Di dalam kamarku seperti oven yang menyala, sedang memanggang sebuah roti dan roti itu ialah aku. Kipas angin murahan yang terletak di sudut, bukannya angin sejuk yang ia hasilkan, malahan angin panas yang sama sekali tak membantu. Seperti tiupan yang digunakan untuk membuat arang merekah merah. Seluruh kulitku lembap, peluh-peluh menggantung di bulu roma, dan aku yakin biang keringat akan muncul meramaikan sebentar lagi.
Sebenarnya bukan hawa panas ini yang menggangguku. Bukan pula nyamuk-nyamuk yang terbang bising di atas kepalaku. Alasan terbesarku bisa betah meringkuk dan mengeluh di atas kasur tak lain dan tak bukan karena sakit gigiku ini. Gigi geraham yang paling belakang sedang memberontak hendak tumbuh. Kata dokter, ini yang dinamakan tumbuhnya gigi geraham dewasa. Gigi yang tumbuh terlambat saat usia menjelang kepala tiga, bagiku adalah sebuah siksaan, yang memaksaku menimbulkan suara erangan aneh.
Aku terbaring di kasur dengan wajah buruk. Wajah kuyu dan mengkerut khas orang gangguan mental. Kapan ya terakhir kali tersenyum lepas, sepertinya sekarang aku sudah lupa bagaimana cara menggarit senyum. Yang bisa kulakukan kini berbolak-balik melempar kepala mencari posisi tenang.
“Jono, air di bak kamar mandi mulai kotor. Daripada tidur, mending gerak tubuh gih,” tiba-tiba Ibu masuk kamarku.
Aku berusaha bangkit dan duduk bersandar di tembok. “Kalau Jono bisa gerakin tubuh, mending hari ini ngantor. Nggak perlu ijin segala. Gimana sih Ibu, orang lagi sakit disuruh nguras bak.”
“Yang sakit cuma gigi doang kan? Badan kamu tetap sehat nggak ada yang cacat kan? Cuma bersihin bak air bisa lah!”
“Sakit gigi itu pengaruhnya ke seluruh tubuh. Coba Ibu yang ngerasain, nggak ada enak-enaknya. Mending Ibu jangan sampai ngalamin,” jawabku sembari mengelus pipi.
“Terus Ibu nyuruh siapa lagi kalau bukan kamu? Udah sekarang bangun, bersihin bak mandi! Ibu mau mandi, mau pergi kondangan!” Ibu memerintah tegas.
Kalau sudah begini mana berani aku membantah. Meski malas-malasan, aku turuti juga keinginan ibuku tersayang ini. Sejak dulu beliau jika sudah menyuruh anaknya, harus terlaksana apa yang dimaunya. Komandonya adalah mutlak, tak bisa ditawar-tawar.
Aku berjalan dengan kepayahan menuju kamar mandi. Untuk sementara aku biarkan saja rasa senut-senut ini berkuasa dalam mulut. Akan kutahan sengilu-ngilunya. Obat-obat penghilang nyeri sudah kuminum, namun reaksinya tak secepat mie instan yang siap santap. Keadaan yang tak bersahabat ini menyuruhku terus bersabar. Belum ditambah udara panas dan puluhan nyamuk yang selalu berperan sebagai antagonis. Aku dikeroyok begini mana tahan!
Ahh, sudahlah! Demi menjadi anak yang berbakti, demi menjaga kredibilitasku di mata Ibu, beberapa detik kemudian aku sudah bergelut dengan air dan berbasah-basahan ria.
***
Sore menjelang malam, aku baringan di kursi panjang di teras. Menikmati lukisan langit senja cukup lumayan membuat hati tenang. Ditemani oleh secangkir teh hangat dan gorengan. Tetangga-tetangga pun berlalu lalang menyapa dengan ramah dan memberi salam. Suasananya sudah sempurna kecuali satu, sakit gigiku ini. Aku mengutuki dalam hati. Betapa manusia sangat lemah, diberikan cobaan kecil seperti ini saja ingin rasanya mengamuk-ngamuk. Ingin rasanya menabuh genderang atau membanting lusinan piring hingga puas. Semua ini hanya karena sakit gigi. Hebat sekali, karena satu gigi membuat sifat orang berubah.
Dengan pelan aku menggigit satu gorengan, mengunyahnya tanpa ingin menambah linu geraham dewasaku. Ahh, sengsara sekali.
“Assalamu’alaikum,” terdengar suara salam dari seorang perempuan.
“Wa-wa’alaikumsalam,” aku langsung berdiri menyambut tamu itu. “E-eh, Ririn??”
Sesaat membatu, dan mata membelalak lebar. Dua detik kemudian aku tersadar, kemudian segera kupersilahkan perempuan itu duduk. Aku masih terkejut dengan kehadirannya. Ririn adalah rekan kerjaku di kantor. Perempuan yang manis dan menarik hati, tak heran jika ia paling banyak penggemarnya di kantor, menjadi harapan para lelaki lajang.
“Kamu sakit apa? Kok sampai dua hari nggak berangkat?” tanyanya.
“Sebelum aku jawab, aku buatin minum sebentar ya?” aku mencoba bangkit.
“Nggak usah, Jon. Aku cuma sebentar kok. Habis ini aku mau ke rumah saudara, rumahnya dekat-dekat sini,” tolak Ririn dan memintaku untuk duduk lagi.
Aku memaksa ingin tetap membuatkan minuman, tapi ia juga tak kalah memaksa agar aku tetap duduk manis saja. Aku kalah. Apalagi ia memamerkan bahwa ia memiliki sebotol air mineral, langsung ia keluarkan dari tasnya. Bukti jelas bahwa ia tak membutuhkan segelas penghilang dahaga buatanku.
Lalu kuceritakan semua penyebab ijin kerja hingga dua hari ini. Aku paparkan secara detail seperti pendongeng dan cara Ririn mendengarkan membuatku senang. Ia tahu bagamana menjadi pendengar yang baik. Aku makin bersemangat, mulutku tak bisa berhenti.
“Kamu cerewet ya, padahal masih sakit gigi,” sindir Ririn sambil tertawa kecil.
“Eh, iya juga ya. Aku sampai lupa kalau gigiku ini lagi unjuk rasa.”
Ririn ini pasti adalah wujud obat penawar yang dikirim Tuhan kepadaku. Ini pasti balasan karena aku sangat tunduk dan bakti pada Ibu.
Di tengah-tengah perbincangan dan keakraban kami, nampak siluet Ibu dari kejauhan. Beliau pulang dengan wajah letih dari acara kondangan. Melihat sosok gadis ayu di depan matanya, Ibu tersenyum kagum.
“Rin, ini ibuku,” kataku memperkenalkan.
“Siapa Nak, namanya?” ucap Ibu lembut.
“Saya Ririn, Bu,” sambil salaman mencium tangan Ibu.
Ibu langsung melirikku. Aku tahu sekali apa maksud lirikannya itu.
Ririn mengambil tasnya kemudian berpamitan pada kami. “Jono, cepat sembuh ya? Aku tunggu di kantor.”
“Lho, kok buru-buru?” tanya Ibu.
“Maaf, Bu. Takut kemalaman. Ini juga belum mampir ke rumah saudara yang tinggal di daerah sini.”