Andini

Andika Paembonan
Chapter #9

Perasaan Mulai Tumbuh

Angin malam menyapu pelan permukaan kafe itu, membawa harum kopi yang diseduh dengan penuh kesabaran oleh barista di sudut ruangan. Tempat itu tak pernah sepi, tapi malam ini terasa berbeda bagi Andini dan Andri. Mereka duduk di sudut, di bawah cahaya temaram lampu gantung yang seakan menyelimuti percakapan mereka dengan kehangatan yang mendesak. Suara-suara lain di kafe itu menjadi latar belakang yang samar, sementara dunia Andini dan Andri tampak merapat, menjadi semakin kecil, semakin personal.

 

Mereka telah sering bertemu seperti ini, berbagi cerita tentang hari-hari mereka, tentang kesulitan pekerjaan, dan juga tentang kenangan masa lalu yang kadang tak sengaja muncul ke permukaan. Namun, malam ini, ada sesuatu yang berbeda dalam cara Andri menatap Andini. Matanya yang biasanya penuh tawa dan canda, kini menyimpan sebuah beban, sebuah kerinduan yang tak lagi bisa ditutupi.

 

Andini, dengan senyumnya yang selalu tenang, tak menyadari apa yang akan datang. Ia melanjutkan ceritanya, tentang kesibukan di kantor dan tumpukan pekerjaan yang seolah tak ada habisnya. Andri mendengarkan dengan sabar, tetapi pikirannya melayang jauh, mencoba mencari cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan yang telah lama ia pendam.

 

Dan akhirnya, ketika jeda kecil muncul di antara kata-kata Andini, Andri mengumpulkan seluruh keberaniannya. Suara di kafe itu tiba-tiba terasa semakin jauh, semakin kecil, saat Andri membuka mulut untuk berbicara.

 

"Din," panggilnya, suaranya sedikit serak, seperti menahan sesuatu yang berat. "Ada sesuatu yang udah lama aku pendam, sesuatu yang harus aku katakan."

 

Andini menghentikan ceritanya dan menatap Andri dengan rasa ingin tahu yang tajam. Senyumnya perlahan memudar, digantikan oleh sorot mata yang lebih serius, lebih waspada.

 

"Apa, Ndri?" tanyanya pelan, seolah takut kata-katanya bisa mengusir momen ini.

 

Andri menarik napas dalam-dalam, merasakan bagaimana udara dingin malam itu memenuhi paru-parunya, memberikan kekuatan yang ia butuhkan untuk melanjutkan.

 

"Aku... sayang sama kamu, Din," katanya, suaranya lirih tapi tegas. "Sejak lama, sebenarnya. Tapi aku nggak pernah punya keberanian untuk mengatakannya karena aku takut... takut merusak apa yang kita punya."

 

Setelah kalimat itu keluar, seakan waktu berhenti berputar. Segala yang ada di sekitar mereka menjadi kabur, dan hanya ada dua hati yang berusaha menemukan jalan satu sama lain. Andini terdiam, otaknya berputar cepat, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia melihat Andri, temannya yang selama ini selalu ada untuknya, dalam cahaya yang berbeda—seorang pria yang menyimpan perasaan dalam-dalam, yang kini terungkap.

 

Hatinya berdebar, tak terduga. Ada sesuatu di dalam dirinya yang bangkit, sebuah emosi yang selama ini terpendam, mungkin bahkan tersembunyi dari dirinya sendiri. Ia tahu Andri selalu berarti baginya, tetapi apakah perasaan itu lebih dari sekadar persahabatan?

 

Andini mencoba berbicara, tetapi kata-kata seolah menolak keluar. Ia merasa seperti berada di ujung sebuah jurang, dengan perasaan yang tumbuh liar di bawahnya, siap menelan dirinya jika ia melompat. Ia melihat Andri, yang kini menunduk, wajahnya penuh kecemasan dan ketakutan akan penolakan.

 

"Andri..." kata Andini akhirnya, suaranya bergetar seperti sayap kupu-kupu yang baru belajar terbang. "Aku... aku nggak tahu harus bilang apa."

 

Andri tersenyum kecil, meski ada kesedihan di balik senyuman itu. "Nggak apa-apa, Din. Aku nggak mau memaksakan apa pun. Aku cuma pengen kamu tahu perasaanku. Itu aja."

 

Kata-kata itu, meski sederhana, menancap dalam di hati Andini. Ia merasakan kejujuran yang tulus dari Andri, sebuah pengakuan yang tak pernah ia duga akan datang, tetapi kini begitu nyata, begitu dekat.

 

Dalam sekejap, bayangan masa lalu Andini muncul di hadapannya. Ia teringat Bima, seseorang yang pernah mengisi hatinya sepenuhnya, namun juga melukainya begitu dalam. Apakah hatinya sudah sembuh sepenuhnya dari kenangan itu? Ataukah ia hanya mengubur rasa sakitnya dan mencoba melanjutkan hidup tanpa benar-benar menghadapi perasaannya sendiri?

 

Tetapi, di balik semua itu, ada Andri—seorang pria yang selalu ada di sisinya, yang tak pernah meninggalkannya meski Andini sering kali tersesat dalam pikirannya sendiri. Dan kini, di tengah keraguan dan kebingungan itu, ada sebuah sinar harapan yang perlahan muncul. Mungkin, hanya mungkin, Andini juga memiliki perasaan yang lebih dalam untuk Andri, perasaan yang selama ini ia abaikan, karena terlalu fokus pada masa lalunya dengan Bima.

 

Ia menatap Andri lagi, melihat betapa pria itu begitu tulus, begitu sabar menunggu jawabannya. Sebuah perasaan hangat mulai menyebar di dalam dirinya, seperti secangkir teh panas yang menenangkan di tengah malam yang dingin.

 

"Ndri," kata Andini akhirnya, mencoba mengumpulkan keberanian yang sama yang baru saja Andri tunjukkan. "Aku juga... aku juga punya perasaan sama kamu. Tapi aku nggak tahu apakah perasaan ini adalah cinta, atau aku hanya takut kehilangan kamu sebagai teman."

 

Andri mengangkat kepalanya, menatap Andini dengan sorot mata yang penuh harap. Ia merasakan sedikit kelegaan mendengar kata-kata Andini, meski ada keraguan yang masih melingkupi mereka berdua.

 

"Aku ngerti, Din," jawab Andri pelan. "Aku nggak pengen kita buru-buru. Aku cuma pengen kita jujur sama perasaan kita. Apa pun itu, aku akan terima. Aku nggak mau kehilangan kamu, dalam bentuk apa pun."

 

Kata-kata Andri terasa seperti sebuah janji, sebuah komitmen yang tak terucap tetapi begitu jelas dalam niatnya. Andini merasakan hatinya sedikit tenang, meski ia tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai. Mungkin ini bukan akhir dari persahabatan mereka, tetapi awal dari sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang mereka harus temukan bersama-sama.

Malam itu berakhir dengan ketidakpastian, tetapi juga dengan sebuah harapan baru. Mereka meninggalkan kafe itu dengan langkah yang sedikit lebih lambat, lebih berhati-hati. Dunia di luar kafe tampak begitu luas dan penuh kemungkinan, seperti jalanan yang basah setelah hujan, menawarkan cerminan dari apa yang mungkin terjadi jika mereka berani melangkah.

 

***

 

Waktu berlalu, dan meski tak ada kata-kata cinta yang terburu-buru, Andini dan Andri terus menghabiskan waktu bersama. Mereka berbicara lebih dalam, membiarkan perasaan mereka tumbuh dengan cara yang alami, tanpa paksaan. Setiap pertemuan menjadi momen untuk saling memahami, untuk saling menemukan, dan untuk membiarkan perasaan mereka berkembang tanpa tekanan.

 

Di satu sisi, Andini mulai merasakan kehadiran Andri dalam hidupnya dengan cara yang berbeda. Bukan lagi hanya sebagai teman, tetapi sebagai seseorang yang perlahan-lahan mengisi ruang kosong dalam hatinya. Ruang yang dulu pernah diisi oleh Bima, tetapi kini terasa lebih nyaman, lebih penuh dengan kehangatan.

 

Namun, Andini masih terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya. Bima adalah cinta pertama yang tak pernah ia lupakan sepenuhnya. Perasaan yang pernah ia miliki untuk Bima begitu kuat, begitu mendalam, hingga butuh waktu bertahun-tahun untuk akhirnya melepaskannya. Dan meskipun Bima telah pergi dari hidupnya, kenangan itu tetap tinggal, seperti bayangan yang selalu mengikuti di belakang.

 

Tetapi Andri berbeda. Ia tidak datang dengan janji-janji manis atau harapan-harapan besar. Ia hanya ada, selalu ada, dengan kesederhanaannya, dengan ketulusannya. Dan mungkin itulah yang membuat Andini mulai membuka hatinya, sedikit demi sedikit, membiarkan Andri masuk ke dalam hidupnya dengan cara yang lebih intim.

 

Setiap kali Andri menyentuh tangannya, meski hanya sebentar, ada sensasi hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Setiap kali mereka bertatapan, Andini merasakan debaran yang semakin sulit diabaikan. Dan ketika mereka tertawa bersama, Andini merasa dunia ini lebih ringan, lebih indah.

 

Namun, di balik semua itu, masih ada keraguan. Apakah perasaannya untuk Andri adalah cinta yang tulus, ataukah hanya rasa nyaman yang timbul karena kedekatan mereka? Apakah ia benar-benar siap untuk melangkah maju dan meninggalkan bayangan Bima sepenuhnya?

 

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui Andini, bahkan ketika ia mulai merasa bahwa perasaannya untuk Andri semakin kuat. Ia tahu bahwa Andri adalah seseorang yang bisa ia andalkan, seseorang yang akan selalu ada untuknya. Tetapi, apakah itu cukup? Apakah kenyamanan dan keakraban bisa berkembang menjadi cinta yang sejati?

 

Hari-hari berlalu, dan Andini terus memikirkannya. Ia mencoba mencari jawaban di dalam hatinya sendiri, mencoba merasakan apa yang sebenarnya ia inginkan. Ia tahu bahwa keputusan ini akan mengubah segalanya, baik bagi dirinya maupun bagi Andri.

 

Malam-malam panjang dihabiskan dengan berpikir, meresapi setiap momen yang telah mereka lalui bersama, mencoba memahami perasaan yang semakin rumit. Ia berbicara dengan sahabatnya, mencoba mencari nasihat, tetapi pada akhirnya, ia tahu bahwa keputusan ini hanya bisa ia buat sendiri.

 

Pada suatu malam, ketika mereka kembali duduk di kafe yang sama, di tempat yang telah menjadi saksi dari pengakuan Andri, Andini akhirnya merasa siap untuk mengungkapkan perasaannya. Malam itu dingin, dengan angin yang berhembus lebih kencang dari biasanya, tetapi di dalam kafe, kehangatan tetap terjaga oleh obrolan mereka.

 

Andini memandang Andri, yang sedang sibuk mengaduk kopinya dengan perlahan. Ia melihat ketenangan di wajah pria itu, tetapi juga ada sedikit kecemasan, seolah Andri masih menunggu sesuatu, sebuah kepastian yang belum juga datang.

 

"Ndri," panggil Andini pelan. Suaranya terdengar lebih tegas daripada biasanya, meski ada sedikit gemetar di sana.

 

Andri mengangkat kepalanya dan menatap Andini, seolah merasakan bahwa sesuatu yang penting akan terjadi.

 

"Aku udah banyak mikir," lanjut Andini, mencoba menyusun kata-katanya dengan hati-hati. "Tentang kita, tentang perasaanku... dan tentang masa laluku juga."

 

Andri diam, memberi ruang bagi Andini untuk melanjutkan tanpa gangguan.

 

"Aku tahu... aku tahu aku belum sepenuhnya bisa melepaskan Bima. Dia adalah bagian besar dari hidupku, dan itu nggak mudah buat dihilangkan," Andini berhenti sejenak, menarik napas dalam. "Tapi aku juga tahu, kamu adalah orang yang paling berarti buat aku sekarang. Kamu ada di sini, selalu ada, dan itu membuatku merasa... merasa aman."

Lihat selengkapnya