Andini

Andika Paembonan
Chapter #4

Luka yang Terbuka

Setelah perpisahan itu, hidup Andini berputar dalam lingkaran tak berujung antara rutinitas dan rasa sakit. Pagi hari ia terbangun dengan tubuh yang lelah, sementara pikirannya terus dipenuhi dengan bayangan tentang Bima dan apa yang terjadi di antara mereka. Malam hari menjadi lebih menyiksa, karena saat kesunyian melingkupinya, kenangan yang pernah ia anggap indah berubah menjadi duri-duri tajam yang terus menusuk jiwanya. Setiap kali ia menatap layar komputer di kantor, mengetik berita atau laporan, rasanya seperti ia melawan arus sungai emosi yang tak kunjung surut.

 

Pekerjaan yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini seolah hanya menambah beban. Setiap hari ia harus menulis tentang dunia luar, sementara dunia dalam dirinya perlahan-lahan retak. Ironisnya, nama Bima tak pernah benar-benar hilang dari pandangannya. Bima masih bekerja di bidang yang sama, menulis berita untuk media lain. Andini sering kali secara tak sengaja menemukan tulisannya di situs berita yang ia buka, atau mendengar namanya disebut dalam rapat redaksi. Setiap kali nama itu muncul, hatinya terasa ditusuk lagi—bekas luka yang belum sepenuhnya sembuh kini kembali menganga, berdarah. Tak peduli seberapa keras ia berusaha untuk melupakan, nama Bima selalu menghantui pikirannya, menciptakan gelombang rasa sakit yang tak pernah benar-benar pergi.

 

Waktu terus bergerak, tetapi luka itu seakan menolak sembuh. Andini tahu bahwa ia tidak bisa terus seperti ini. Ia butuh seseorang untuk berbagi, seseorang yang bisa memahami tanpa memberikan penghakiman. Namun, di dunia yang serba sibuk ini, kepercayaan bukanlah sesuatu yang mudah diberikan. Hanya ada satu orang yang muncul di benaknya—Andri. Mereka sudah lama bekerja bersama di meja redaksi, dan meskipun Andri mungkin tidak tahu semua detail hubungannya dengan Bima, dia selalu ada saat Andini membutuhkannya, dengan telinga yang sabar dan hati yang tulus.

 

Pada suatu sore yang sunyi, setelah selesai dengan tugas liputannya, Andini duduk di meja kerjanya dengan perasaan hampa. Ia menatap layar komputer yang kosong, jari-jarinya terhenti di atas keyboard. Firasat resah masih melekat di hatinya, dan tak ada yang bisa dia lakukan untuk menepisnya. Setelah beberapa saat terdiam, ia meraih ponselnya dan mengetik pesan singkat kepada Andri.

 

"Kamu masih di kantor? Bisa ketemu sebentar?"

 

Pesan itu terasa seperti angin sepoi-sepoi di tengah badai, menyejukkan walaupun sesaat. Andri, seperti biasanya, membalas dengan cepat dan penuh kepastian.

 

"Tentu, Din. Aku di meja kerja, mau ngobrol di mana?"

 

Andini membaca balasan itu dan merasa sedikit lega. Meskipun hatinya masih berkecamuk, setidaknya ia tahu bahwa Andri ada di sana—seseorang yang bisa dia percayai di tengah dunia yang terasa penuh pengkhianatan. Mereka memutuskan untuk bertemu di kantin kantor yang sudah mulai sepi, dengan hanya beberapa rekan kerja yang sibuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Kantin itu adalah tempat yang netral, jauh dari hiruk-pikuk ruang redaksi yang penuh tekanan dan kecepatan.

 

Andri sudah menunggu ketika Andini tiba. Wajahnya tenang, seperti biasa, memberikan ketenangan di tengah badai emosi yang masih mengoyak hati Andini. Mereka duduk di pojok kantin, menghindari keramaian, dan Andini mulai bercerita. Untuk pertama kalinya, ia membuka seluruh perasaan yang selama ini ia pendam. Dia menceritakan tentang Bima, tentang bagaimana mereka memulai hubungan mereka dengan harapan yang besar, dan bagaimana harapan itu perlahan hancur saat Bima mulai berubah. Andini menceritakan pengkhianatan yang ia temukan, ketidakpastian yang selalu membayangi setiap pertemuan mereka, hingga akhirnya mereka berpisah di kafe itu—perpisahan yang sampai saat ini masih terasa menyakitkan di setiap napas yang ia hirup.

 

Andri mendengarkan dengan seksama, tidak sekali pun menyela. Dia membiarkan Andini menumpahkan seluruh rasa sakit yang selama ini mengganjal di hatinya, seolah-olah Andri adalah tempat yang aman bagi Andini untuk melepas beban. Ketika Andini akhirnya selesai bercerita, ada keheningan sejenak di antara mereka. Keheningan yang tidak canggung, melainkan penuh pengertian.

 

"Din," kata Andri pelan, suaranya penuh perhatian, "aku tahu rasanya dikhianati itu sangat menyakitkan. Tapi kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Jangan biarkan satu orang menghancurkan semua hal baik dalam hidupmu."

 

Andini menatap Andri, mata mereka bertemu dalam pandangan yang dalam dan penuh kejujuran. Di balik kata-kata sederhana itu, Andini menemukan sesuatu yang selama ini ia rindukan—pengertian tanpa penilaian. Di dunia yang begitu cepat menghakimi dan memberikan label, Andri adalah tempat yang tenang, di mana Andini bisa menjadi dirinya sendiri, lengkap dengan segala kesedihannya.

Rasa sakit itu masih ada, tentu saja. Luka itu belum sembuh, dan mungkin akan memerlukan waktu yang lama untuk benar-benar hilang. Namun, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Andini merasakan sedikit kelegaan. Di tengah kegelapan hatinya, ada seberkas cahaya kecil—cahaya yang berasal dari persahabatan dan dukungan tanpa syarat dari seseorang yang peduli.

 

"Terima kasih, Andri," kata Andini dengan suara lirih, tetapi penuh rasa tulus. Dia merasakan beban di dadanya perlahan mengendur, meskipun luka itu masih belum sepenuhnya sembuh. Ada sesuatu yang berubah, sesuatu yang mulai bergerak di dalam dirinya—sebuah kesadaran bahwa ia tidak sendirian, dan bahwa ada orang-orang di sekitarnya yang peduli.

 

Lihat selengkapnya