TIDAK ada yang lebih menyeramkan daripada terbangun di pagi hari dan mendapati ruang tamunya serupa kapal pecah. Haura merasakan kejengkelan itu melumuri benaknya sejak dia berusia dua belas, sampai sekarang, di usianya yang ketujuh belas tahun, lantaran Mama tidak henti berbuat ulah demi melampiaskan kemarahannya pada Papa. Kali ini pun, ruang tamu menjadi sasaran. Kaleng-kaleng soda dan botol anggur dibiarkan jatuh dari meja sehingga isinya menumpahi karpet. Obat-obatan anti depresan dan pembersih pencernaan berceceran di samping semangkuk keripik kentang yang sudah melempem, bahkan ada bau tajam menjijikkan menguar dari jaket yang menggantung loyo di sofa.
Haura tahan-tahan saja untuk tidak melawan Mama, karena fase sinting wanita itu pasti akan membuat kepalanya sakit dan suasana hatinya rusak seharian. Daripada begitu, lebih baik diam, menyingkir, atau melakukan apa pun yang bisa mengalihkan perhatiannya dari tingkah senewen Mama yang akan menyalahkan siapa saja yang berani menyenggol. Itu yang biasanya Haura lakukan. Namun, kali ini, entah bagaimana kemarahan Haura tersentil. Barangkali karena dia sudah tak tahan menjadi babu yang ujung-ujungnya membereskan segala kekacauan.
Mudah untuk menemukan pelaku di balik hancurnya ruang tamu, sebab Haura sudah mengalami pengalaman serupa di hari-hari sebelumnya. Gadis itu menghampiri bilik dapur, lalu menemukan Mama, dalam balutan cheongsam―gaun khas mandarin berwarna hijau botol yang dikenakannya untuk pertemuan bisnis semalam―berdiri sempoyongan di dekat konter sambil memegangi segelas air mineral.
Mata Mama masih merah, pekat oleh kabut teler, memandangi Haura seperti menatap orang asing. "Kenapa lihat-lihat?" Suaranya bahkan terdengar parau dan diseret-seret.
Mama menggapai ponsel di atas meja. Dengan sikap linglung, jemarinya berjuang menekan-nekan layar agak tak salah ketik.
"Ma, jangan main hape," Haura merebut ponsel itu dengan kasar. "Berhenti ngelakuin kayak gini lagi. Bahaya buat kesehatan!"
"Kamu bisa diam, enggak, sih? Kepala Mama ... pusing!"
Mama Haura, atau semua orang di blok pemukiman biasa memanggilnya dengan sebutan Bu Samaia, mendelik marah pada putrinya yang hanya bisa memasang tampang prihatin bercampur jengkel. Semalam, Mama memang kelewatan minum saat merayakan pertemuan bisnis dengan kolega barunya. Padahal dokter terapinya sudah mewanti-wanti untuk berhenti menyentuh alkohol, tetapi mamanya tak tahan lagi. Sebetulnya Haura berpikir bahwa melibatkan perintah dokter dalam kasus wanita ini adalah urusan sia-sia. Lima tahun itu bukan waktu yang sedikit untuk melunturkan temperamennya, dan Mama butuh lebih lama dari itu.
"Kamu pergi aja ... udah waktunya sekolah!" kata Mama sambil cegukan, membuat Haura mengernyitkan kening karena mencium bau tajam alkohol dari napasnya. Kata-kata Mama terdengar ngawur dan melantur, "Anak perempuan―" cegukan lagi "―harus pinter, supaya ... enggak bisa ditipu laki-laki!"
"Mama mabuk banget, tahu, enggak?" kata Haura, lalu hendak melingkarkan lengan di bahu mamanya. "Ayo kuantar ke kamar."
Tapi Mama mendorong Haura agar menyingkir darinya. "Panas! Jangan pegang-pegang!"
Haura nyaris saja terjungkal ke lantai andai dia tak cepat-cepat menyambar tepian meja. Dorongan mamanya keras. Dan, Haura bisa saja meledak marah, tetapi dia banyak menerima perlakuan kasar dari mamanya sehingga sudah kebal.
Mama mengetik sesuatu di layar ponselnya dengan tampang berkonsentrasi. Entah siapa yang dihubungi, barangkali klien. Oh, seolah-olah penampilannya yang sekarang cocok untuk menyambut tamu. Bukannya terlihat profesional, Mama seperti berdiri di ambang jurang keteleran. Rambutnya acak-acakan seperti kain pel yang sudah lama tak dicuci, sementara riasan wajahnya luntur sehingga membuat wajahnya kelihatan lebih tua dari usia sebenarnya. Haura sudah hafal kisi-kisinya. Kalau bukan pesta yang membuat Mama menjadi seperti ini, Mama pasti melakukan sesuatu yang memicu ingatan buruk masa lalunya.
"Ngapain kamu masih di sana?" Suara Mama nyaris menggerutu.
Haura mengerjap sadar. Dia pasti kelihatan seperti bocah tidak sopan yang memelototi mamanya sendiri. Lantas gadis itu membalas sembari berputar keluar, "Aku mau ke sekolah dulu."
Mama bahkan tak repot-repot untuk membalasnya.
Langkah kaki Haura diseret-seret malas menuju kamarnya yang terletak di ujung lorong di atas tangga. Ketika dia mendorong pintunya ke dalam, tepukan keras dari bahunya membuatnya menoleh horor.
"Hindra!"
Haura melotot dongkol pada seorang pemuda yang usianya tak berselang jauh darinya. Namanya Mahindra, adik laki-laki yang sampai saat ini menjadi alasan Haura untuk bertahan tinggal di rumah itu. Orang-orang bilang Haura dan Mahindra lebih pantas disebut sepasang anak kembar, lantaran rambut cokelat bergelombangnya sama-sama mencolok dan menarik perhatian. Mereka juga memiliki mata yang identik―dengan iris berwarna madu pekat, dibingkai dengan alis yang tebal dan panjang. Satu-satunya yang selalu berbeda dari keduanya adalah ekspresi wajah yang selalu diformat bagai langit dan bumi. Haura cemberut, sementara Mahindra selalu dipenuhi gelak tawa berseri-seri. Salah satu tetangga mereka yang kurang ajar pernah berkomentar kalau Mahindra jauh lebih ceria―seperti permen jeruk segar di musim panas, berbeda dengan Haura yang mirip badai angkara di pagi hari. "Kurang ajar" terlalu lembut untuk menyebut tetangga yang berani meledeknya. Haura lebih setuju kalau orang itu disebut keparat sampah.
"Sial. Apa, sih? Ngagetin mulu," Haura protes lagi. Dia tidak jadi membuka kamarnya dan malah berhadapan dengan Mahindra.
"Mama udah pulang?"
"Iya, ada di dapur," balas Haura. "Lagi kumat, enggak usah dideketin."
Mahindra tertawa kecil, walaupun Haura tahu sebenarnya adiknya prihatin sekali dengan keadaan mamanya. "Ra, mau kukasih sesuatu, enggak?" Karena hanya beda satu tahun, Mahindra memang lebih nyaman memanggil Haura dengan sebutan namanya langsung.
"Aku enggak mood buat bercandaan, ya, Ndra."
"Lah, serius!" Mahindra langsung merogoh kantong piyamanya, lalu memberikan dua lembar kartu persegi panjang berwarna emas kepada Haura. Gadis itu sempat menyangka adiknya memberinya tiket menonton konser, tetapi saat membaca ukiran tinta hitam yang timbul di permukaannya, keningnya mengernyit.
"Sagara Circus? Ini tiket masuk ke pertunjukan sirkus?"
"Iya. Buat kamu aja," kata Mahindra.
"Dua-duanya?"