Andini

Andika Paembonan
Chapter #3

Kenyataan yang Menyakitkan

Pagi itu, ketika sinar matahari menyelinap di antara tirai kamarnya, Andini merasa berat. Ada sesuatu yang menggantung di udara—sesuatu yang tak terucapkan namun jelas menekan. Tubuhnya terasa lemah, seolah-olah jiwanya telah terkurung di dalam sangkar keraguan dan ketidakpastian yang selama ini mengintainya. Malam-malam penuh kegelisahan, pesan-pesan yang tak pernah terjawab, dan bisikan di benaknya tentang Bima kini mulai terwujud dalam bentuk nyata yang menyakitkan.

 

Ponselnya tergeletak di meja samping tempat tidur, dan saat ia mengambilnya, ia tahu akan ada sesuatu di sana yang akan merubah segalanya. Sebuah pesan muncul dari layar, berdering pelan seperti detik-detik yang membawanya ke dalam jurang perasaan yang tak terhindarkan.

 

“Din, aku lihat Bima tadi malam di acara gathering media. Dia bareng perempuan itu lagi, kayaknya mereka dekat banget.”

 

Mata Andini terpaku pada kata-kata itu, memaknainya dengan lambat, seolah-olah otaknya menolak menerima kenyataan yang terbentang di depannya. Pesan itu terasa seperti tamparan yang tak ia duga, meski di sudut hatinya ia tahu, kebenaran ini sudah lama mengintai. Namun, ketika kenyataan menyusup ke dalam kesadarannya, rasa sakit yang tiba-tiba muncul begitu mendalam hingga seakan-akan jantungnya berhenti berdetak. Jari-jarinya gemetar saat mencoba membalas pesan itu, namun kata-kata yang biasanya mudah mengalir kini tersangkut di tenggorokannya.

 

Dia terdiam di tempat tidur, matanya menatap kosong ke layar ponsel. Dunia di sekitarnya terasa jauh, tak terjangkau. Deru kendaraan di luar yang biasanya akrab, kini menjadi latar belakang sunyi yang tak berarti. Langit Makassar tampak cerah, tetapi bagi Andini, semuanya tampak redup, tertutupi oleh awan kelabu di dalam hatinya.

 

Waktu terasa berlalu dengan lambat. Andini berusaha menata pikirannya, meski setiap upaya terasa sia-sia. Semua kebahagiaan yang pernah ia rasakan bersama Bima, semua momen manis yang dulu pernah mereka bagi, kini berubah menjadi serpihan memori yang menyakitkan. Ia tahu, ia tidak bisa lagi mengabaikan ini. Sudah waktunya ia mencari kebenaran dari Bima sendiri.

 

Dengan napas yang terasa berat dan perasaan yang tak karuan, Andini memutuskan untuk menghubungi Bima. Dia tidak bisa lagi membiarkan ketidakpastian ini terus berlarut-larut. Ia butuh penjelasan—penjelasan yang selama ini tak pernah benar-benar ia dapatkan.

 

Ketika Bima setuju untuk bertemu, mereka memutuskan kembali ke kafe yang dulu sering mereka kunjungi. Namun, kali ini, suasana di antara mereka terasa berbeda. Tak ada lagi kehangatan yang dulu selalu menyelimuti pertemuan mereka. Segalanya terasa dingin dan jauh. Langit sore yang memayungi mereka berwarna oranye lembut, tetapi hati Andini diliputi mendung yang tak kunjung pergi.

 

Lihat selengkapnya