Dua minggu setelah kelulusan. Jakarta makin padat, Bogor makin sepi. Tapi hati Alenia dan Gara masih sama: penuh kata-kata yang belum selesai ditulis.
Di rumah nenek, Gara duduk di beranda, meraut pensil dengan pisau kecil. Dia lagi menggambar sesuatu: peta kecil yang cuma dia mengerti. Peta tempat mereka biasa duduk, biasa tertawa, biasa jadi remaja.
Sementara itu di Jakarta, Alenia buka lemari dan menemukan jaket lusuh yang pernah Gara titipin di perpustakaan waktu ujan gede dulu. Masih ada bau kenangan.
Farah datang ke rumah, bawa kabar: "Len, katanya Gara mau balik ke Jakarta buat daftar ke sekolah kejar paket. Dia pengen lulus juga. Tapi... dia nggak tahu harus mulai dari mana."
Alenia pegang jaket itu. Dalam hati dia tahu, beberapa hal yang ditinggalin dulu mungkin harus dihadapi sekarang. Bukan buat mengulang, tapi buat memberi akhir yang lebih layak. Gara turun dari angkot depan sekolah lamanya. Langkahnya berat. Sekolah udah berubah. Warna catnya lebih cerah. Tapi bayangan-bayangannya tetap kelabu. Malam menjelang. Bogor diguyur hujan rintik. Gara duduk di kamar, buka-buka laci meja tulis lama yang penuh coretan masa lalu. Di dalamnya, ada undangan perpisahan dari Nadine. Tulisannya tangan. Tanpa nama, tanpa sapaan khusus. Cuma alamat dan jam.
Dia tahu itu bukan ajakan biasa. Itu ujian: masih mau datang atau enggak. Masih peduli atau udah selesai.
Gara ngelempar undangan itu ke tempat tidur, lalu nyalain tape tua. Lagu Fortwenty muter pelan. Suara serak lembut yang bikin dada sesak.
Keesokan harinya, dia muncul di rumah Nadine. Tanpa bilang siapa-siapa. Pakai kemeja putih yang agak kebesaran, rambut disisir rapi.
Anak-anak kaget. Tapi nggak ada yang komentar. Mereka langsung kasih ruang.
Alenia datang dari dapur, bawa nampan gelas. Dia berhenti sebentar liat Gara. Cuma itu. Tapi cukup bikin sore itu punya makna.
Nadine bisik ke Farah, "Kadang, orang nggak perlu diundang buat tahu dia masih ditunggu."
Dani lihat dia dari jauh. Senyumnya lebar. "Anjir... lo balik juga, bro."
Gara angguk. Mereka tos. Tapi cepat berubah jadi pelukan cowok-cowok yang malu kelihatan rapuh.
"Lo beneran mau lanjut sekolah kejar paket?" tanya Dani.
"Iya. Gue nggak mau nyerah di tengah jalan. Bukan buat siapa-siapa. Buat nyokap. Gue janjiin dulu gue bakal lulus."
Hari itu, mereka duduk lagi di kantin lama. Nggak seramai dulu. Tapi cukup buat bikin Gara ngerasa... dia belum sepenuhnya ditinggalin.
Alenia datang belakangan. Pakai seragam putih yang udah bersih. Dia cuma bawa buku catatan, dan senyum yang belum sepenuhnya sembuh.
"Lo balik?"
"Lo simpan suratnya?"