Hari itu suasana sekolah rame. Bukan karena upacara atau guru baru. Tapi karena kabar: ada anak dari sekolah sebelah yang nongkrong di warung depan gerbang, sambil sok asik ngeliatin cewek-cewek sini.
Geng-nya Dani, salah satu teman Anggara, udah mulai gerah. Apalagi pas dengar kalau salah satu anak itu baca keras-keras sobekan surat yang katanya nemu di lapangan belakang.
"Eh, ini siapa yang nulis? 'Kalau kamu daun, aku bakal jadi angin yang numpang lewat tapi nggak ninggalin'? Sumpah, geli banget!"
Tawa-tawa pecah. Tapi nggak semua ketawa karena lucu. Ada yang mulai ngepalin tangan.
Dan Gara, yang baru muncul dari parkiran, langsung tahu: suratnya jatuh ke tangan yang salah. Tanggal 20 Mei, malam peringatan reformasi. Di jalan-jalan Jakarta, obor kecil dinyalakan. Tapi di hati sebagian orang, Bangku nomor dua dari jendela masih kosong.
Sudah seminggu sejak Gara dikeluarin dari sekolah. Tapi aku masih suka duduk di bangku yang menghadap ke arahnya. Masih suka melirik ke arah tempat dia biasanya nyender sambil baca catatan kecilnya.
Suasana kelas nggak pernah pulih sepenuhnya. Dani makin jarang bicara. Farah sibuk menulis entah apa di buku hariannya. Bahkan Ilham... dia nggak lagi nongkrong di tangga depan kelas.
Dan aku?
Aku masih nyimpen surat itu. Surat yang nggak sempat aku kasih. Disobek? Nggak. Dibakar? Nggak juga. Aku cuma selipin di novel tua yang pernah dia pinjemin. Novel yang sekarang kembali ke tasku, diam, dengan surat yang nggak pernah menemukan tujuannya.
Hari itu, Pak Rudi, guru sejarah, nyebut nama Anggara pas absen. Refleks. Semua orang diem. Sunyi.
Lalu dia diam sejenak, ngelihat daftar nama, dan lanjut baca nama berikutnya.
Tapi di momen itu, aku tahu: beberapa orang nggak perlu hadir untuk tetap membekas.
Dan beberapa kenangan, nggak pernah benar-benar hilang—mereka cuma duduk diam di bangku kosong, nunggu seseorang cukup berani buat mengingat.amarah belum benar-benar padam.
Gara berdiri di atap rumah Dani, memandangi kota dari kejauhan. Di bawah sana, Dani, Ilham, dan Rino lagi ngerokok sambil ngelihatin jalan.
"Lo yakin mau dateng, Gar?" tanya Ilham. "Geng dari SMA 47 nyari lo. Mereka nggak selesai sama kejadian tempo hari."
Gara cuma angguk. "Gue nggak datang buat ribut. Tapi gue nggak bisa terus sembunyi."
Rino buang nafas berat. "Kalau ada yang ribut lagi, lo bisa di DO, bro. Lo udah tahu itu."
"Gue lebih takut jadi pengecut daripada jadi alumni lebih cepet."
Dan malam itu, Gara turun dari atap. Jaketnya dikancingin penuh. Jam tangan swatch-nya dipakai lagi. Bukan karena dia siap berkelahi. Tapi karena dia siap bertanggung jawab atas semua yang pernah dia bela.
Pertemuan di gang belakang sekolah terjadi cepat. Nggak ada negosiasi. Hanya sorot mata penuh benci, dan kalimat:
"Lo ngerusak muka anak gue, sekarang gantian lo yang dapet gantinya."
Pertama cuma adu dorong. Lalu tinju. Batu. Kaki. Semua masuk. Gara sendirian, karena geng-nya nggak sempat nyusul. Dan mungkin... memang takdirnya harus sendiri.
Polisi datang terlambat. Tapi cukup cepat buat nahan Gara yang berdarah dan lawannya yang nyaris pingsan.
Di kantor polisi, Gara duduk diam. Lagi-lagi.
Ayahnya masuk. Seragamnya lecek. Wajahnya keras.
"Kamu pikir ini bentuk pembelaan? Ini bentuk putus asa, Gar."
Gara jawab pelan. "Nggak semua orang bisa bertahan dengan cara yang benar, Yah. Tapi gue... setidaknya nggak kabur."
Dan di malam itu juga, keputusan dibuat: Anggara ditahan sementara.
Bukan karena dia kriminal. Tapi karena kota ini belum siap bedain antara pembela dan pelaku.
Dan sekolah akhirnya mengeluarkannya.
Semua terjadi dalam seminggu. Cepat. Seperti tragedi yang nggak pernah dikasih waktu buat disesali.
Tapi yang lebih menyakitkan bukan penjara. Bukan DO. Tapi kenyataan bahwa surat terakhir dari Alenia... nggak pernah sampai ke tangannya.
Dia nggak bilang apa-apa. Cuma masuk ke kerumunan, ambil sobekan surat dari tangan cowok sekolah sebelah itu, dan bilang pelan:
"Kalau kamu baca, baca buat diri sendiri. Nggak semua kalimat ditulis buat ditertawain."
Anak itu senyum sinis. "Lo nulis buat siapa sih? Cewek SMA sini yang songong itu?"
Dani maju. "Udah. Jangan nambah omong."
Tapi si cowok malah dorong bahu Gara.
Dan secepat itu, suara meja warung jatuh. Beberapa anak sekolah mulai teriak. Ada yang mukul, ada yang lari. Tawuran kecil pecah begitu aja.
Di dalam kelas, aku denger kabar itu dari Farah. Katanya, Gara dan Dani dibawa ke ruang BP.
Jantungku berdegup. Rasanya kayak surat itu bukan cuma jatuh, tapi nyeret semuanya ikut luka.
Sore itu, aku nunggu di depan ruang guru. Gara keluar dengan baju kusut, bibir sobek sedikit, tapi masih senyum kayak biasa.
"Sori, suratnya jatuh," katanya.
Aku ngelihat matanya. Nggak marah, nggak takut. Cuma... capek.
Aku pegang lengannya pelan. "Kamu luka."
Dia senyum lagi. "Lebih baik luka karena ngebelain sesuatu yang ditulis dari hati, daripada diem waktu orang lain nginjek harga diri."
Dan saat itu, aku sadar: cinta absurd kami nggak cuma tentang kalimat manis dan senyum di bawah pohon jambu. Kadang, harus ada darah di balik surat yang jatuh. Sejak tawuran kecil itu, Gara mulai beda. Bukan dingin. Bukan cuek. Tapi kayak orang yang lagi ngelindungin sesuatu dengan cara pergi pelan-pelan.
Dia tetap datang ke sekolah. Tapi udah jarang nongkrong di bawah pohon jambu. Nggak ada lagi surat-surat kecil di loker. Bahkan, senyumnya… mulai jarang muncul.
Aku coba nyamperin dia. Di koridor, di perpustakaan, bahkan di kantin lama. Tapi dia cuma jawab singkat. Kadang senyum, tapi buru-buru pergi. Dan itu bikin aku mulai mikir:
Apa semua ini salahku?
Sampai suatu siang, aku nemu dia lagi duduk sendirian di belakang musala sekolah. Tempat yang bahkan aku nggak pernah tahu dia suka.
Aku duduk di sampingnya. Nggak ngomong apa-apa dulu. Dia juga diem.
"Kamu lagi nyembunyiin apa, Gara?"
Dia noleh pelan. "Nggak semua hal harus ditunjukin, Len. Kadang… yang disembunyiin justru yang paling berharga."
"Termasuk perasaan kamu ke aku?"