Andini

Andika Paembonan
Chapter #10

Tanda-Tanda Perasaan

Pagi itu, angin semilir membawa aroma hujan yang tersisa di jalanan Kota Makassar. Langit kelabu menggantung, seolah mencerminkan suasana hati Andini yang tak sepenuhnya tenang. Meski sudah berbulan-bulan ia meninggalkan dunia jurnalistik dan bekerja di sebuah sekolah, ada sesuatu yang terus-menerus mengganggunya—sebuah getaran tak kasat mata yang tak kunjung hilang. Setiap hari berjalan dengan rutinitas yang sama, namun dalam kedalaman jiwanya, Andini merasa ada sesuatu yang tertinggal.

 

Ia menyesap teh hangatnya di kantin sekolah, menatap keluar jendela, melihat murid-murid berlarian di lapangan dengan tawa riang yang tanpa beban. Andini menyadari bahwa kehidupannya kini jauh lebih tenang, namun ketenangan itu seperti selimut yang terasa terlalu tipis di malam dingin. Tidak cukup menghangatkan, hanya menutupi rasa kosong yang perlahan menyelimuti.

 

Andri, seorang teman yang selalu ada di sisinya sejak ia meninggalkan Bima, terus hadir dalam hidupnya. Mereka sering berbincang, kadang hanya lewat pesan singkat, kadang bertemu untuk makan malam setelah pekerjaan selesai. Awalnya, percakapan mereka terasa ringan, hanya obrolan tentang pekerjaan atau hal-hal sepele yang tak butuh banyak perhatian. Namun, seiring waktu, Andini mulai menyadari bahwa percakapan itu tak lagi sekadar kata-kata. Ada sesuatu yang lebih dari itu, sesuatu yang ia coba abaikan namun kian sulit untuk ditampik.

 

Setiap kali nama Andri muncul di layar ponselnya, hatinya berdetak lebih cepat. Dan ketika mereka bertemu, Andini merasakan kehangatan yang merambat pelan, seolah-olah Andri adalah api unggun di malam yang dingin. Dia mulai sadar bahwa dia tak hanya merasa nyaman dengan kehadiran Andri, tetapi juga menantikan setiap saat kebersamaan mereka. Namun di balik semua itu, ada sesuatu yang membuatnya enggan untuk melangkah lebih jauh—rasa takut yang tersisa setelah pengkhianatan Bima.

 

Hari-hari berlalu, dan perasaan itu semakin tak terbendung. Andini berusaha keras untuk menepisnya, mengingatkan dirinya bahwa dia tak boleh terlalu cepat membuka hati. Luka yang ditinggalkan Bima belum sepenuhnya sembuh. Namun, seperti air yang menetes di atas batu, perasaan itu lambat laun menggerogoti pertahanannya. Setiap kali Andri melontarkan senyum hangatnya atau tertawa dengan cara yang membuat segalanya tampak lebih ringan, Andini merasa hatinya melunak sedikit demi sedikit.

 

Sore itu, setelah jam kerja usai, Andri mengirim pesan, mengajak Andini untuk makan malam. Pesan sederhana itu, yang seharusnya tak memiliki arti lebih dari sekadar ajakan santai, membuat Andini terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menjawab. Tangannya sempat ragu, namun jari-jarinya bergerak dengan cepat, menulis “Tentu, aku juga butuh istirahat.” Dan tak lama kemudian, mereka sudah duduk berhadapan di sebuah kafe kecil di sudut kota.

 

Di sana, di antara deru lalu lalang kendaraan yang samar terdengar dari luar, Andini merasakan sebuah kedekatan yang berbeda. Mereka berbicara tentang segala hal—tentang pekerjaan, tentang film yang baru ditonton Andri, bahkan tentang hal-hal sepele yang biasanya tak penting untuk dibicarakan. Namun di setiap kata yang keluar dari mulut Andri, ada sebuah kehangatan yang tak bisa Andini abaikan. Mata Andri, dengan sorot lembutnya, selalu menatapnya dengan cara yang membuat Andini merasa dipahami, seperti tak ada lagi yang perlu ia sembunyikan.

 

Ketika Andri berbicara tentang mimpi-mimpinya—tentang keinginannya untuk suatu hari nanti mendirikan sebuah yayasan bagi anak-anak kurang mampu—Andini terpesona. Ia tak pernah menyadari seberapa besar hati Andri, seberapa dalam keinginannya untuk membuat perubahan. Di titik itu, Andini merasa ada jarak yang semakin memendek di antara mereka. Bukan jarak fisik, melainkan jarak emosional yang selama ini ia pertahankan, seperti tembok transparan yang tak pernah benar-benar hilang, namun kini mulai retak.

 

Malam semakin larut, dan mereka berdua akhirnya memutuskan untuk pulang. Saat berjalan keluar kafe, hujan mulai turun rintik-rintik, menciptakan irama yang tenang di atas jalanan. Tanpa sadar, Andini mulai melangkah lebih lambat, berharap waktu bisa sedikit berhenti. Di bawah payung yang Andri pegang, mereka berjalan beriringan, lebih dekat dari biasanya. Udara di sekitar mereka terasa berat oleh sesuatu yang belum terucapkan, namun keduanya tampak sama-sama nyaman dengan kebisuan itu.

 

Di depan pintu apartemen Andini, Andri berhenti, mengucapkan selamat malam dengan senyum yang lembut namun penuh arti. Andini menatapnya sejenak, menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam cara Andri melihatnya malam ini. "Andini, terima kasih sudah meluangkan waktu," ucap Andri dengan nada yang lebih dalam dari biasanya. Andini hanya mengangguk, merasa ada ribuan kata yang ingin ia katakan, tapi tak satu pun berhasil keluar dari bibirnya.

 

Malam itu, saat Andini berbaring di tempat tidurnya, ia memikirkan Andri. Pikirannya berputar-putar, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Apakah ini cinta? Apakah dia benar-benar sudah siap untuk membuka hatinya lagi setelah terluka begitu dalam? Atau apakah ini hanya perasaan nyaman yang kebetulan muncul karena Andri selalu ada di sisinya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikirannya, bahkan hingga ia terlelap dalam tidur yang gelisah.

 

Esok paginya, Andini terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Ia tak tahu harus berbuat apa dengan semua perasaan ini. Di satu sisi, ia merasa senang karena Andri selalu membuatnya tertawa dan merasa dihargai. Namun di sisi lain, ada ketakutan yang terus menghantui—takut jika ia membuka hatinya, ia akan kembali terluka seperti dulu. Andini tak ingin mengulangi kesalahan yang sama.

 

Hari itu di sekolah, Andini berusaha mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan. Namun setiap kali ia memiliki waktu luang, pikirannya kembali pada Andri. Tatapan lembutnya, senyumannya yang hangat, cara dia mendengarkan dengan penuh perhatian. Semua itu membuat Andini tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ia mulai merasakan sesuatu yang lebih dalam. Namun, ia juga sadar bahwa perasaan itu tak semudah itu untuk diakui, apalagi setelah apa yang ia alami dengan Bima.

 

Andini akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan Dian, sahabatnya. Mereka duduk di sebuah kafe kecil di dekat sekolah, tempat biasa mereka berbagi cerita. "Aku nggak tahu apa yang sedang terjadi padaku," ujar Andini sambil menatap cangkir kopinya yang hampir kosong. Dian mengerutkan kening, melihat Andini dengan tatapan ingin tahu. "Apa ini tentang Andri?" tanyanya tanpa basa-basi. Andini terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Aku nggak tahu, Dian. Rasanya aneh. Dia selalu ada, dan aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Tapi aku takut. Aku nggak mau terluka lagi."

 

Dian tersenyum lembut, lalu meletakkan tangannya di atas tangan Andini. "Dengar, Andini. Setiap orang pernah terluka. Tapi itu bukan berarti kamu harus menutup hati selamanya. Andri berbeda dari Bima. Kamu tahu itu. Kamu yang paling tahu. Jadi, kenapa nggak beri dirimu kesempatan untuk bahagia lagi?" kata Dian dengan suara yang penuh keyakinan. Kata-kata Dian bergaung dalam pikiran Andini sepanjang perjalanan pulang. Apa yang dikatakan sahabatnya benar. Andri bukan Bima. Dan jika ia terus-menerus hidup dalam bayang-bayang masa lalu, kapan ia bisa benar-benar melangkah maju?

 

Beberapa hari berikutnya, Andini mencoba untuk lebih jujur dengan dirinya sendiri. Ia mulai menerima kenyataan bahwa mungkin, hanya mungkin, ia memang merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan dengan Andri. Namun, menerima perasaan itu bukan berarti semuanya akan berjalan mulus. Ada banyak hal yang masih perlu ia pahami, terutama tentang dirinya sendiri.

 

Malam itu, setelah menghabiskan waktu bersama Andri untuk menonton film di bioskop, Andini pulang dengan perasaan campur aduk. Di dalam taksi, ia merenung. Saat film berakhir, ketika mereka berjalan keluar bioskop, tangan Andri sempat menyentuh tangannya, hanya sebentar, namun cukup untuk membuat jantung Andini berdegup kencang. Apakah itu kebetulan? Atau apakah Andri juga merasakan hal yang sama?

 

Semakin lama Andini berpikir, semakin sulit baginya untuk menepis perasaan yang mulai tumbuh dalam hatinya. Ia tahu, pada titik ini, ia tak bisa lagi berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Perasaan hangat itu nyata, dan semakin hari semakin sulit untuk diabaikan. Namun, Andini juga tahu bahwa mengakui perasaannya berarti membuka diri pada kemungkinan terluka lagi. Dan itu adalah sesuatu yang masih ia takut kan.

 

Pada akhirnya, Andini tahu ia harus membuat keputusan. Terus menyimpan perasaannya atau berani mengakui apa yang sebenarnya ia rasakan, meskipun risikonya besar. Dan di suatu malam yang sepi, saat bintang-bintang bersinar redup di atas langit Makassar, Andini mengambil napas dalam-dalam dan memutuskan bahwa ia sudah lelah bersembunyi. Mungkin, sudah saatnya ia berhenti takut.

***

Setelah malam penuh perenungan itu, Andini terbangun dengan perasaan yang lebih tenang. Meski pikirannya masih dipenuhi berbagai pertanyaan, ia merasa bahwa mungkin, untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, ia mulai memahami dirinya sendiri. Ada sesuatu yang berbeda hari itu. Bukan karena segala sesuatunya sudah jelas atau mudah, melainkan karena ia menerima ketidakpastian itu dengan hati yang lebih lapang.

Pagi hari di sekolah seperti biasanya sibuk. Andini mengatur jadwal mengajar, memeriksa catatan, dan berinteraksi dengan murid-muridnya. Namun kali ini, pikirannya tak terusik oleh keraguan yang mengganggunya selama ini. Ada sebuah kepastian kecil, benih keyakinan bahwa apa pun yang terjadi, ia tak lagi ingin menutup hati.

Siang itu, saat jam makan siang, Andini mendapat pesan dari Andri. Tak ada yang istimewa dalam isi pesan itu—sekadar ajakan makan siang seperti biasa. Namun kali ini, Andini membalas pesan itu dengan senyum yang berbeda. Ia tak lagi hanya menjawab untuk sekadar bertemu, tapi dengan kesadaran bahwa ada sesuatu yang ia rasakan setiap kali berhadapan dengan Andri. Dan itu, meskipun masih samar-samar, cukup untuk membuat langkahnya terasa lebih ringan.

Mereka bertemu di sebuah warung makan sederhana, tempat yang biasa mereka kunjungi. Tempat ini telah menjadi bagian dari rutinitas mereka, sebuah kenyamanan dalam kebersamaan yang tak pernah terasa canggung. Ketika Andri tiba, Andini menatapnya dengan cara yang berbeda—lebih lama, lebih dalam. Andri mengenakan kemeja biru tua, tampak tenang seperti biasanya, namun senyum di wajahnya seolah membawa sebuah kehangatan yang tak pernah pudar.

“Andini, kamu kelihatan lebih ceria hari ini. Ada apa?” tanya Andri sambil tersenyum, matanya berkilauan penuh rasa ingin tahu.

Andini terkekeh pelan, berusaha untuk tidak terlihat terlalu canggung. “Enggak ada apa-apa. Mungkin aku cuma lagi mood baik hari ini,” jawabnya dengan nada ringan. Tapi di balik jawaban itu, ada sesuatu yang tak ia katakan. Sesuatu yang ingin sekali diungkapkan, tapi masih ia simpan rapat-rapat di dalam hatinya.

Obrolan mereka berlangsung seperti biasa—penuh canda tawa, percakapan ringan yang selalu membuat Andini merasa nyaman. Namun, kali ini ada jeda-jeda kecil dalam percakapan mereka, saat di mana Andini dan Andri bertukar pandang lebih lama dari biasanya. Dan dalam keheningan singkat itu, Andini merasakan sesuatu yang berbeda. Seolah-olah semua yang pernah ia ragukan mulai luruh satu per satu, seperti lapisan es yang mencair di bawah sinar matahari.

Ketika mereka selesai makan, Andri menawarkan untuk mengantarnya pulang. Andini setuju, dan mereka pun berjalan beriringan menuju tempat parkir. Di sepanjang jalan, ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka. Udara di sekitar mereka seolah dipenuhi oleh energi yang tak kasat mata—sebuah tarikan halus yang semakin mendekatkan mereka. Andri membuka pintu mobil untuk Andini, dan ketika tangan mereka bersentuhan secara tak sengaja, jantung Andini berdegup lebih kencang.

Selama perjalanan pulang, suasana di dalam mobil terasa berbeda. Meski radio memutar lagu-lagu lembut, ada keheningan di antara mereka yang terasa nyaman namun penuh dengan intensitas. Andri melirik Andini beberapa kali, seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, namun selalu menahan diri. Begitu pula dengan Andini, yang menatap keluar jendela, berusaha meredakan gejolak di dalam dadanya. Namun, setiap kali ia mencuri pandang ke arah Andri, perasaannya semakin sulit untuk diabaikan.

Ketika mobil berhenti di depan apartemen Andini, keduanya duduk dalam kebisuan yang canggung namun penuh makna. Andri tampak ingin mengatakan sesuatu, namun ragu-ragu. Sementara Andini, meskipun sudah membuat keputusan untuk tidak lagi bersembunyi, masih merasa ada dinding tipis yang menahan kata-katanya.

“Andini,” suara Andri akhirnya memecah keheningan, nadanya pelan namun terdengar serius. Andini menoleh, menatapnya dengan jantung yang berdegup lebih cepat. “Aku ingin bilang sesuatu. Tapi aku enggak tahu gimana caranya tanpa membuat ini jadi terasa aneh.”

Andini menelan ludah. “Apa yang ingin kamu bilang?” tanyanya, suaranya nyaris berbisik.

Andri menghela napas pelan, lalu menatap Andini dalam-dalam. “Aku enggak tahu gimana cara menyampaikannya, tapi… selama ini, aku selalu merasa ada sesuatu antara kita. Dan aku enggak tahu apakah kamu merasakan hal yang sama atau enggak, tapi aku enggak bisa terus berpura-pura kalau ini cuma pertemanan biasa.”

Hati Andini berdebar semakin kencang. Kata-kata Andri seakan menghantamnya dengan lembut namun pasti. Ia menatap mata Andri, yang penuh dengan kejujuran dan harapan. Selama beberapa detik, Andini tak bisa berkata apa-apa. Ini adalah momen yang selama ini ia hindari, namun kini, ketika akhirnya tiba, ia merasa tak siap. Namun, di saat yang sama, ia tahu bahwa ini adalah saat di mana semua perasaannya harus diakui.

“Andri…” Andini membuka mulutnya, namun suaranya tercekat. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan kegugupan yang melingkupinya. “Aku… aku juga merasakan hal yang sama. Aku enggak tahu sejak kapan, tapi perasaan ini sudah ada cukup lama. Tapi aku takut… aku takut kalau semua ini akan berakhir seperti sebelumnya.”

Andri menatap Andini dengan lembut. “Aku mengerti. Aku tahu kamu pernah terluka, dan aku enggak mau mendesakmu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku di sini, dan aku bersedia menunggu. Aku enggak akan membuatmu tergesa-gesa. Aku cuma ingin kamu tahu bahwa apa yang aku rasakan ini nyata.”

Kejujuran Andri membuat Andini merasa lega sekaligus terharu. Ia tak pernah menyangka bahwa Andri akan begitu terbuka dan sabar menunggunya. Untuk pertama kalinya sejak lama, Andini merasa bahwa mungkin, cinta tidak selalu harus menyakitkan. Mungkin, cinta juga bisa hadir dengan lembut dan penuh pengertian, seperti yang Andri tawarkan.

Dalam keheningan yang penuh arti itu, Andini tersenyum. Senyum kecil yang muncul dari kedalaman hatinya, sebuah senyum yang mengisyaratkan bahwa ia sudah siap untuk membuka pintu hatinya, meskipun masih dengan langkah yang hati-hati.

“Aku... terima kasih sudah jujur,” ucap Andini pelan. “Aku enggak janji semuanya akan mudah, tapi aku akan berusaha. Aku ingin mencoba.”

Andri tersenyum, dan untuk pertama kalinya sejak percakapan ini dimulai, suasana di antara mereka terasa lebih ringan. Seolah-olah, beban yang selama ini menggantung di udara telah hilang, digantikan oleh rasa pengertian dan harapan.

“Andini, kita akan melalui ini bersama-sama. Aku enggak akan ke mana-mana,” kata Andri, suaranya penuh keyakinan.

Andini menatap Andri, merasakan sebuah kehangatan yang perlahan mengisi hatinya. Ia tahu perjalanan ini mungkin tak akan selalu mudah, namun ia juga tahu bahwa ia tak akan menjalani perjalanan ini sendirian.

***

Andini duduk di ruang tamu apartemennya yang sederhana, menatap ponselnya dengan pandangan kosong. Beberapa pesan dari Andri belum ia balas, meski ia sebenarnya tidak ada alasan khusus untuk menunda. Hatinya selalu berdebar setiap kali melihat pesan dari Andri, tapi perasaan ragu yang mengendap di hatinya membuatnya merasa terperangkap di antara dua dunia. Ada sesuatu yang menahannya, sesuatu yang belum bisa ia tentukan. Apakah ini cinta? Atau sekadar rasa nyaman yang datang karena tak ingin merasa sendirian?

 

Andini menghela napas panjang, lalu memutuskan untuk menghubungi Dian, sahabat terdekatnya sejak kuliah. Dian selalu menjadi tempatnya mencurahkan hati, seseorang yang selalu siap mendengarkan tanpa menghakimi, tetapi juga tak segan-segan untuk jujur jika diperlukan. Tanpa ragu, ia menekan nomor Dian, berharap percakapan mereka akan memberi sedikit kejelasan.

Lihat selengkapnya