"RA? Udah pulang, belom?"
Suara Mahindra berseru dari balik pintu kamar Haura yang tertutup. Sepulang dari gedung pertunjukan sirkus, gadis itu langsung mencuci muka dan merebahkan diri di atas kasur, melewati separuh malam sambil membaca novel Bartimaeus karangan Jonathan Stroud untuk menanti kantuk.
"Udah. Kamu habis dari futsal?" tanya Haura ketika melihat adiknya membuka pintu kamar.
"Iya, baru aja," katanya sambil nyelonong masuk ke kamar Haura, lalu duduk di tepi kasurnya yang tertutup seprai berwarna abu-abu. Mahindra menghirup aroma lembut pewangi ruangan yang familier―aroma segar oceanic dan floral, lalu menyapu pandang dinding kamar kakaknya yang kosong dan muram. Kontras sekali dibandingkan dinding kamar Mahindra yang dipasangi berderet-deret rak gantung sebagai tempat pajangan figure. Ranjang tempat tidur Haura cenderung sepi. Hanya ada satu bantal untuk kepala dan satu guling, tidak ada poster, pajangan dinding, atau boneka-boneka yang biasanya ditemukan bertumpuk-tumpuk di kamar seorang gadis remaja. Satu-satunya yang membuat ruangan ini tampak hidup adalah adanya rak sebesar satu sisi dinding yang terisi penuh dengan buku-buku, dari fiksi sampai non fiksi―yang hampir separuhnya adalah novel-novel berbahasa Inggris luruhan dari neneknya. Walau begitu, semuanya masih tampak menjemukan bagi Mahindra yang ogah-ogahan menyentuh buku kecuali bila terpaksa.
"Ngapain ke kamarku?" Haura bertanya selagi atensinya terpaku pada novel yang dia baca. Nada bicaranya barusan kelewat ketus.
"Ye, pedes amat kayak sambel geprek. Mau minta tolong pasangin ini." Mahindra meletakkan kotak obat di hadapan Haura.
"Hah, kenapa kamu?"
"Ini jariku luka."
"Jatuh pas futsal?"
"Bukan. Kena air panas."
Lalu Mahindra menunjukkan luka melepuh di bagian jempol, dekat dengan kuku. Haura yang mendapati hal itu langsung mendorong dirinya bangkit dari posisi rebah. Dia menggamit pergelangan tangan adiknya dan mengambil plester bergambar bunga tulip dari selipan jari Mahindra. "Jangan sembarangan diplester, Ndra. Ini harus dikasih air dingin, terus diperban dulu," Haura berujar sedikit khawatir.
"Udah kukasih air keran, kok."
"Ngapain sih malem-malem kena air panas?"
Mahindra mulanya diam tak menjawab, namun ujung-ujungnya pemuda itu mengaku walau berat, "Tadi aku bikin Indomie buat Mama, soalnya kayaknya Mama dari siang belum makan apa-apa. Biasalah, emosi lagi gara-gara tidurnya diganggu, terus mangkuknya kesenggol Mama sampai tumpah dikit. Kuahnya kena jariku."
Mama lagi, Mama lagi.
"Cuma kena jempol aja?"
Mahindra mengangguk, dan Haura bertanya lagi, "Mama gimana?"
"Enggak apa-apa, kok. Tidur lagi dia."
Satu menit berikutnya mereka terdiam muram. Setelah melilitnya dengan perban pendek, Haura menempelkan plester di jemari Mahindra dengan hati-hati, sementara adiknya hanya memperhatikan semua itu dengan tatapan kosong.
Setiap kali pulang dalam keadaan mabuk, Mama selalu saja berubah menjadi monster temperamen yang suka berbuat kasar dan menyumpah serapah. Semua orang di rumah akan kena marah. Haura pernah dibentak dan diusir keluar hanya karena menyuruh Mama mandi dan makan, Mahindra bahkan pernah mendapatkan yang lebih parah―kepalanya harus mendapat tiga jahitan setelah mamanya kelepasan melempar jam beker sampai menggores pelipisnya.
Kejadian menyakitkan itu dulu pernah menjadi pemicu Haura untuk melaporkan mamanya ke polisi, akan tetapi ... Mahindra mati-matian menyuruh Haura diam.
"Mama seperti ini pas mabuk aja, kok. Kalau Mama lagi sadar, dia baik ke kita, iya, kan? Enggak usah khawatir, Ra. Kita cuma perlu jaga jarak kalau Mama pulang dalam keadaan seperti ini lagi. Yang penting kita masih bisa makan, sekolah, tidur di tempat hangat."
Betapa konyol menganggap semua penindasan ini bisa ditoleransi hanya karena mereka masih diberi tempat untuk bernaung. Terkadang Haura tidak habis pikir dengan kecenderungan Mahindra untuk pasrah dan bersikap bahwa semuanya baik-baik saja. Adiknya adalah definisi sebenarnya dari otak udang, tetapi Haura barangkali punya julukan yang lebih parah, sebab dia tak bisa melawan dan malah menuruti penolakan Mahindra. Mana ada kaka yang bersikap pengecut sepertinya?
"Ndra, kamu inget kata aku, kan?" Haura berceletuk lirih. Nada suaranya terdengar lambat tetapi mantap ketika mengatakannya, "Kalau udah enggak kuat, kita minggat aja berdua."
Namun raut Haura yang tanpa ekspresi malah membuat Mahindra terkekeh.
"Ngawur kamu, Ra. Terus kita berdua mau hidup sama siapa?"
"Gampang itu. Biar aku yang cari kerja."