Satu bulan setelah kejadian malam itu, aku nerima kabar dari Dani: Gara dibebaskan bersyarat. Bukan karena kasusnya dicabut, tapi karena usianya belum cukup untuk dikurung lebih lama.
"Tapi dia nggak langsung pulang ke rumah," kata Dani sambil duduk di depan warung kopi. "Katanya... dia butuh jarak dari semua."
Aku cuma diam. Waktu sempat berhenti di kepala, tapi kenyataan terus jalan. Dan dalam kenyataan itu, aku tetap ke sekolah, tetap lewat bangku kosong itu, tetap nunggu sesuatu yang mungkin nggak bakal datang.
Dua minggu setelah kabar itu, ada surat datang ke rumahku. Tanpa nama pengirim. Tapi aku tahu, dari tulisan tangannya.
Len,Gue baik. Atau setidaknya mencoba. Kadang malam masih ribut di kepala. Tapi gue belajar diamin semuanya pelan-pelan.Gue lagi tinggal di rumah nenek di Bogor. Di sana tenang. Gak ada sirine, gak ada bangku kosong yang bikin sesak. Hanya suara hujan dan kasur tua yang kerasnya kayak kenyataan.Kalau lo masih simpan surat lo yang terakhir, simpan aja dulu. Nanti, kalau waktunya tepat, mungkin gue bisa baca.
Surat itu kutaruh di antara halaman buku yang sama. Kali ini dengan dua surat di dalamnya.
Dan hidup terus berjalan, tanpa Gara di sekolah. Tapi nggak satu hari pun aku lupa: beberapa luka nggak disembuhkan waktu, tapi ditenangkan jarak. Bogor nggak seberisik Jakarta. Tapi justru karena itu, malam-malam di sini terasa lebih panjang.
Anggara duduk di beranda rumah neneknya. Angin lembab, suara kodok dari sawah, dan jam swatch yang masih retak — satu-satunya yang dia bawa dari rumah lama.
Neneknya jarang bicara. Tapi selalu masak tepat waktu, dan selalu naro teh hangat di meja. Mungkin itu cukup buat bilang, "kamu masih ada yang peduli."
Di malam-malam tertentu, Gara menulis puisi-puisi pendek di kertas rokok:
'Hujan turun, tapi nggak semua luka bisa dicuci.''Orang dewasa bilang waktu menyembuhkan, tapi mungkin mereka cuma lupa rasanya ditinggal pas lagi butuh-butuhnya.'
Dan setiap kali dia selesai menulis satu kalimat, dia selipkan di bawah kasur. Entah buat apa. Mungkin cuma biar rasa sesaknya pindah tempat.
Di Jakarta, Alenia masih menyimpan buku catatan itu. Masih suka duduk di pojok kelas yang sama. Farah mulai jarang ngobrol, Dani mulai jarang masuk.
Dan semua hal yang dulu berisik... kini berubah jadi diam yang nggak menyembuhkan.
Karena ternyata, kehilangan itu bukan cuma soal perpisahan. Tapi soal semua hal kecil yang nggak pernah kita sadari bakal hilang juga. Gara mulai bantuin di bengkel tua milik Pak Broto, teman lama neneknya. Bengkelnya kecil, cuma muat dua motor sekaligus, tapi penuh cerita.
"Lo anak siapa, tadi?" tanya Pak Broto waktu pertama kali Gara dateng.
"Bu Endang, anaknya Pak Haryo. Saya... cucunya."
Pak Broto manggut-manggut. "Berarti lo cucunya anak yang dulu suka ngebut di jalan Cikaret, ya? Pantes gayanya kayak motor rusak: diam tapi kalau dinyalain, meledak."
Gara ketawa tipis. Untuk pertama kalinya, senyumnya muncul karena hal yang benar-benar ringan.
Hari-hari dia isi dengan bersihin karburator, ganti oli vespa tua, atau antar onderdil ke toko. Nggak ada surat panggilan. Nggak ada geng. Nggak ada Alenia. Tapi ada ketenangan, meski cuma sedikit.
Di Jakarta, sekolah mulai sibuk. Ujian akhir dekat. Panitia kelulusan dibentuk. Semua orang sibuk nyiapin kenangan, seolah semuanya bakal baik-baik aja.
Tapi buat Alenia, semuanya masih sepi. Bahkan Dani — yang dulu paling ribut — mulai nulis puisi. Dan Farah? Diamnya makin panjang, kayak dia juga punya surat yang nggak pernah dikirim ke siapa pun.
Sampai suatu sore, Rino datang ke Alenia waktu pulang sekolah.
"Len, lo masih simpan buku catatan Gara?"
Alenia kaget. "Masih. Kenapa?"
Rino ngeluarin potongan kertas kecil. Puisi. Tulis tangan. Sobekannya mirip.
'Kadang yang bikin kita sakit bukan karena ditinggal. Tapi karena kita nggak tahu gimana caranya ninggalin tanpa nyakitin.'