Andini

Andika Paembonan
Chapter #13

Ujian Cinta

Ketika hubungan Andini dan Andri semakin dalam, mereka menyadari bahwa setiap perjalanan cinta tidak pernah mulus. Seperti halnya gelombang yang datang dan pergi di laut, ada kalanya hubungan mereka harus menghadapi ujian. Ujian pertama yang harus mereka hadapi datang dengan tiba-tiba, dan Andini merasakannya saat dia berusaha menyeimbangkan kehidupannya yang baru sebagai seorang guru dan perasaannya terhadap Andri.

 

Suatu pagi, saat Andini sedang bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, dia menerima telepon dari rekan kerjanya, Siti. “Andini, kamu tahu tentang proyek seni yang akan kita adakan bulan depan, kan? Kami butuh orang yang bisa memimpin tim,” suara Siti terdengar terbata-bata, seolah ada sesuatu yang mengganggu.

 

Andini merasa ada yang tidak beres. “Iya, aku tahu. Kenapa? Ada masalah?”

 

“Proyek ini sangat penting, dan aku mendengar bahwa kamu adalah satu-satunya yang bisa mengambil tanggung jawab ini. Namun, ada masalah dengan waktu. Banyak yang merasa tertekan karena ada deadline yang cukup ketat. Mungkin kamu bisa mengatasi semua ini, tetapi…”

 

“Tetapi apa?” Andini mendesak, merasakan kegelisahan mulai menjalar.

 

“Andaikan ada hal lain yang harus kamu urus. Kamu mungkin harus mengorbankan waktu dengan Andri,” Siti menjawab.

 

Andini terdiam, merenungkan kata-kata Siti. Dia tahu proyek seni ini penting, tidak hanya untuk sekolah tetapi juga untuk perkembangan para siswa. Namun, di sisi lain, dia tidak ingin mengabaikan Andri, terutama saat hubungan mereka baru saja mulai berjalan dengan baik. Dia harus menemukan cara untuk menyeimbangkan semuanya tanpa merusak hubungan mereka.

 

Sepanjang hari di sekolah, Andini merasakan beban di pundaknya. Dia melihat Andri yang duduk di mejanya, asyik mengerjakan laporan. Andri tampak fokus, tetapi Andini bisa merasakan getaran ketegangan di udara. Apakah Andri juga merasakan hal yang sama?

 

Saat jam istirahat, Andini memberanikan diri untuk mendekati Andri. “Andri, bisakah kita berbicara sebentar?” tanyanya dengan nada cemas.

 

“Ya, tentu saja. Ada apa?” Andri menjawab sambil menatapnya.

 

“Mengenai proyek seni yang akan datang… Aku mungkin harus mengambil tanggung jawab untuk memimpin tim,” kata Andini perlahan, mencoba merangkai kata-kata dengan hati-hati.

 

Andri mengangguk, tetapi Andini bisa melihat kerutan di dahi Andri. “Itu hal yang baik, Andini. Tapi…?”

 

“Tapi aku khawatir itu akan mempengaruhi waktu kita bersama. Proyek ini akan menyita banyak waktuku, dan aku tidak ingin hubungan kita terganggu,” jelas Andini.

 

Andri menatap Andini, seolah sedang memproses informasi yang baru saja diterimanya. “Aku mengerti, dan aku sangat menghargai kamu yang mengkhawatirkanku. Namun, aku ingin kamu mengejar apa yang kamu inginkan. Jika itu penting bagimu, aku akan mendukungmu.”

 

Kata-kata Andri seolah menyentuh bagian terdalam hatinya. Namun, Andini merasakan ada sesuatu yang kurang dari nada suaranya. “Apakah kamu benar-benar tidak keberatan? Aku tidak ingin kamu merasa diabaikan.”

 

Andri tersenyum, tetapi senyumnya terlihat sedikit dipaksakan. “Aku tahu kamu berusaha keras, dan aku percaya kamu bisa mengatur waktu dengan baik. Kita hanya perlu berkomunikasi.”

 

Sepanjang hari itu, Andini merasa gelisah. Meskipun Andri mengatakan bahwa dia akan mendukungnya, dia tidak bisa menepis rasa khawatir yang menggelayut di pikirannya. Dia tidak ingin menjadi egois, tetapi dia juga tidak ingin kehilangan Andri.

 

Hari-hari berlalu, dan Andini semakin tenggelam dalam pekerjaan. Dia mulai menghabiskan lebih banyak waktu di sekolah, menyusun rencana, mengatur pertemuan dengan para siswa, dan menyusun semua hal yang berkaitan dengan proyek seni tersebut. Dia merasa tertekan, dan kadang-kadang memikirkan Andri membuatnya merasa bersalah. Dia bahkan harus membatalkan beberapa janji untuk makan malam dan kencan.

 

Satu malam, setelah seharian bekerja keras, Andini pulang ke rumah dan mendapati pesan dari Andri. “Hai, apa kamu masih ada? Aku ingin berbicara denganmu,” pesan itu membuatnya sedikit cemas.

 

Setelah sejenak berpikir, Andini membalas, “Aku baru saja pulang. Ada apa?”

 

Andri mengajak Andini untuk bertemu di taman dekat rumahnya. Ketika Andini tiba, dia melihat Andri sudah menunggu di bangku taman. Wajahnya terlihat serius, dan Andini merasakan ketegangan yang mengisi ruang di antara mereka.

 

“Andini, aku ingin kita bicara serius,” Andri memulai dengan nada serius.

 

Andini merasa jantungnya berdegup kencang. “Apa ada yang salah, Andri?”

 

“Tidak ada yang salah, tetapi aku merasa kita perlu berbicara tentang bagaimana kita menjalani hubungan ini. Aku melihat kamu semakin sibuk dengan proyek seni, dan aku mulai merasa kita semakin jauh satu sama lain,” Andri berkata dengan jujur.

 

Andini menunduk, merasa bersalah. “Aku minta maaf jika aku membuatmu merasa terabaikan. Itu bukan maksudku.”

 

“Aku tahu kamu ingin melakukan yang terbaik untuk siswa-siswamu, dan aku sangat bangga padamu. Namun, aku khawatir kita mungkin kehilangan waktu yang berharga bersama. Aku merindukan saat-saat kita berbagi dan bersenang-senang,” Andri menjelaskan, matanya menunjukkan kerinduan yang mendalam.

 

Andini merasakan hatinya mencelup. “Aku merindukan itu juga. Tapi aku merasa terbebani oleh tanggung jawab ini. Aku tidak ingin mengecewakan siapa pun,” ungkapnya dengan nada putus asa.

 

Andri meraih tangan Andini, menggenggamnya lembut. “Kamu tidak perlu membuktikan diri kepada siapa pun. Yang terpenting adalah kita saling mendukung dan berkomunikasi. Jika kita tidak bisa menemukan waktu untuk satu sama lain, hubungan ini tidak akan berjalan dengan baik.”

 

Kata-kata Andri membuat Andini merasa tertegun. Dia menyadari bahwa dia telah kehilangan fokus pada apa yang benar-benar penting. “Aku ingin kita tetap bersama, Andri. Aku berjanji untuk berusaha lebih baik.”

 

Malam itu, mereka berbicara dengan terbuka dan jujur. Andini tahu bahwa ujian pertama dalam hubungan mereka bukanlah hal yang mustahil untuk dihadapi. Dengan saling mendukung dan berkomunikasi, mereka bisa melewati masa-masa sulit.

 

Namun, ujian itu tidak berhenti di situ. Beberapa minggu kemudian, ketika proyek seni akhirnya dimulai, Andini merasakan tekanan yang lebih besar. Dia harus menghadapi berbagai tantangan, mulai dari mengelola tim hingga memastikan semua persiapan berjalan lancar. Sementara itu, Andri merasa diabaikan dan semakin kesepian.

 

Andri mulai merasakan ketidakpuasan dalam hatinya. Meskipun dia selalu berusaha untuk mendukung Andini, dia juga butuh perhatian. Dia merasa terjebak di antara rasa pengertian dan rasa kesepian yang semakin mendalam. Dia mulai mempertanyakan apakah hubungan mereka masih bisa bertahan jika Andini terus terjebak dalam kesibukan dan tidak memberi cukup waktu untuknya.

 

Suatu malam, setelah Andini pulang larut karena rapat, Andri menunggu di ruang tamu. Ketika Andini membuka pintu, dia bisa melihat raut wajah Andri yang tegang. “Kau sudah pulang. Apa kita bisa bicara?” tanyanya.

 

Andini mengangguk, merasakan ketegangan di udara. Dia tahu ini adalah saat yang penting. “Ya, tentu saja. Maafkan aku karena terlambat.”

 

Andri mengambil napas dalam-dalam, berusaha untuk tetap tenang. “Aku merasa kita harus berbicara tentang apa yang terjadi. Aku menghargai semua kerja kerasmu, tetapi aku merasa kita semakin menjauh.”

 

Andini terkejut. “Andri, aku tidak bermaksud membuatmu merasa seperti itu. Aku hanya terjebak dalam semua tanggung jawab ini.”

 

“Namun, kamu tidak bisa mengabaikanku begitu saja. Aku butuh kamu di sisiku,” Andri menjelaskan dengan nada emosional.

Lihat selengkapnya