Anggara 1998

Okhie vellino erianto
Chapter #1

Jakarta 1998

Jakarta itu panas. Tapi bukan panas yang biasa. Panasnya bisa bikin kamu mikir ulang buat jatuh cinta, karena yang kamu kira detak jantung ternyata cuma deg-degan gara-gara kepanasan.

Aku ingat pertama kali melihat dia. Di parkiran sekolah, dekat tiang bendera. Motornya Vespa tua warna biru pudar, kayak jeans yang udah dicuci berkali-kali tapi tetap dipakai karena nyaman. Dia turun pelan, kakinya nyentuh tanah, dan jam Swatch di pergelangan tangan kirinya nyala kena matahari pagi.

"Kamu tahu nggak? Matahari tuh kayak perasaan orang tua. Nggak pernah minta kita ngerti, tapi tetap nyinari walau kita salah jalan," katanya waktu itu.

Aku nggak jawab. Karena kupikir, siapa juga yang ngomong begitu di pagi hari waktu upacara belum mulai? Tapi wajahnya santai, dan dia senyum tipis kayak tahu aku mikir yang aneh-aneh soal dia.

Namanya Anggara. Lengkapnya Anggara Mahendra. Anak kelas 3 IPS yang katanya pernah hampir dikeluarin gara-gara bikin puisi di soal pilihan ganda. Tapi katanya juga, dia ranking 7 di kelas. Entah karena guru-gurunya sayang atau karena dia punya cara sendiri bikin dunia nurut.

Ayahnya polisi. Ibunya katanya udah lama pindah ke Solo. Dan kakeknya — yang rumahnya besar di kawasan Condet — dikenal sebagai juragan tanah. Tapi Anggara nggak pernah bangga. Dia bahkan pernah bilang:

"Kakek gue punya banyak tanah. Tapi katanya, yang paling sulit itu nanam kesetiaan di hati orang yang terlalu banyak berharap."

Aku bingung, dia dapet kalimat begitu dari mana.

Ayahku kerja di BMKG. Dia bisa tahu kapan hujan turun, tapi nggak pernah bisa nebak kapan aku jatuh cinta. Ibuku guru matematika. Dan kakekku dulu lurah. Sekarang dia sering duduk di teras, nonton telenovela sambil bilang, “Dunia udah nggak kayak dulu.”

Temen-temenku bilang, aku terlalu kaku buat jatuh cinta. Katanya, aku mikir kayak orang tua. Tapi waktu aku lihat Anggara, semua itu nggak berlaku.

Karena dia kayak soal ujian tanpa kunci jawaban. Lucu, aneh, tapi bikin penasaran.

"Kalau lo mau tahu cowok absurd, tuh orang," kata Cindy, temanku yang paling bawel, sambil menunjuk Anggara dari kejauhan.

Gara — begitu mereka manggil dia — lagi duduk di tangga belakang mushola sekolah. Di sebelahnya, ada anak kacamata yang lagi main gitar. Dan di depannya, ada kertas coret-coretan yang isinya puisi:

Aku bukan senja, Tapi aku bisa bikin kamu pingin pulang lebih cepat dari biasanya.

Aku baca diam-diam. Dia nggak lihat. Atau pura-pura nggak lihat.

Dan entah kenapa, sejak itu aku nggak pernah bisa lihat Vespa warna biru pudar tanpa inget dia.

Cewek itu aneh. Dia jalan kayak orang biasa, tapi napaknya kayak lagi bawa pertanyaan yang nggak bisa dijawab pakai rumus. Namanya Alenia. Aku tahu dari lencana kecil di saku bajunya.

Alenia Mutiara. Nama yang kayak judul buku anak SMU yang penuh air mata. Tapi dia beda. Mukanya datar, tapi matanya ribut. Dan aku suka yang begitu.

Aku pernah bilang gini ke dia, saat kita pertama kali ngobrol:

"Kamu kayak langit sebelum badai. Nggak kelihatan galau, tapi orang jadi waspada."

Dia nggak ketawa. Tapi dia juga nggak marah.

"Kamu tuh siapa sih sebenernya?" katanya.

"Aku? Aku penonton hidup orang lain yang kadang lupa jadi tokoh utama hidup sendiri," jawabku sambil nyender ke tiang listrik.

Dia diem. Aku diem.

Tapi sejak hari itu, aku selalu nunggu dia lewat tiap jam istirahat. Dan dia — meski pura-pura nggak liat — selalu ngelirik jam Swatch-ku kayak pengen tahu detik mana yang bikin aku berhenti jadi aneh.

Aku mulai ngelihat dia kayak mimpi yang keseringan muncul. Nggak selalu jelas, tapi terus ada. Gara bukan cowok populer, bukan juga idola guru. Tapi dia tahu caranya muncul tanpa dipanggil.

Kadang dia duduk di dekat aku pas istirahat, padahal bangku masih banyak. Kadang dia numpang minum di botolku tanpa izin, lalu bilang, "Makasi ya, air kamu beda. Rasanya kayak… kangen."

Aku mulai nyatet hal-hal aneh yang dia bilang. Di binder belakang, antara rumus fisika dan gambar hati setengah jadi.

"Gue suka sama kamu pas kamu diem. Karena kamu kayak rahasia yang belum mau diceritain.""Kalo cinta itu penyakit, kamu tuh gejala paling enak."

Cindy mulai curiga. Rara mulai senyum-senyum sendiri tiap aku diem. Lysandra langsung nyodorin lip gloss warna pink. Dan Tika—seperti biasa—langsung ngomel:

"Kalau lo sampe jatuh cinta sama tuh orang aneh, Len… gue nggak akan nolongin lo kalo dia bikin puisi dari bungkus permen lagi."

Aku nggak bilang apa-apa.

Tapi hari itu, untuk pertama kalinya, aku nunggu seseorang keluar dari kelas bukan karena dia ganteng… tapi karena dia absurd. Hari Senin pagi, loker nomor 17 berisik. Ada yang naruh sesuatu. Waktu aku buka, ada lipatan kecil—sobekan dari majalah Aneka, bagian tips kesehatan remaja, tapi di baliknya ada tulisan tangan.

"Kalau kamu ngerasa hari ini berat, mungkin kamu belum tahu bahwa kamu manis waktu melamun."

Nggak ada nama. Tapi tulisannya familiar. Tinta bolpoin warna biru, tulisan sedikit miring ke kiri. Aku pernah lihat di kertas puisi yang dia buang ke tempat sampah belakang musholla.

Cindy langsung ngintip dari belakang: "Isi apaan tuh? Surat cinta? Dari siapa?"

Aku langsung lipat lagi dan selipin ke buku Kimia. "Nggak tau. Mungkin salah masuk loker."

Tapi saat aku duduk di kelas, aku lihat dia—Gara—lagi pura-pura nyoret-nyoret di belakang buku, sambil ngelirik ke arahku. Nggak lama, dia nyengir kecil. Kayak orang yang tahu rahasia tapi nggak mau ngaku.

Waktu istirahat, aku duduk sendiri di bangku taman. Gara dateng pelan-pelan. Duduk di sebelah, tanpa suara. Lalu tiba-tiba dia buka pembicaraan:

"Tau nggak... orang yang suka melamun itu biasanya penyendiri, tapi punya dunia paling ribut."

Aku noleh. "Kamu suka ngelamun juga, ya?"

Lihat selengkapnya