan yang tumbuh, muncul keakraban yang lebih dalam, dan sebelum mereka sadar, benih-benih asmara pun bersemi.
Bima adalah sosok yang tenang, seseorang yang membawa rasa nyaman hanya dengan kehadirannya. Di tengah riuh rendah kehidupan sebagai jurnalis, ia adalah oase bagi Andini—tempat di mana dia bisa melepaskan semua tekanan tanpa perlu merasa dihakimi. Senyum Bima yang lembut dan caranya berbicara yang penuh pemahaman menjadikan hubungan mereka semacam pelarian dari kelelahan hidup.
Namun, tidak ada yang abadi. Seiring berjalannya waktu, Andini mulai merasakan ada sesuatu yang berubah. Hubungan mereka, yang dulu hangat dan penuh dengan percakapan panjang hingga larut malam, perlahan terasa renggang. Bima sering kali terlihat sibuk, terlalu tenggelam dalam pekerjaannya atau mungkin dalam pikirannya sendiri. Andini mendapati dirinya menunggu pesan-pesan Bima yang dulu begitu sering datang, tetapi kini mulai jarang. Ada kekosongan yang perlahan merayap di antara mereka, sebuah jarak yang sulit dijelaskan, namun semakin hari semakin nyata.
Bima masih hadir dalam hidupnya, tapi tidak lagi dengan cara yang sama. Percakapan mereka yang dulu penuh makna kini terasa dangkal, seolah-olah hanya berputar di permukaan. Ada banyak hal yang tak lagi dibicarakan, banyak cerita yang tak lagi dibagi. Andini mulai bertanya-tanya dalam kesunyian malam yang semakin panjang, apakah hubungan mereka benar-benar seperti yang selama ini ia bayangkan? Apakah ia telah menjadi bagian dari hidup Bima, atau hanya sekadar pengisi waktu yang bisa saja tergantikan kapan pun?
Pertanyaan-pertanyaan itu menghantuinya, meresap perlahan ke dalam relung hatinya yang terdalam. Dalam setiap sapaan Bima yang terdengar biasa saja, Andini merasa ada sesuatu yang hilang—keintiman, kejujuran, dan keterbukaan yang dulu mereka miliki. Bima semakin menjauh, baik secara fisik maupun emosional. Sering kali, Andini ingin bertanya, ingin mencari jawaban dari semua kebingungannya, namun sesuatu menahannya. Mungkin rasa takut akan jawaban yang tidak ingin ia dengar. Mungkin juga karena ia tahu, di dalam hati, sesuatu sudah berubah, dan tidak ada kata-kata yang bisa memperbaikinya.
Dalam keraguan itu, Andini mencoba bertahan, berpegang pada kenangan-kenangan manis yang mereka bagi bersama. Ia berharap jarak ini hanya sementara, bahwa mungkin Bima sedang sibuk dengan pekerjaannya, atau mungkin dia sedang menghadapi sesuatu yang belum sempat dia ceritakan. Tapi hari demi hari, jarak itu semakin melebar, seolah-olah ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka. Dinding yang dibangun dari keheningan, dari ketidakpastian, dan dari rasa sakit yang perlahan-lahan menggerogoti hati Andini.
Di tengah kerumitan ini, Andini menemukan sedikit penghiburan dalam pekerjaannya. Menyelam ke dalam berita-berita investigasi yang kompleks memberinya pelarian dari kekacauan emosional yang sedang ia alami. Setiap pagi ia bangun, mempersiapkan diri untuk hari yang penuh dengan liputan dan wawancara, mencoba mengalihkan pikirannya dari Bima, dari hubungan mereka yang entah akan berakhir di mana.
Tetapi seperti gelombang pasang yang tak terhindarkan, perasaan itu selalu kembali. Dalam keheningan malam, ketika suara kota mulai mereda, hanya ada dirinya dan pikirannya sendiri. Bima, yang dulu adalah segalanya, kini menjadi teka-teki yang tak bisa ia pecahkan. Dan dalam setiap jeda yang hening di antara mereka, Andini merasa seolah-olah sedang kehilangan sesuatu yang sangat berharga, namun ia tak tahu bagaimana cara meraihnya kembali.
Suatu hari, ketika Andini sedang berada di meja kerjanya, layar komputer menyala dengan cahaya yang menyorot wajahnya yang lelah. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Bima. Harapan kecil menyelinap di hatinya, berharap pesan itu akan membawa kejelasan atau setidaknya percakapan yang lebih dari sekadar basa-basi. Namun, pesan itu hanya satu kalimat pendek, penuh dengan kekosongan yang semakin memperdalam rasa kecewa di hati Andini.