Kepak Sayap Andromeda

Aulia Mumtaza
Chapter #16

Mata Batin

Saiful terduduk lemas di kursi kamar kosnya, setelah tadi diajak oleh Iptu Heri ke Cafe Labarados, menginterogasi para karyawan dan minta mereka untuk menggambarkan deksripsi calon tersangka untuk dibuat sketsa wajahnya oleh petugas kepolisian, Saiful akhirnya diantar pulang oleh Iptu Heri, sementara Iptu Heri harus segera kembali ke kantor untuk melanjutkan penyelidikan.

Semua yang diceritakan oleh Iptu Heri, termasuk kejadian tewasny anak Rahmat Sundoro kemarin membuat shock Saiful sendiri, dari lubuk hati yang terdalam ia tak rela jika Sosok Suzan adalah korban berikutnya, tanpa terasa pun bayangan Suzan berputar kembali dikepalanya, senyumnya, gestur bicara, semua itu membuat Saiful tak kuasa menahan air matanya untuk tumpah.

POV Saiful

“Maafin aku mbak.. kalau saja aku datang lebih cepat...” aku berkata lirih dengan penuh isak, aku tak sanggung membayangkan kalau orang seperti Mbak Suzan harus menjadi korban berikutnya dari pelaku pembunuhan berantai ini.

Aku merebahkan diri sejenak ke kasur, mencoba melepaskan rasa pegal dan beban yang sedari tadi menggelayuti tubuhku ini. Aku memang memiliki Intuisi dan Firasat yang kuat, boleh dibilang semacam anugerah, aku tak menghendakinya, ini pula lah yang membuatku agak renggang dalam hubungan keluarga, Keluargaku terbiasa dengan amalan dan laku-laku yang menurutku menyimpang, ya dulu aku sering bilang amalan-amalan mereka ini bid’ah... sesat... Keluargaku, terlebih Ibuku sering dimintai tolong oleh tetangga untuk menentukan hari baik pernikahan, aku lebih sering bilangnya meramal, termasuk konsultasi kalau ada yang mau buka usaha, dulu pas kecil aku pernah kesasar saat main di kampungku sana di daerah Pati, karena iseng naik truk pasir aku menangis sejadi-jadinya, saat jelang Maghrib tiba-tiba saja Ibuku sudah menjemputku sejauh 20 Km dari desaku, ia menemukanku persis disebuah tepian Sawah, ya itulah salah satu kemampuan ibuku, Ibuku sering menyebutnya sebagai Karomah, tapi aku menganggapnya tidak, Ibu selalu bilang bahwa aku mewarisi kemampuannya itu, aku sempat diajari beberapa rapal dan hafalan tertentu untuk mengaktifkan kemampuan tadi, saat aku bertumbuh dewasa dan dekat dengan kajian-kajian islam aku semakin menjauhi aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh ibuku itu. Saat akhirnya aku Kuliah aku semakin lupa, saat aku pulang pun pembicaraan menjadi normatif, terlebih ketika aku bekerja di Jakarta kesibukan kadag melupakanku dari sekedar menyapa orang tuaku, sesuatu yang sebenarnya salah, tapi ya mau gimana lagi.

Kejadian hilangnya Mbak Suzan dan aku yakin menjadi korban penculikan ini membuatku teringat akan kemampuan Ibuku, tapi aku malu mengakuinya... masak aku harus menjilat ludahku sendiri.

“tidak...tidak... itu Musrik...” kataku lirih lalu berusaha memejamkan mata.

Namun Bayangan kembali wajah Mbak Suzan terus berputar dikepalaku, aku tak rela... tak kan pernah rela...Argkh... kenapa aku jadi seperti ini... apakah aku beneran sudah Jatuh Cinta pada sosok Mbak Suzan.. seseorang yang jauh lebih tua dariku ini... pertemuan pertama dengan Mbak Suzan kembali berputar dikepalaku... hatiku terus bergejolak... antara Ya dan Tidak

Aku bergegas bangkit dan menelepon sebuah nomor telepon tak lain adalah nomor telepon pamanku yang rumahnya sebelahan dengan rumahku, Ibuku orang yang agak gaptek, berulang kali dibelikan HP tetap saja tak mau pakai karena ribet katanya, jadi setiap mau telpon harus lewat pamanku yang merupakan adik bungsu dari ibuku ini.

“Kenapa Ful.. kok tumben malem-malem telpon.. “ suara pamanku di ujung sana-sini

“Enggih Pak lek.. Mau bicara sama ibu...” kataku dengan sopan

“Woh kebetulan... tadi Sore ibumu nanyain kamu... katanya ada perasaan nggak enak atau apa gitu.. ya udah aku ke sebelah dulu...”

aku pun menunggu beberapa saat sebelum akhirnya terdengar suara Ibuku,

“assalamu’alaikum... Ada apa to le.. tiba tiba nelpon... ada masalah apa..?” suara lembut ibuku terdengar begitu menenangkan ditengah kekalutan yang kualami ini.

“Maafin aku Bu... aku banyak salah...” aku tak kuasa menangis, benar-benar menangis

Tak terdengar suara dari ujung sana, ibuku hanya terdiam,

“Udah selesai nangis..? berarti bener firasat yang ibu dapat tadi.. coba sekarang kamu ceritain ada kejadian apa sampai kamu cengeng kayak gini...”

Akhirnya aku mengeluarkan semua dari mulutku segala cerita tentang kejadian yang menimpa Mbak Suzan, awal pertemuan dan perkenalan-perkenalnku yang lain, dengan setengah terisak.

“Ibu ngerti... tapi ibu tak bisa banyak bantu... yang bisa kamu sendiri le...” kata Ibuku, “Kalau mau tahu dimana posisi Mbak Suzan itu harus leat perantaraan barang miliknya le.. Ibu ndak ada perantaranya... kalau kamu punya.. kamu pasti bisa menemukannya... tinggal buka mata batinmu saja seperti yang dulu pernah Ibu ajarin..”

“Tapi aku udah lama nggak melakukan itu bu.. udah lupa... dan nggak percaya kemampuan itu aku punya... aku hanya perlu tahu gimana kondisi Mbak Suzan searang dan ada dimana...” kataku lagi

“Wis to le... ibu dapet penglihatan bahwa kamu bentar lagi akan pulang kesini ngenalin calon mantu Ibu... Ibu ndak bisa jelas lihat wajahnya.. dari ceritamu tadi kayaknya kok kamu beneran naksir sama sosok Mbak Suzan itu... yen pancen tresno.. kamu pasti bakal mau ngelakuin apapun...”

“Tapi aku ndak punya barang pemberian Mbak Suzan sama sekali... kenalnya juga belum lama..kok ibu bisa bilang gitu...”

“Kamu punya kok le barang itu...”

Perkataan Ibuku tadi membuatku terhenyak, aku punya barang milik Mbak Suzan..? Apa itu... aku berfikir keras, jangan-jangan....tiba-tiba aku teringat sesuatu, aku pun bergegas mengambil sebuah kardus yang berada diatas lemari, aku membongkar isi kardus itu dengan cepat, ada beberapa buku dan barang-barang semasa dikampus dulu yang ikut kubawa ke Jakarta, aku mencari-cari dalam tumpukan beberapa Id card, sticker, modem internet lama dan ada sebuah box kartu nama disitu, aku membuka box itu didalanya aku menemuka ada Bross itu... bross makara milik Mbak Suzan yang kutemukan terjatuh saat itu, aku tak menyangka ternyata Bross itu masih tersimpan, aku udah lupa bahkan sebenarnya, tapi ibuku bisa tahu.

“Enggih Bu... ternyata barangnya ada...” aku melanjutkan omonganku dengan Ibuku

“Nah kan.. kalau begitu lakukan tugasmu... jangan lupa ajak pak polisi itu.. waktumu hanya malam ini sebelum terlambat...keputusan ada pada dirimu sendiri Le... Assalamu’alaikum...”

Ibuku menutup telepon tiba-tiba, aku beneran dihadapkan dalam pilihan yang sulit, aku bergulat dengan pikiranku sendiri, sebagian diriku seolah menelikung sebagian yang lain.

Lihat selengkapnya