Hari terakhir ujian nasional tinggal beberapa menit lagi. Aku masih berusaha menyelesaikan soal terakhir ini dengan penuh konsentrasi. Sesekali aku teringat kata-kata bunda kalau bunda ingin melihatku tumbuh menjadi anak yang kokoh meski selalu di terpa angin.
Aku cukup percaya diri dengan jawaban pada ujian terakhir ini. Setelah lulus, aku akan lebih berusaha lagi mencari uang untuk pengobatan bunda.
Sejak terakhir kali aku meluapkan emosi pada murid di sini saat itu, sekarang mereka tak lagi bersuara. Kupikir ketika merasa ditindas tak ada salahnya jika kita berupaya untuk menghargai diri sendiri. Karena siapa lagi yang akan membela kalau bukan diri sendiri? Kita memiliki hak penuh atas kenyamanan diri. Bagaimanapun, aku tak berhutang nyawa pada siapapun. Kini aku bertekad. Jadilah berani mulai sekarang!
Ujian telah berakhir. Aku segera pulang ke rumah karena harus membawa bunda ke rumah sakit untuk memeriksa kondisinya. Dengan uang yang kutabung selama ini, semoga saja cukup.
Aku membawa bunda dengan sepeda. Kusandarkan kepala bunda di belakangku dan memegang tangannya dengan erat agar bunda tak jatuh.
Setibanya di rumah sakit, kami duduk sembari menunggu antrean.
"Gadis, kamu sekarang sudah besar. Apa yang kamu cita-citakan nak?" tanya bunda memegang tanganku.
"Aku ingin memiliki sebuah kafe Bun. Kafe yang isi menunya cokelat semua. Pasti menyenangkan!" jawabku bersemangat.
"Maaf ya nak karena Bunda, hidupmu menjadi susah seperti ini," tetes air mata Bunda berjatuhan.
"Nggak, Bun. Bunda gak boleh bicara seperti itu. Lebih baik sekarang Bunda segera sembuh. Supaya bisa bantu aku untuk mencapai impianku. Oke Bun!" jawabku memeluk bunda.
Aku benar-benar ingin membuka kafe cokelat. Sebenarnya karena aku sangat menyukai cokelat sejak pertama kali aku mencobanya. Saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Namun, karena ekonomi kami semakin sulit, aku tak pernah sekalipun membeli cokelat lagi.
Akhirnya giliran Bunda tiba.
Dokter berkata bahwa kanker yang bunda alami sudah menjalar ke paru-paru dan otaknya. Mendengar hal itu sontak membuat ibu langsung sesak napas dan tak sadarkan diri.
"Mohon maaf nak, kami tidak bisa melakukan upaya lanjutan. Karena rumah sakit ini tidak memiliki alat yang mampu untuk menangani kasus Ibumu. Kami akan berupaya mencari rumah sakit rujukan yang bisa menerima kondisi Ibumu saat ini. Namun, harapan hidupnya sangat kecil," tutur Dokter Tio.
"Seorang Dokter tak boleh berkata seperti itu! Bagaimana bisa Dokter berkata bahwa pasien memiliki harapan hidup yang kecil? Setidaknya jangan membuat keadaan ini menjadi terdengar sangat mengerikan!" Aku menangis tersungkur.
"Apakah walinya hanya kamu saja?" tanya Dokter padaku.
Aku sangat kebingungan akan hal ini. Siapa yang bisa ku andalkan? Kakak dan ayah tak mungkin. Aku juga tak memiliki siapa-siapa lagi karena kelakuan ayah yang keluar masuk penjara. Aku mengis sejadi-jadinya. Bunda hanya berada di ruang UGD, karena ruang ICU sudah penuh akan pasien. Ya Tuhan aku harus bagaimana??! Aku terus menggenggam erat tangan bunda.
Aku berpikir siapa yang bisa menolongku. Sampai akhirnya aku terpikirkan dengan Rey. Sesegera mungkin aku berlari menuju rumah Rey.
Setelah dua puluh lima menit berlari, akhirnya aku tiba di rumah Rey langsung menekan bel.
Beberapa menit kemudian...
"Gadis? Tumben kamu ke sini? Lho kok kamu ngos-ngosan gitu? Ada apa?" tanya Rey membuka pintu gerbangnya.
"Bunda Rey, tolong!! Sekarang Bunda di UGD. Pihak rumah sakit berkata bahwa mereka sedang mencari rujukan untuk Bundaku. Aku mohon tolong aku!!" Aku berlutut di hadapannya.
"Kamu tunggu di sini, aku ambil motor sebentar," ucap Rey bergegas masuk.
Sesegera mungkin Rey menancapkan gas-nya.
Aku terus menangis sepanjang jalan. Aku benar-benar takut jika hal buruk terjadi pada bunda.
Lima belas menit kemudian kami tiba di rumah sakit. Dari parkiran motor, aku dan Rey berlari menuju ruang UGD.
Ketika sampai di depan pintu ruang UGD, terlihat tempat bunda sudah di penuhi Dokter dan beberapa Suster. Langkahku terhenti seketika. Mataku terbelalak seiring detak jantung yang kian melemah. Dengan menyeret kaki untuk melangkah lagi, Rey memegang pundakku ikut mengiringi.