Andini

Andika Paembonan
Chapter #6

Langkah yang Berliku

Di hari pertama Andini sebagai staf di sekolah swasta itu, ia merasakan kegelisahan yang sudah lama tak dirasakannya. Lingkungan ini sangat berbeda dari hiruk-pikuk ruang redaksi yang penuh tekanan dan adrenalin. Di sini, semuanya terasa lebih tenang, namun di dalam keheningan itu ada kehampaan yang Andini tidak tahu bagaimana harus mengisinya.

 

Andini melangkah masuk ke ruangan administrasi sekolah, tempat barunya bekerja. Ruang itu dipenuhi dengan suara berkas-berkas yang berserakan dan printer yang terus berderit. Meski suasananya jauh dari ketegangan lapangan, Andini mendapati dirinya sulit beradaptasi. Bukan karena pekerjaan yang sulit, tetapi karena ketidakhadiran tantangan yang biasa ia hadapi di lapangan.

 

Ketika hari pertama berakhir, Andini duduk sendiri di meja kerjanya, memandangi jendela yang menghadap ke halaman sekolah. Tidak ada cerita yang harus dikejar, tidak ada berita yang perlu diungkap. Hatinya seakan terisi oleh kehampaan yang aneh, seolah sesuatu yang besar telah diambil darinya.

 

Beberapa minggu berlalu, dan Andini perlahan-lahan terbiasa dengan ritme kehidupan barunya. Namun, di setiap momen ketika ia sedang memeriksa dokumen-dokumen siswa, Andini sering kali merindukan getaran yang dulu ia rasakan saat mengejar berita. Di tengah kesederhanaan rutinitas barunya, ia mulai merasa kehilangan sebagian dari dirinya.

 

Suatu malam, saat ia duduk merenung di apartemennya, Andini menerima pesan dari Andri. Pesan yang sederhana, namun entah kenapa terasa begitu berat baginya.

 

"Kamu sudah betah di tempat kerja baru? Gimana rasanya tanpa liputan?"

 

Andini menatap layar ponselnya lama, merenungkan bagaimana ia harus merespons. Ketidakpastian yang selama ini ia abaikan mulai muncul ke permukaan. Apakah ia benar-benar bisa beradaptasi di tempat barunya? Dan lebih dari itu, apa sebenarnya yang ia rasakan tentang Andri? Meskipun mereka telah berbagi banyak hal bersama, ada keraguan yang menyelinap ke dalam hatinya.

 

Ia membalas dengan pesan singkat: “Masih menyesuaikan diri, kadang rindu liputan juga.”

 

Namun, jauh di dalam hatinya, Andini tahu bahwa bukan hanya soal pekerjaan yang membuatnya bimbang. Hubungannya dengan Andri, yang perlahan berkembang menjadi lebih dekat, membuatnya gelisah. Setiap kali mereka bertemu, Andri selalu bisa membuatnya merasa nyaman, namun apakah perasaan nyaman itu cukup? Andini sering bertanya pada dirinya sendiri apakah ia benar-benar jatuh cinta pada Andri, atau apakah Andri hanya menjadi tempat perlindungan dari luka masa lalu yang masih terbuka.

 

Malam itu, Andini berbaring di kasurnya dan menatap langit-langit yang gelap. Di tengah kesunyian, ia mulai merenungkan kehidupannya—semua yang telah terjadi, dan apa yang akan terjadi selanjutnya. Pikirannya melayang jauh, hingga ia mulai memikirkan hal-hal yang lebih besar dari dirinya sendiri. Bagaimana jika apa yang ia cari selama ini bukanlah cinta, pekerjaan, atau pengakuan, tetapi kedamaian batin? Mungkin ada sesuatu yang lebih dalam, lebih spiritual, yang selama ini hilang dari hidupnya.

 

Beberapa hari kemudian, ketika Andini sedang berjalan pulang dari sekolah, ia melewati sebuah masjid yang terletak di pinggir jalan. Di luar, ada kerumunan orang yang baru saja selesai shalat maghrib. Andini berhenti sejenak, menatap bangunan yang megah namun sederhana itu. Sudah lama sekali ia tidak mengunjungi tempat seperti ini. Mungkin inilah saatnya untuk menemukan kedamaian di luar dirinya, sesuatu yang lebih besar dari perasaan dan pikirannya yang sering kali penuh kebingungan.

 

Pada akhir pekan berikutnya, Andini memutuskan untuk datang ke masjid tersebut. Ia merasa ragu di awal, namun begitu ia memasuki ruangan yang hening itu, ia merasakan ketenangan yang sudah lama tidak ia rasakan. Ia duduk di pojok ruangan, memejamkan mata, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia mencoba berbicara kepada Tuhan. Dalam keheningan itu, ia tidak meminta jawaban, tetapi ia mencari petunjuk. Dan di dalam ketenangan itulah, Andini mulai menyadari bahwa mungkin perjalanan hidupnya harus dilalui dengan lebih banyak penerimaan.

 

Beberapa minggu setelah perjalanannya ke masjid, Andini mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Tidak semuanya tiba-tiba menjadi mudah, tetapi ada rasa damai yang perlahan-lahan tumbuh. Dia mulai memandang hidup dengan cara yang berbeda, termasuk hubungannya dengan Andri.

 

Suatu hari, ketika mereka sedang duduk di kafe yang sering mereka kunjungi, Andri tiba-tiba menatap Andini dengan mata yang lebih serius daripada biasanya.

 

“Din,” ucapnya pelan. “Kamu pernah berpikir tentang kita, nggak?”

 

Andini terdiam. Ia tahu percakapan ini akan datang, namun ia belum siap menghadapi perasaannya sendiri.

 

“Kita?” Andini berusaha mengulur waktu dengan bertanya balik.

 

Andri mengangguk, lalu menatapnya dalam-dalam. “Aku tahu kita udah dekat cukup lama, tapi aku nggak mau kita berjalan tanpa arah. Aku mau tahu, apa yang kamu rasakan? Karena, aku... aku benar-benar suka sama kamu, Din.”

 

Kata-kata Andri membuat Andini terperangah. Ia selalu tahu ada sesuatu yang spesial di antara mereka, tetapi ia belum pernah benar-benar memikirkan hubungan mereka sejauh ini. Andini menundukkan kepalanya, merasakan beban dari perasaan yang selama ini ia abaikan.

 

“Aku... Aku nggak tahu, Andri. Kamu sahabat terbaikku. Tapi aku masih bingung dengan apa yang aku rasakan. Mungkin, aku butuh waktu lebih banyak,” ucap Andini dengan suara bergetar.

 

Andri tersenyum tipis, meskipun ada kekecewaan di matanya. “Aku bisa tunggu, Din. Aku nggak akan paksa kamu.”

 

Setelah percakapan itu, Andini mulai lebih sering memikirkan masa depannya, bukan hanya dengan Andri, tetapi juga dengan keluarganya. Keluarganya sangat mendukung keputusannya untuk pindah pekerjaan, namun hubungan mereka sempat terasa renggang ketika Andini menjalani fase sulit pasca-putus dengan Bima. Ibunya, yang selalu menjadi panutan hidupnya, mulai khawatir tentang kondisi emosional Andini.

 

Suatu malam, ketika Andini pulang untuk mengunjungi keluarganya di rumah, ia duduk di teras bersama ibunya. Suara jangkrik terdengar dari kejauhan, sementara langit malam dihiasi bintang-bintang.

 

“Andini,” ibunya membuka percakapan dengan lembut, “kamu kelihatan lebih tenang sekarang. Tapi ibu tahu, ada sesuatu yang masih mengganjal di hatimu.”

 

Andini memandang ibunya, seorang wanita yang selalu ia hormati dan kagumi. Ia menyadari bahwa ibunya selalu memahami perasaannya, bahkan tanpa ia harus mengungkapkannya.

 

Lihat selengkapnya