Andini

Andika Paembonan
Chapter #2

Retak yang Tak Terelakkan

Hari-hari berlalu seperti angin yang enggan membawa kelegaan, dan Andini, meski mencoba sekuat tenaga untuk mempertahankan sisa-sisa harapannya, kian hari kian merasa tersesat. Hubungan dengan Bima, yang dulu terasa manis dan penuh gairah, kini seperti sebuah cermin retak, merefleksikan kenyataan pahit yang enggan dihadapi. Setiap kali mereka bertemu, Bima selalu tampak tergesa-gesa, seolah pikirannya mengembara ke tempat-tempat yang tak dapat dijangkau oleh Andini. Jarak yang dulu tak pernah ada, kini terasa nyata, meluas dengan setiap detik yang berlalu, meninggalkan Andini dalam kesepian yang begitu menyakitkan. Bagaikan berjalan sendirian di dalam hubungan ini, ia semakin merasakan kehampaan yang perlahan-lahan menggerogoti kebersamaan mereka.

 

Bima, yang di awal hubungan adalah sosok yang penuh perhatian dan kehangatan, kini hanya menyisakan bayangan samar dari pria yang pernah mengisi hatinya. Ketika mereka berbicara tentang pekerjaan, mata Bima masih bersinar, penuh semangat bercerita tentang proyek liputannya yang ambisius, investigasi-invasi mendalam yang selalu menuntut seluruh energinya. Tapi begitu percakapan mulai menyentuh hal-hal pribadi, Bima seperti menghindar. Pembicaraan yang dulu penuh makna berubah menjadi obrolan datar yang nyaris tidak berarti.

 

Andini merasa seperti terjebak dalam ruangan yang semakin menyempit. Hubungan mereka bagaikan bangunan yang berdiri di atas pondasi rapuh—menunggu waktu untuk runtuh sepenuhnya. Tapi kapan? Itulah yang tak bisa ia jawab. Malam demi malam, ia menatap layar ponselnya yang kosong, berharap ada pesan dari Bima yang memberi kejelasan, namun yang datang hanyalah keheningan yang menyakitkan. Kadang ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah Bima masih mencintainya, atau apakah cinta itu sudah hilang tanpa ia sadari?

 

Satu malam, Andini duduk di mejanya, menatap layar komputer yang penuh dengan kata-kata yang tampak kabur oleh pikirannya yang berkelana. Artikel yang ia tulis tidak lagi terasa mengalir dengan lancar seperti dulu. Hatinya begitu kacau, dan jari-jarinya seakan kehilangan semangat untuk mengetik. Namun tenggat waktu tak mengenal perasaan. Seperti prajurit yang dipaksa bertarung dalam perang tanpa akhir, Andini melanjutkan pekerjaannya, mencoba menyelesaikan artikel investigasi yang memeras tenaga dan pikirannya.

 

Teleponnya bergetar pelan di meja, menampilkan pesan singkat dari Andri, rekan kerja yang selama ini menjadi penopang emosionalnya dalam senyap.

 

“Kamu masih di kantor? Liputannya sudah selesai?” 

 

Andri adalah seorang jurnalis yang selalu bisa diandalkan. Di tengah-tengah tekanan pekerjaan yang tak berkesudahan, ia sering menjadi tempat Andini berbagi cerita. Mereka tidak hanya berbagi kisah-kisah investigasi yang pelik, tetapi juga lelucon-lelucon ringan yang bisa membuat hari-hari berat terasa lebih mudah. Namun, malam itu, Andini tahu bahwa apa yang ia butuhkan dari Andri bukan sekadar obrolan ringan tentang pekerjaan. Ada sesuatu yang jauh lebih dalam yang ingin ia ungkapkan, sesuatu yang sudah lama terpendam dalam dadanya.

 

“Iya, masih di sini. Lagi lembur nih. Kamu?” balas Andini, menahan segala kekalutan yang berusaha merayap keluar dari hati.

 

Lihat selengkapnya