Angkat Tangan yang Lajang

moris avisena
Chapter #2

Prolog Sevin

 

Aku datang lagi untuk bertemu dengan kumpulan orang yang selalu menusuk-nusuk dan menggarit-garit sisi lemahku. Aku tak pernah ingat menjadi materi perbincangan membuatku senang. Menjadi poros atau pusat atau apalah itu, kemudian semua mata memandang dengan wajah tak sabar. Kedua telinga ini nyeri rasanya saat suara mereka menjadi satu dan langsung menghunjam dan memojokkan. Hanya karena aku seorang Wanita single di umur yang kesekian, mereka jadi berbuat seolah-olah adalah juru penyelamat dari kesendirianku. Entah sudah berapa nama lelaki yang selalu mereka sebut di pertemuan ini, harusnya aku catat satu persatu dan kubuat daftar absensi.

Apakah mereka tidak tahu jika itu adalah area terlarangku? Area yang tak seharusnya dijamah dengan suara tawa yang tajam nyinyir nan menyakitkan. Benar kata orang-orang, perempuan yang belum menikah yang selalu ribut adalah keluarga dan tetangga. Enteng sekali mulut mereka saat mengataiku jual mahal, bahkan menganggapku perempuan sok dan kelewat selektif. Kenyataannya tidak seperti itu, tak ada orang yang ingin menyesal karena pilihannya berdasarkan desakan yang tak ada pertimbangan.

 Aku hanya takut mengambil pilihan yang tidak seharusnya kuambil. Pernikahan bukanlah seperti menarik tiket lotere secara untung-untungan. Mengapa mereka selalu berkata seperti itu? Kasihankah? Aku tak perlu dikasihani.

Tapi, pertemuan keluarga besar kali ini tidak seberat sebelum-sebelumnya. Karena kami kedatangan satu personal lagi, saudara sepupuku yang baru saja pulang dari Taiwan selepas menyelesaikan studinya. Dia Mas Fadil, lelaki lajang yang juga belum berpikir tentang akad suci. Kini aku punya teman sepenanggungan, setidaknya yang mendengarkan betapa bisingnya telinga ini tidak hanya telingaku. Well, selamat datang kembali di keluarga besar ini.

Di saat Bi Marti, pembantu di rumah Bude sibuk menumpuk piring-piring yang kotor di meja, aku beranjak dan membantunya. Sekalian menjauh dari lingkaran lidah-lidah tajam.

“Ada yang bisa saya bantu, Bi,” aku menggulung baju lenganku dan bersiap hendak membantu Bi Marti di dapur.

“Ndak usah, Mbak. Nanti basah bajunya,”

“Nggak apa-apa. Saya nggak tega lihat piring kotor sebanyak ini.”

“Sungguh, Mbak. Ndak usah ....”

Belum selesai Bi Marti berbicara, panggilan dari ruang tengah terdengar. Seruan dari Bude menyuruh Bi Marti mengangkat jemuran di belakang rumah, rintik-rintik hujan mulai turun di luar. Dengan patuhnya, Bi Marti bergegas menjemput titah dari majikannya. Tanpa perlu menunggu persetujuan, aku sudah bergumul dengan sejumlah porselen dan kaca yang kotor ini.

“Menjengkelkan sekali ya,” suara halus itu menyusup ke telingaku. Tiba-tiba Mas Fadil datang dan berdiri di sebelahku sambil tersenyum aneh, seolah-olah mengerti apa yang sejak tadi kupikirkan.

“Ah, tidak. Mereka hanya mengatakan yang sebenarnya.”

“Ayolah, Sevin. Jangan anggap aku orang lain. Semua terlihat jelas. Aku tahu kebiasaanmu sejak dulu.”

“Kebiasaan apa?” aku minta penjelasan.

“Kamu selalu mengepalkan tanganmu di atas paha, yang artinya kamu sedang kesal atau marah. Mungkin kamu terlihat tersenyum ramah, tapi senyum itu tak lebih untuk menguatkan diri atas usikan yang datang. Kamu selalu menjawab secara singkat bahkan seringkali hanya terlihat mengangguk atau menggeleng, dengan kata lain kamu tak menghendaki pembicaraan itu melebar kemana-mana. Kamu juga ....”

“Tunggu, tunggu ... Kenapa gelar Master of Business Administration terlihat seperti psikolog?” aku mengembuskan napas tak percaya. Bagaimana bisa ia mengatakan dengan runtut seperti itu?

“Lucu kamu,” jawabnya dengan terkekeh. “Orang yang cukup peka tentu bisa mengetahui segala gelagatmu tadi. Dan sayangnya orang-orang di rumah ini tak ada yang bisa melihat ketidaknyamananmu. Justru makin semangat mereka membuat kelakar yang menyakitkan.”

Aku sepenuhnya berhenti mencuci piring-piring itu. Melihat Mas Fadil sedang menguraikan semuanya, aku cukup terkejut. Gumpalan kekesalan yang ada di hatiku memang nyata. Dan dia bisa mengatakannya secara gamblang, dia bisa mengerti.

“Terima kasih, Mas, sudah berkata begitu,” menorehkan senyuman dalam bibirku. “Semua cuma masalah waktu. Bedanya aku menunggu lebih lama dari perempuan pada umumnya.”

“Jangan-jangan kamu punya kriteria khusus. Kamu pemilih ya?” duga Mas Fadil.

“Setiap perempuan pasti milih-milih lah, Mas. Nggak mungkin sembarang mau.”

Lihat selengkapnya