Andini

Andika Paembonan
Chapter #11

Kemunculan Mantan

Hari itu terasa seperti hari biasa bagi Andini. Matahari bersinar cerah di langit Makassar, dan ia sedang berjalan menuju ruang guru setelah mengawasi murid-murid di lapangan. Sepanjang pagi, ia tenggelam dalam pekerjaannya sebagai staf di sekolah, mencoba mengalihkan pikirannya dari banyak hal. Meski hubungannya dengan Andri semakin berkembang, masih ada banyak pertanyaan yang belum terjawab, dan Andini masih berusaha untuk menemukan ketenangan dalam hidup barunya.

 

Namun, hari yang tenang itu segera berubah ketika sebuah suara familiar memanggil namanya dari kejauhan. “Andini?”

 

Andini berhenti sejenak, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia mengenali suara itu, sebuah suara yang pernah sangat dekat dengannya, tapi kini membawa rasa yang sangat berbeda. Perlahan ia menoleh, dan di sana, berdiri di depan gerbang sekolah, adalah Bima. Pandangannya yang dulu penuh kehangatan kini lebih asing, meski wajah itu tak banyak berubah. Senyuman tipis yang dulu selalu bisa melelehkan hatinya kini tampak kaku dan canggung di matanya.

 

Andini terdiam, hatinya bergetar di antara berbagai macam emosi. Ia tidak siap untuk ini—untuk berhadapan kembali dengan seseorang yang pernah menghancurkan hatinya. Namun, ia mencoba menjaga ketenangan, menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah mendekat.

 

"Bima? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan suara yang mencoba terdengar biasa, meski jelas ada getaran dalam nada bicaranya.

 

Bima tersenyum kecil, meskipun matanya tidak bisa sepenuhnya menyembunyikan ketegangan. “Aku dapat tugas untuk liputan khusus tentang program pendidikan di sekolah ini. Nggak nyangka ternyata kamu kerja di sini.”

 

Andini menelan ludah, otaknya mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Dari semua sekolah di Makassar, kenapa harus sekolah ini? Kenapa harus hari ini? Dan yang lebih penting, kenapa harus dia? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya, tapi ia tahu bahwa tidak ada jawaban yang bisa menjelaskan semua ini. Semua ini terasa seperti takdir yang kejam—mempertemukannya kembali dengan seseorang yang seharusnya sudah ia lupakan.

 

"Ya, aku kerja di sini sekarang," jawab Andini singkat, mencoba untuk tidak terlalu terlibat dalam percakapan. "Jadi, liputan apa yang kamu lakukan?"

 

Bima mengangkat bahu, berusaha bersikap santai. "Tentang program literasi anak-anak di sini. Sekolah ini kan salah satu yang cukup berprestasi di Makassar. Redaksi kami ingin mengangkat kisah tentang keberhasilan sekolah dalam mendidik murid-muridnya."

 

Andini mengangguk pelan. Ia tahu program yang dimaksud, dan memang sekolah tempatnya bekerja ini sedang dalam sorotan karena inovasi pendidikan yang mereka terapkan. Namun, di balik semua itu, ia masih tidak bisa sepenuhnya menerima kehadiran Bima di sini. Meski ia berusaha bersikap profesional, kenyataan bahwa mantan kekasihnya kini berada begitu dekat membuat hatinya tak karuan.

 

"Kalau begitu, semoga liputannya berjalan lancar," kata Andini, berusaha mengakhiri percakapan secepat mungkin. "Aku harus kembali ke ruang guru."

 

Namun, sebelum ia sempat berbalik, Bima berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius. "Andini, tunggu. Bisa kita bicara sebentar?"

 

Andini terdiam sejenak, merasakan desakan yang aneh di dadanya. Ia tidak ingin mendengar apa pun dari Bima, tapi di sisi lain, ada rasa penasaran yang ia coba abaikan. "Bicara tentang apa?"

 

Bima menatapnya dengan mata yang penuh kesungguhan, membuat Andini merasa sedikit tak nyaman. "Aku tahu ini nggak pantas dan mungkin kamu nggak mau dengar ini, tapi aku harus minta maaf. Aku tahu aku sudah menyakiti kamu, dan aku nggak pernah benar-benar dapat kesempatan untuk minta maaf dengan sungguh-sungguh."

 

Hati Andini seketika terasa berat. Ini adalah momen yang ia tunggu-tunggu dulu, ketika ia masih berharap Bima akan menyadari kesalahannya dan kembali padanya. Namun sekarang, setelah semua yang terjadi, apakah permintaan maaf itu benar-benar berarti? Apakah itu cukup untuk menghapus semua rasa sakit yang ia alami?

 

Andini menatap Bima dengan tatapan yang sulit dibaca. "Permintaan maaf kamu nggak akan mengubah apa yang sudah terjadi, Bima. Kamu menghancurkan aku waktu itu, dan kamu tahu itu. Aku nggak butuh permintaan maaf sekarang."

 

Bima terlihat cemas, tapi ia tetap mencoba melanjutkan. "Aku tahu. Tapi aku cuma pengen kamu tahu kalau aku menyesal. Aku tahu nggak ada yang bisa mengubah apa yang udah aku lakuin, tapi setidaknya aku pengen kamu tahu kalau aku sadar akan kesalahanku."

 

Andini menghela napas panjang. Ia merasakan banyak emosi yang bercampur di dalam dirinya—marah, kecewa, dan bahkan rasa kasihan pada Bima. Tapi lebih dari semua itu, ada rasa lega. Lega karena akhirnya ia bisa mendengar kata-kata itu dari Bima, dan lega karena ia tahu, bahwa kata-kata itu tidak lagi mengubah apa pun dalam hidupnya.

 

"Aku hargai permintaan maaf kamu, Bima. Tapi aku udah move on. Aku udah punya kehidupan yang baru sekarang, dan aku nggak butuh kamu lagi di dalamnya," kata Andini tegas, meskipun ada nada getir di dalam suaranya.

 

Bima menatapnya dengan tatapan sedih, seolah-olah ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi ia tahu tidak ada gunanya. "Baiklah. Aku harap kamu bahagia, Andini," katanya pelan, sebelum akhirnya berjalan pergi meninggalkan Andini berdiri sendirian.

 

Andini menatap punggung Bima yang menjauh, perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Meski ia berkata bahwa ia sudah move on, pertemuan ini mengguncang emosinya lebih dari yang ia duga. Ia tahu bahwa luka itu masih ada, meskipun ia berusaha keras untuk menutupinya. Namun, di sisi lain, ada juga rasa puas karena ia tahu bahwa ia sudah lebih kuat sekarang. Ia tidak lagi tergantung pada Bima atau pada masa lalu.

 

Saat Andini kembali ke ruang guru, pikirannya masih sibuk memproses pertemuan itu. Ia merasa kacau, tapi di balik semua itu, ada sebuah keputusan yang mulai terbentuk di dalam hatinya. Ia tahu bahwa perasaannya terhadap Bima sudah benar-benar berakhir, dan sekarang yang perlu ia lakukan adalah menerima kenyataan itu sepenuhnya.

 

Di sore hari, ketika ia sedang membereskan meja kerjanya, sebuah pesan masuk di ponselnya. Pesan dari Andri. "Bagaimana harimu, Din? Semoga baik-baik aja."

 

Andini tersenyum kecil saat membaca pesan itu. Kehadiran Andri selalu membuat hatinya merasa lebih ringan, lebih tenang. Ia segera membalas pesan itu, merasa bahwa ia butuh berbicara dengan seseorang. "Hari ini cukup melelahkan, tapi nggak apa-apa. Nanti aku ceritain."

 

Beberapa menit kemudian, Andri mengirim balasan. "Oke, aku siap dengerin kapan aja kamu butuh. Kita ketemu nanti malam?"

 

Andini merasa lega dengan tawaran itu. Andri selalu ada untuknya, dan ia tahu bahwa ia bisa mengandalkan Andri dalam situasi apa pun. "Ya, aku rasa kita perlu ketemu. Ada banyak yang pengen aku ceritain."

 

Malam itu, ketika mereka bertemu di kafe yang biasa mereka kunjungi, Andini merasakan perasaan hangat yang selalu muncul setiap kali ia bersama Andri. Meskipun hatinya masih sedikit terguncang karena pertemuan dengan Bima, kehadiran Andri membuatnya merasa lebih kuat.

 

"Jadi, apa yang terjadi hari ini?" tanya Andri dengan nada lembut, sambil menatap Andini dengan penuh perhatian.

 

Andini menghela napas panjang sebelum mulai bercerita. "Bima muncul di sekolah hari ini. Dia datang buat liputan, dan tiba-tiba dia minta maaf atas apa yang udah dia lakuin dulu."

 

Andri mengangkat alis, tapi tidak menunjukkan ekspresi yang berlebihan. Ia mendengarkan dengan tenang, tidak ingin terburu-buru memberikan tanggapan.

 

"Aku nggak tahu harus gimana awalnya," lanjut Andini. "Tapi aku bilang ke dia kalau aku udah move on dan nggak butuh dia lagi dalam hidupku. Cuma... entah kenapa, aku masih merasa terguncang."

 

Andri menatapnya dengan lembut, memberikan ruang bagi Andini untuk meluapkan perasaannya. "Itu wajar, Din. Bima pernah jadi bagian penting dari hidupmu. Walaupun kamu udah move on, pertemuan dengan orang dari masa lalu yang pernah bikin luka pasti nggak mudah."

 

Andini menatap Andri dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku nggak mau perasaan ini kembali muncul. Aku nggak mau lagi terjebak dalam bayangan masa lalu. Aku... aku ingin melangkah maju, Andri. Tapi kadang aku merasa ketakutan itu masih ada."

 

Andri mengangguk pelan, lalu menggenggam tangan Andini di atas meja, memberikannya dukungan yang tulus. "Kamu nggak perlu terburu-buru, Din. Aku ada di sini buat kamu. Kita bisa jalanin ini pelan-pelan, dan aku yakin kamu bakal bisa melewati semua ini."

 

Perkataan Andri itu membuat Andini merasa lebih tenang. Ia tahu bahwa perjalanannya belum selesai, tapi dengan Andri di sisinya, ia merasa lebih siap untuk menghadapi apa pun yang ada di depannya. Bima mungkin pernah menjadi bagian dari hidupnya, tapi sekarang, Andri adalah seseorang yang memberinya kekuatan untuk melangkah maju.

 

Lihat selengkapnya