Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (Republish)

Bentang Pustaka
Chapter #3

Berendah Hati dalam Istikharah

SEBELUM pergi sekeluarga ke warung, pernahkah Anda menyempatkan diri untuk melakukan shalat Istikharah dulu untuk mendapatkan keyakinan tentang warung yang mana dan memilih menu apa yang terbaik bagi Anda sekeluarga dan sekaligus bagi Tuhan? Bukankah setiap pilihan kita—dari makanan, fakultas, mata kuliah, jenis pekerjaan, dan seterusnya—sebisa mungkin adalah yang terbaik menurut pandangan Tuhan? Sebab, yang terbaik bagi Tuhan pasti terbaik pula buat kita. Sementara yang kita hitung terbaik bagi kita, belum tentu baik bagi Tuhan, bahkan belum tentu baik bagi diri kita sendiri.

Pernahkah pula Anda merasa perlu ber-Istikharah untuk menentukan apakah akan pergi pakai bus kota ataukah kendaraan lainnya? Apakah akan tidur malam pada pukul 23.00 ataukah pukul 23.15? Apakah akan Jumatan di Al-Falah ataukah di Masjidil Haram? Apakah akan memakai jas lengkap atau cukup T-Shirt saja?

Saya yakin jawaban Anda adalah: tidak.

Tidak. Dan, permasalahannya bukan karena kita ogah terhadap pertimbangan Tuhan. Bukan karena kita meniadakan peran Tuhan. Melainkan karena Allah sendiri memang telah sejak semula memutuskan untuk berbagi tugas dengan makhluk-makhluk-Nya. Bukan Dia sendiri yang turun membelah dada Muhammad kemudian menyucikannya, melainkan cukup Jibril. Bukan Dia sendiri yang bekerja menyelenggarakan metamorfosis sel demi sel dedaunan dan kayu, melainkan cukup malaikat-Nya. Bukan Tuhan sendiri yang menjalankan kekhalifaan di muka bumi: Dia tidak menjadi wakil presiden, gubernur, atau pekerja kenteng magic; meskipun di kedalaman kosmos kerja para fungsionaris umat manusia itu, Dia sesungguhnya sangat berperan.

Akan tetapi, untuk menentukan kadar rasa pedas dalam sambal di atas layah, tolong tak usah merepotkan Tuhan. Kalau sehabis mususi1 beras, Anda menaruhnya di atas kompor, jangan lantas berdoa agar beras masak menjadi nasi. Tapi, nyalakan kompornya, tunggu sampai beberapa menit, pahamilah beda antara metode adang2 dengan ngliwet3.

Persoalannya bukan karena doa itu tidak penting. Doa itu amat sangat penting, tapi ia memiliki konteks dan momentumnya sendiri, posisi ruang dan waktunya sendiri, serta moral dan etikanya sendiri. Kalau motor macet, lantas jangan menengadahkan muka dan minta Allah membengkelkannya. Para pilot pesawat Boeing atau Fokker jangan berdoa agar menjelang landing si burung teknologi itu mampu mencapai tingkat kelambatan tertentu agar lebih selamat, tapi ubah pesawat itu dengan mentransfer sistem sayap, seperti yang misalnya dimiliki Airbus 300-600. Kalau sistem tercanggih itu doesn’t work juga, baru panjatkan doa.

Manusia tidak bisa memasuki surga dengan tiket makan, tidur, dan berdoa. Ia adalah khalifah. Ia harus bekerja. Ia harus sanggup memformulasikan dataran-dataran pekerjaan mana yang menjadi tugasnya, mana yang menjadi tugas alam, tugas binatang, serta tugas malaikat dan Tuhan sendiri. Allah menguasai diri-Nya menciptakan rambut keritingmu dan engkau ditugasi untuk memotongnya pada saat-saat tertentu agar burung-burung tidak menyangka kepalamu adalah sarangnya.

Adapun salah satu pekerjaan terpenting manusia, yang membuatnya bisa ditandai sebagai makhluk bernama manusia, adalah berpikir.

Tafakur itu “staf”-nya iradat, “buruh”-nya kemauan hati,

COMPUTER DRIVE-nya kehendak-kehendak rohani.

Lihat selengkapnya