Blurb
Jakarta, 1998.
Di antara asap angkot, mixtape patah hati, dan warung telepon umum, aku mengenalnya: Anggara.
Ia tidak romantis. Ia tidak tampan. Tapi ucapannya membekas lebih lama dari surat cinta.
Dari semua hal yang kutemui di Jakarta, cuma dia yang membuatku ingin tinggal lebih lama di masa SMA.
Ini bukan kisah tentang cinta yang sempurna. Ini tentang dia—dengan logika yang absurd dan cara mencinta yang seenaknya.
Namanya Anggara. Dan aku, Alenia, mungkin terlalu waras untuk terus mencintainya.