Sama seperti hari-hari biasanya. Pagi ini aku mengantar kotak susu lagi. Namun kali ini, aku atur lebih cepat agar bisa sampai ke rumah dengan segera.
Dingin sekali. Angin terus berembus menusuk tulang. Ketika sampai di depan rumah Rey yang besar bernuansa Jepang, seseorang tampak keluar.
"Dis???" tegur seseorang. Dia semakin dekat menghampiri.
"Maaf apakah kau terbangun karena sepedaku yang berisik?" tuturku merunduk.
"Gak kok, memang mau menyapa kamu. Kenapa gak ke sekolah kemarin, Dis? Terjadi sesuatu kah?" tanya Rey penasaran.
"Ya." jawabku singkat.
Rey menatapku tanpa sepatah kata.
"Sudah ya, aku harus bergegas pulang." Aku meninggalkan Rey.
Sepanjang perjalananku hingga kini, hanya Rey yang berani bertegur sapa denganku. Aku mengenalnya semenjak masuk SMP. Meski begitu, aku tetap berjaga jarak dengannya. Karena bagaimanapun, aku harus menyadari posisiku.
Setibanya di rumah, aku langsung memasak dari hasil pendapatanku. Aku membuat nasi goreng saja. Ya, hanya nasi. Ditambah garam dan sisa kecap yang ada.
Setelah matang, aku kembali ke kamar bunda untuk menyuapinya.
"Nak, kamu gak sekolah?" tanya bunda.
"Gadis gak tega Bun, Gadis gak bisa ninggalin Bunda di rumah kalau ada kakak sama Ayah," jawabku pasrah.
"Gak apa-apa nak. Kamu harus tetap berangkat ke sekolah. Kamu harus memiliki masa depan yang jelas, Dis. Kunci saja pintunya agar kamu bisa ke sekolah dengan tenang, ya." tutur bunda.
"Tapi Bun..."
"Sudah. Cepat berangkat," perintah bunda.
"Baiklah Bun, Gadis akan berangkat ke sekolah."
Aku memastikan keberadaan ayah dan kakak sebelum berangkat ke sekolah. Namun, mereka tidak terlihat. Dengan segera aku mengunci kamar dan kamar bunda.
"Mau ke mana kamu?!" tanya ayah.
"Sekolah Yah," jawabku singkat.
"Percuma kamu sekolah! Memangnya mau jadi apa nanti? Lebih baik kamu bekerja saja sudah pasti dapat uang," ucap ayah.