Andini

Andika Paembonan
Chapter #12

Pengakuan Andri

Malam itu, suasana di kafe tempat Andri dan Andini sering bertemu terasa sedikit berbeda. Cahaya lampu yang lembut, aroma kopi yang menyegarkan, dan dentingan gelas membuat Andri merasakan ketegangan di dadanya. Dia sudah merencanakan ini selama berbulan-bulan—mengungkapkan perasaannya kepada Andini. Sejak pertama kali mereka bersama, sejak hari-hari saat Andini masih berjuang untuk mengatasi patah hatinya, Andri selalu ada di sampingnya. Dan kini, saat hubungan mereka semakin mendalam, Andri merasa saatnya telah tiba untuk membuka hatinya.

 

Andini datang dengan senyum cerah, matanya berbinar-binar ketika dia melihat Andri. “Hai! Apa kabar?” tanyanya sambil duduk di hadapan Andri.

 

“Hai, baik. Kamu terlihat cantik malam ini,” Andri menjawab, meskipun rasa gugupnya terasa menyelinap ke dalam suaranya.

 

“Terima kasih! Aku senang kita bisa bertemu lagi. Ada yang ingin kamu bicarakan?” Andini mengamati wajah Andri, tampak sedikit cemas.

 

Andri mengangguk, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. “Ya, sebenarnya ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan. Tentang kita…”

 

Andini menunggu, matanya tidak lepas dari wajah Andri. Dia bisa merasakan ada sesuatu yang berat di dalam dada Andri. “Kamu bisa bicara, Andri. Aku di sini untuk mendengarkan.”

 

Andri menatap dalam-dalam ke mata Andini. “Kamu tahu, sejak kita bertemu, banyak hal berubah dalam hidupku. Kehadiranmu di sisiku membuat segalanya terasa lebih baik. Aku menyukaimu, Andini. Aku sudah jatuh cinta padamu.”

 

Kata-kata itu meluncur dari bibir Andri dengan kejujuran yang tulus. Dia merasakan jantungnya berdegup kencang, menunggu reaksi Andini. Dan ketika Andini terdiam, Andri merasakan ketegangan yang menggantung di udara.

 

“Aku… Andri, aku tidak tahu harus berkata apa,” Andini akhirnya menjawab, sedikit terkejut. Ekspresi wajahnya campur aduk antara kebahagiaan dan ketidakpastian.

 

Andri menunduk sejenak, menyembunyikan rasa takutnya. “Aku mengerti jika ini terlalu cepat untukmu. Aku tidak ingin memaksakan apapun. Hanya saja, aku tidak bisa lagi menyimpan perasaanku ini. Kamu telah menjadi bagian terpenting dalam hidupku. Aku ingin lebih dari sekadar teman.”

 

Andini menggigit bibirnya, merasakan perasaan yang bergejolak di dalam hatinya. Dia memang merasakan sesuatu yang lebih untuk Andri, tetapi rasa takut akan mengulangi kesalahan masa lalu menghantui pikirannya. “Andri, aku… aku suka kamu. Tapi setelah semua yang terjadi sebelumnya, aku merasa ragu. Apa yang terjadi jika kita mencoba dan ternyata tidak berhasil?”

 

Andri mengerti ketakutan Andini. Dia tahu betapa dalamnya luka yang dibawa Andini dari masa lalunya. “Aku tidak ingin membuatmu merasa tertekan. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini untukmu, tanpa syarat. Jika kamu merasa siap, aku ingin menjalani ini bersamamu.”

 

Andini merenung sejenak, mencari kata-kata yang tepat. Dia ingin menjawab dengan jujur, tetapi ketidakpastian masih mengganggu pikirannya. “Andri, aku menghargai semua yang kamu lakukan untukku. Dan aku merasa nyaman bersamamu. Mungkin aku hanya perlu waktu untuk memikirkan ini.”

 

Andri mengangguk, meskipun hatinya terasa berat. Dia tahu bahwa cinta tidak bisa dipaksakan, dan Andini butuh waktu untuk menemukan jalan hatinya sendiri. “Baiklah. Aku akan memberi kamu waktu. Apapun yang kamu putuskan, aku akan mendukungmu.”

 

Setelah percakapan yang emosional itu, suasana di kafe mulai kembali normal. Mereka berbicara tentang hal-hal lain, tetapi di dalam hati mereka, ada perasaan yang baru muncul—kekhawatiran dan harapan yang bercampur aduk. Andri merasa sedikit lega bisa mengungkapkan perasaannya, tetapi di saat yang sama, dia juga merasa cemas akan keputusan Andini.

 

Hari-hari berlalu, dan meskipun Andini berusaha untuk bersikap normal, hatinya masih dipenuhi dengan pertanyaan. Dia memikirkan Andri, kebaikan dan kesabarannya, dan bagaimana Andri selalu bisa membuatnya tertawa. Dia merasa terhubung dengan Andri dengan cara yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, rasa takut akan kehilangan kembali membuatnya terjebak dalam keraguan.

 

Suatu sore, saat Andini sedang mengajar di sekolah, dia melihat Andri berdiri di luar kelas, menunggu. Dia tersenyum ketika Andini melihatnya, dan dalam sekejap, semua kekhawatiran Andini seolah lenyap. Dia berlari keluar, menghampiri Andri yang sedang menunggu dengan wajah cerah.

 

“Kenapa kamu di sini?” tanya Andini dengan nada ceria.

 

“Aku hanya ingin melihatmu. Selesai mengajar lebih cepat hari ini?” Andri bertanya, matanya bersinar.

 

Andini mengangguk. “Ya, kami selesai lebih awal. Jadi, ada rencana?”

 

Andri berpikir sejenak. “Bagaimana kalau kita pergi ke taman? Ada festival malam ini, mungkin kita bisa melihat-lihat.”

 

Andini setuju, dan mereka pun melangkah bersama ke taman. Suasana di taman begitu meriah, dengan lampu warna-warni dan suara tawa anak-anak yang berlarian. Andini merasa bersemangat. Berjalan berdampingan dengan Andri membuatnya merasa aman, dan saat mereka sampai di tengah keramaian, Andri meraih tangan Andini.

 

“Lihat, ada wahana permainan! Ayo kita coba!” seru Andri, mengajak Andini ke arah wahana tersebut.

 

Andini tidak bisa menahan tawanya. Rasa gugup yang semula mengisi hatinya perlahan-lahan menghilang, tergantikan oleh kegembiraan. Mereka mencoba berbagai wahana, tertawa, dan saling menggoda. Di antara semua kesenangan itu, Andri merasakan momen yang tepat untuk kembali mengungkapkan perasaannya.

 

Setelah beberapa saat, mereka duduk di bangku taman, menatap keramaian. Andri mengalihkan pandangannya ke Andini. “Kamu tahu, aku selalu merasa beruntung bisa bersamamu di sini. Setiap momen terasa spesial.”

 

Andini tersenyum, merasakan getaran yang hangat di hatinya. “Aku juga merasakannya, Andri. Semua ini membuatku merasa hidup.”

 

Andri mengambil napas dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. “Andini, aku ingin kamu tahu bahwa perasaanku tidak berubah. Aku tetap mencintaimu, dan aku ingin membangun sesuatu yang lebih denganmu. Aku percaya kita bisa melewati semua ini bersama.”

 

Andini terdiam, mengingat kembali semua kenangan indah yang telah mereka bagi. Dia ingin percaya pada Andri, tetapi keraguan masih menyelubungi pikirannya. “Andri, aku merasa terjebak antara perasaan untukmu dan rasa takut untuk melangkah maju. Aku ingin percaya, tetapi masa laluku masih menghantuiku.”

 

Andri merasakan sakit di hatinya mendengar pengakuan Andini. “Aku mengerti, Andini. Dan aku tidak ingin memaksamu. Cinta itu tentang kepercayaan, dan aku ingin kita bisa membangunnya perlahan-lahan. Aku akan menunggumu.”

 

Andini mengangguk, merasakan haru. Dalam hati, dia tahu Andri bukan hanya teman biasa. Dia telah menjadi sosok yang mendukung dan memberinya kekuatan untuk berani bermimpi lagi. “Aku ingin memberi kesempatan ini, Andri. Mungkin aku perlu waktu, tetapi aku ingin kita menjalaninya.”

 

Andri tersenyum lebar, sinar harapan kembali bersinar di matanya. “Terima kasih, Andini. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk membuktikan bahwa aku pantas untukmu.”

 

Lihat selengkapnya