Angel's Circus

Honeymenu
Chapter #2

2. Sayap Putih Raksasa


BERULANG kali Haura merutuk cemas di dalam kamarnya karena begitu sembrono memberikan satu tiket sirkusnya ke orang asing.

Apa yang aku pikirin, sih? Emangnya ganti rugi obat mimisan sama tiket sirkus itu ide bagus?

Haura jadi mendapat kesan bahwa apa yang dia lakukan tadi sama artinya seperti mengajak pria random berkencan untuk menonton sirkus, padahal maksudnya bukan begitu. Kekhawatirannya membengkak karena Haura pun sadar bahwa si pria barangkali berpikiran risi atas sikap impulsif Haura.

Gimana kalau ternyata dia udah punya pacar dan menolak datang ke pertunjukan? Haura sih tidak masalah kalau pria itu tidak muncul, tetapi yang membuatnya panas-dingin adalah kemungkinan bahwa dirinya bakal dicap oleh pria itu seperti cewek yang mencari-cari kesempatan.

"Dia cewek yang tiba-tiba ngajakin aku nonton sirkus, padahal aku udah bilang kalau aku enggak terluka atau semacamnya. Coba tebak? Cewek ini mungkin punya obsesi baru buat ngajakin orang asing kencan." Ampun. Bayangan percakapan itu menghantui benak Haura.

Gadis itu menatap jam di layar ponsel yang sudah menunjukkan waktu setengah tujuh lebih sepuluh menit. Tidak ada pilihan lain. Dia harus segera berangkat dan menuntaskan semuanya. Maka Haura bangkit dari sisi kasur dan mencangklong tasnya di pundak.

Sebelum pergi, Haura menyempatkan diri menatap pigura foto keluarganya di atas nakas tempat tidur. Di dalam foto itu hanya ada Mama, Haura, dan Mahindra yang berdiri sambil tersenyum di depan kamera. Momen itu diambil dua tahun lalu, saat Haura menghadiri acara kelulusan SMP-nya. Mamanya tersenyum sumringah―keadaan mentalnya saat itu masih lumayan waras kendati sedikit-sedikit kumat. Dan, kalau sedang waras begini, mamanya terlihat luar biasa―bukan tipe wajah yang cantik dan keibuan, tetapi elegan dan cerdas. Haura terheran-heran mengapa wanita mempesona seperti mamanya mendapat pengalaman parah dalam hubungan cinta. Tetapi belakangan Haura sudah tahu jawabannya, bahwa tak semua yang terlihat sempurna memiliki takdir yang baik.

Papanya sendiri tidak datang ke acara kelulusan, padahal saat itu Haura berharap Papa akan setidaknya mengucap selamat, lantaran foto itu juga sempat diunggah Haura di media sosialnya. Apa yang kira-kira dilakukan papanya sekarang? Benarkah berpisah dengan mantan istri artinya juga berpisah dengan anak sendiri? Haura tak mau menyakiti dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Hidup bersama ibunya yang temperamen dan tidak bisa move on saja sudah berat, mana mungkin menyambut kembali Papa yang sudah menelantarkannya selama lebih dari lima tahun?

Haura membuang napas kecil. Sambil berusaha melupakan momen menyakitkan itu, dia keluar dari kamar dan berangkat ke gedung pertunjukan seorang diri.

-oOo-


Plaza Candramawa Theatre, atau PCT, adalah bangunan baru yang terletak tak jauh dari masjid Raya Bandung, dekat alun-alun kota. Berbentuk sangkar burung raksasa dengan dinding berpelitur tirai lipat, berwarna mencolok biru dan putih. Tempat itu biasanya memang disewakan untuk acara-acara besar seperti perayaan dan sirkus.

PCT mulai ramai diserbu pengunjung ketika Haura datang ke sana dengan berjalan kaki pukul setengah tujuh malam. Gadis itu masuk ke lobi teater dan naik lift menuju lantai tiga, tempat diadakannya pertunjukan sirkus Sagara. Di sekelilingnya, orang-orang datang berkelompok―mungkin dengan keluarga atau pasangan―dan semuanya tampak bergairah, dilihat dari cara mereka mengobrol semangat dan tertawa.

Haura masuk ke sebuah pintu ganda besar dan nyaris menahan napas ketika melihat amphiteather yang megah. Sebuah panggung raksasa berbentuk lingkaran sudah ditata sedemikian cantik di ujung ruangan, dengan lampu-lampu yang menyorot seluruh tribun yang berderet tinggi dan berlapis. Haura memeriksa nomor bangku di potongan tiketnya yang setengahnya tadi sudah diberikan kepada petugas. Dia naik ke tangga tribun, mencari barisan keempat dari lajur kursi reguler, lalu mengempaskan pantat di kursi sesuai nomornya.

Haura berpaling ke kanan, ke tempat kursi kosong yang seharusnya menjadi teman menontonnya malam ini. Diam-diam bertanya-tanya apakah pemuda bermata kelabu itu sungguh-sungguh datang dan duduk di sana. Ada semacam perasaan ragu yang tumbuh di hati Haura ketika membayangkan apa jadinya nasibnya nanti. Tidak ada rasa senang atau bangga, melainkan luar biasa malu dan canggung. Belum lagi, rasanya pasti sulit untuk tidak mengabaikan seseorang yang mampu membuat Haura membeku lantaran setiap inci kulitnya tersedot ke dalam badai di iris mata. Oh, ini berlebihan, tapi Haura memang mengakui kalau mata pria itu sungguh menarik.

Pada pukul tujuh lebih enam menit, lampu ruangan mulai dimatikan. Semua orang di sekeliling Haura tidak ada yang mengeluarkan suara kecuali dehaman antisipasi untuk menyambut apa pun yang akan beratraksi di panggung. Haura menelan ludah gugup. Dia seharusnya tidak perlu merasa antusias, tetapi entah bagaimana jantungnya kali ini ikut berdebar.

Lalu, sekali lagi, Haura melihat bangku di sampingnya.

Sampai pertunjukan mau dimulai, bangkunya pun masih kosong.

Bagus, ternyata mas-mas itu mengira tiket sirkus ini adalah undangan kencan berkedok ganti rugi obat mimisan.

Namun, tak mengapa. Tiga puluh menit berikutnya, Haura sudah disibukkan dengan pemandangan atraksi yang indah yang dibawakan oleh para pemain sirkus di atas panggung. Dia sudah mulai melupakan pemuda bermata badai itu lantaran kelewat terpana setiap kali melihat seseorang di panggung sana melakukan kegiatan yang ekstrem dan menawan.

Seorang pemuda yang muncul pertama di panggung memperkenalkan diri sebagai Ivan. Dia melakukan aksi melempar empat buah topi ke udara dan menangkap semuanya dengan gesit dan tepat. Semua orang bertepuk tangan, tetapi respons sorakan kali berikutnya lebih lantang dan impresif, sebab Ivan membawakan sulap menarik di mana dia mengeluarkan tiga sampai empat ekor merpati putih dari selembar sapu tangan. Haura menatap ke langit-langit, ke tempat merpati-merpati itu terbang dan menghilang ditelan kegelapan. Gadis itu agaknya bertanya-tanya apakah merpatinya masih hidup, khawatir bila kegelapan membuat burung-burung itu tidak bisa membedakan atap solid yang hampa dengan langit malam di luar.

Lihat selengkapnya