Mei 2013
“Mau teh anget bu..?” Saiful menyodorkan segelas teh yang tersaji dalam gelas berbahan tanah liat kepada Suzan yang saat ini tengah duduk di sebuah gubug yang berada di perkampungan suku baduy dalam. Hari sudah mulai malam,Sementara Ardi masih akrab bercengkrama dengan salah seorang warga yang ada disana, Ardi memang lebih mudah bercakap dengan orang baduy dalam dengan bahasa Sunda, dibandingkan Saiful yang asli Jawa. Penerangan warga sini pun masih alami dengan obor-obor kecil, tanpa listrik.
“Makasih...”ujar Suzan sambil menerima pemberian dari.
“Orang sini unik Ya Bu..?” Saiful membuka pembicaraan
“Kau baru pertama kali kesini..?” tanya Suzan
“Iya Bu.. saya kan belum lama gabung di Jagad Bumi.. dulu pas masih di Semarang mana sempat nglayap kesini.. uang kos aja dihemat-hemat..buat makan aja kadang disambung Indomie terus kalau udah akhir bulan..” kata Saiful
Suzan tertawa kecil, melihat kepolosan seorang Saiful
“Ya..ya.. aku paham.. dulu pas saya masih kuliah juga tak jauh beda lah nasibnya..” kata Suzan, “daerah sini sebenarnya sudah sejak tahun 1990an ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah setempat.. namun beberapa tahun terakhir dengan giatnya promosi wisata, wisatawan yang datang ke wilayah ini makin ramai.. warga sini mempunya budaya yang masih dijunjung tinggi, orang luar mungkin akan menilainya sebagai sikap primitif, tapi ini lah khazanah budaya disini, aku khawatir lama kelamaan orang sini pun akan risih.. melihat suku baduy hanya sekedar tontonan... padahal hal kan soal menjaga budaya khas mereka ini juga perlu dihargai..belum soal fenomena sampingan misal sampah plastik... kau lihat sendiri kan... disini ini semua serba alami, tak ada produk industri modern sperti plastik...” Suzan masih menerangkan dengan semangat
“Iya.. saya paham sih Bu..”
“Panggil aja Mbak atau Teteh.. bukankah dulu pas pertama ketemu aku sempet bilang begitu.. ? Enak aja kau bisa akrab manggil Mas ke Ardi, padahal aku dan dia kan masih seumuran..” Potong Suzan, “lagian kau juga bukan mahasiswaku..”
“He..he.. saya menghormati saja sih sebenarnya.. tapi oke lah Mbak Suzan...” balas Saiful
“Nah gitu dong.. jangan terlalu formal, ini bukan dikampus, biar lebih akrab juga..”
“Sebenarnya beberapa dampak negatif itulah yang dikhawatirkan oleh Mas Ardi dan beberapa teman di kantor... meski kami hanya fokus ke dampak lingkungan, tapi aspek sosial budaya tak bisa kami lepaskan juga...”Saiful melanjutkan pendapatnya.
“Aku senang kalian memiliki pandangan berbeda dengan kebanyakan pemerintah yang memandang kawasan ini sebagai aset wisata.. aku dengan senang hati akan memberikan saran dan perbaikan buat menjaga kawasan ini agar tetap seperti apa adanya..” lanjut Suzan.
Saiful lalu berhenti sejenak berbicara dan meminum teh yang dia bawa tadi, Suzan pun melakukan hal yang sama.
“Oh ya... agama warga sini sebenarnya apa ya? Apakah mereka Atheis ?” kata Saiful setengah berbisik, takut agak menyinggung
“Bukan... mereka ini penganut aliran kepercayaan... mereka punya tata cara sembahyang sesuai tradisi leluhur, kau harus baca lebih banyak soal aliran kepercayaan ini, ada banyak di Indonesia...sayang beberapa hal belum terakomodir secara administartif, beberapa kawan sedang memperjuankannya di MK..” Suzan menjelaskan.
Saiful hanya mengangguk pelan, dia memang belum begitu mengenal soal aliran kepercayaan, hanya tahu singkat dari pelajaran di sekolah.