Andini

Andika Paembonan
Chapter #8

Pertemuan Tak Terduga

Waktu bergerak perlahan, namun tak pernah berhenti. Setiap hari, kehidupan Andini bergulir dengan tenang dalam rutinitas yang penuh makna. Sekolah menjadi tempat di mana ia menemukan kedamaian yang jarang ia rasakan sebelumnya. Setiap pagi, suara langkah kaki anak-anak yang riang mengisi udara, mengiringi Andini ketika ia berjalan menyusuri koridor panjang dengan dinding berwarna lembut. Ada sesuatu yang hampir terapeutik tentang kesederhanaan rutinitasnya, sesuatu yang membebaskannya dari masa-masa tegang ketika ia masih bergelut dengan dunia jurnalisme. Namun di balik semua ketenangan itu, ada getaran halus yang bersembunyi di dalam hatinya, perasaan samar yang belum ia pahami sepenuhnya.

 

Pada suatu pagi yang cerah, Andini sedang sibuk mempersiapkan sebuah acara sekolah. Para guru dan staf lainnya bergegas ke sana ke mari, mengatur barisan siswa, mendekorasi panggung sederhana di lapangan, dan memastikan semuanya berjalan lancar. Hari itu terasa lebih istimewa karena sekolah mengundang beberapa media untuk meliput kegiatan pendidikan yang diselenggarakan. Ini adalah kesempatan besar untuk memperkenalkan program-program baru yang diadakan oleh sekolah, dan Andini merasa bangga menjadi bagian dari perhelatan ini.

 

Sinar matahari yang hangat membelai daun-daun di pohon besar di tengah lapangan, sementara anak-anak bersorak gembira melihat para wartawan mulai berdatangan dengan kamera dan alat perekam mereka. Andini berdiri di sudut lapangan, memperhatikan semua ini dengan senyum kecil di wajahnya. Namun, di tengah keramaian itu, matanya tiba-tiba tertumbuk pada sosok yang familiar. Seorang pria dengan postur tegap, mengenakan kemeja putih dan celana gelap, sedang berbincang dengan rekan sesama jurnalis. Wajah itu, senyum itu—tak salah lagi, itu Andri.

 

Andini terdiam sejenak, perasaannya mendadak kacau. Jantungnya berdebar lebih cepat, sebuah reaksi yang tak ia duga. Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali mereka bertemu. Percakapan mereka di telepon dan pesan singkat memang masih berjalan dengan lancar, tapi kini, melihat Andri berdiri di hadapannya, perasaan yang selama ini ia tekan mulai menyeruak ke permukaan. Ada perasaan hangat yang mengalir melalui dirinya, tapi juga ketidakpastian. Ia tidak tahu apakah ia harus merasa senang atau canggung.

 

Andri tampaknya belum menyadari kehadiran Andini, terlalu sibuk dengan diskusi mengenai liputan yang akan mereka lakukan. Namun, seolah-olah ada magnet yang tak terlihat, Andri tiba-tiba berbalik dan pandangannya bertemu dengan Andini. Untuk sesaat, dunia tampak berhenti bergerak. Waktu yang sempat memisahkan mereka seakan tidak ada. Hanya ada Andini dan Andri, berdiri di tengah keramaian yang kini terasa sunyi bagi mereka berdua.

 

Senyum kecil muncul di wajah Andri, senyum yang sama seperti yang selalu ia berikan pada Andini—hangat, tulus, dan penuh kenangan. Ia berjalan mendekati Andini dengan langkah-langkah yang mantap namun tetap penuh kehati-hatian, seolah-olah ia pun merasakan kegugupan yang sama.

 

"Andini," panggil Andri, suaranya lembut namun penuh kegembiraan yang tak disembunyikan. "Aku nggak nyangka kita bakal ketemu di sini."

 

Andini tersenyum, meskipun hatinya sedikit berdebar. "Aku juga nggak nyangka kamu yang bakal liputan di sekolah ini," jawabnya dengan sedikit gugup, namun berusaha tetap tenang.

 

Percakapan mereka mengalir dengan ringan, seolah-olah waktu tak pernah memisahkan mereka. Meskipun ada jeda panjang sejak terakhir kali mereka bertemu, keakraban di antara mereka masih tetap ada, seakan tak pernah pudar. Namun, di balik tawa dan obrolan ringan mereka, ada ketegangan yang tak kasat mata. Keduanya tahu bahwa ada perasaan-perasaan yang selama ini terpendam, perasaan yang tak pernah diungkapkan secara langsung. Namun, tak satu pun dari mereka yang berani mengambil langkah pertama untuk membicarakannya.

 

Seusai acara, ketika para wartawan mulai berkemas dan anak-anak perlahan-lahan kembali ke kelas mereka, Andini merasa ada dorongan kuat dalam dirinya. Mungkin ini adalah kesempatan yang telah lama ia tunggu—kesempatan untuk berbicara lebih banyak dengan Andri, untuk menjembatani jarak emosional yang selama ini mereka simpan.

 

"Bagaimana kalau kita ngopi sebentar? Ada kafe kecil di dekat sini. Kita bisa ngobrol lebih lama," kata Andini dengan senyum tipis, mencoba terlihat santai.

 

Andri tak ragu untuk mengiyakan. "Tentu, aku senang banget kalau kita bisa ngobrol."

 

Mereka pun berjalan beriringan menuju kafe kecil yang terletak tak jauh dari sekolah. Udara sore itu terasa segar, sejuk setelah terik matahari yang menyengat sepanjang hari. Sepanjang perjalanan, mereka berbincang tentang banyak hal—tentang pekerjaan, tentang cerita-cerita lucu yang terjadi di kantor, dan tentang perubahan dalam hidup mereka masing-masing. Namun, meskipun obrolan mereka terdengar biasa saja, ada sebuah arus bawah yang tak pernah surut, mengalir pelan namun pasti di antara kata-kata yang mereka tukarkan.

 

Setibanya di kafe, mereka memilih meja di sudut yang agak tersembunyi, jauh dari kebisingan jalanan. Tempat itu memiliki suasana yang intim, dengan pencahayaan lembut dan aroma kopi yang memenuhi udara. Mereka memesan minuman mereka, dan ketika akhirnya kopi tiba, ada jeda singkat di antara mereka. Andini menatap cangkir kopinya, membiarkan aroma pahit yang hangat menyentuh indra penciumannya, sementara pikirannya berkelana.

 

Andri menatapnya dengan lembut, seolah-olah menunggu momen yang tepat untuk mengucapkan sesuatu. Matanya yang dulu selalu ceria kini tampak lebih tenang, penuh perasaan yang selama ini ia coba sembunyikan.

 

"Andini," ujar Andri pelan, suaranya hampir berbisik, "kamu ingat nggak, dulu kita sering lembur bareng? Rasanya kayak baru kemarin."

 

Andini tersenyum, tertawa kecil mengingat masa-masa itu. "Iya, aku ingat banget. Kita selalu sibuk kejar deadline. Tapi anehnya, meski stres, kita masih bisa ketawa."

Lihat selengkapnya