Angkat Tangan yang Lajang

moris avisena
Chapter #3

Pertemuan Mereka

Guyuran hujan baru saja reda. Namun, bekasnya masih membasahi seantero kota. Kota itu kini tak ubahnya seperti anak kecil yang baru saja mandi dan belum menyeka badannya dengan handuk.

Tanah perkotaan yang tak rata itu membentuk puluhan genangan air di mana-mana. Para pengemudi kendaraan yang tak tahu menahu dengan banyaknya lekukan aspal yang tertutup air itu bisa saja mengejutkan mereka.

Awan hitam masih berkerumun di langit, belum sepenuhnya menghilang. Mungkin saja sedang menghimpun kekuatan kembali untuk menghunjam kota itu kali kedua. Anak-anak sekolahan yang sedari tadi berlari dengan seragamnya, kini mulai melangkah kecil. Sekujur tubuh mereka basah kuyup, menggigil, dan bibirnya membiru. Rupanya mereka sudah dibuat KO oleh sang hujan. Tapi sekarang, ribuan tetesan hujan sudah tak terasa lagi oleh mereka. Tak ada yang perlu ditakuti lagi, kecuali sakit flu yang telah menanti di penghujung rumah masing-masing.

Melihat langit sudah membaik dan tak ada tangisan lagi, salah seorang pemuda yang sejak tadi berteduh di bawah atap minimarket, mulai berjalan. Wajahnya murung meski langit sudah perlahan tersenyum padanya. Baginya, hujan atau tidak, sama saja. Tak merubah nasibnya.

Pemuda berwajah kucel itu adalah Jono. Ia terus berjalan tertunduk sambil melamun. Pikirannya berkelana entah kemana. Tubuhnya seperti zombie yang berjalan terhuyung-huyung.

“Haaah… kenapa kepikiran Ririn terus ya?” gumamnya sendiri sambil menghela napas. “Misal bukan teman sekantor pun cewek seayu itu mana mau sama aku? Mimpi… bisanya cuma mimpi kamu, Jon!”

Ternyata yang membuat Jono lemas loyo dengan tampang mengantuk itu adalah karena seorang perempuan. Yang telah membuat wajahnya kuyu dan semakin jelek itu adalah perempuan bernama Ririn, teman sekantornya. Ya, Ririn yang primadona kantor itu.

Sebetulnya ini alasan utama mengapa Jono malas membina sebuah hubungan. Ketika tiba-tiba sebuah perasaaan muncul, seringkali ia membuangnya bahkan menguburnya. Karena ia tahu, ujung-ujungnya hanya patah hati yang didapat. Ia sudah tahu akan begitu jadinya, menilik dari bertubi-tubi pengalaman hidup hampir tiga puluh tahunnya. Tapi, pesona Ririn sudah menggiring akal sehatnya keluar. Menghapus naluri selalu ditolaknya. Entah kekuatan dan keberanian dari mana ia bisa menerjang untuk mengutarakan lamaran. Dan hasilnya, sudah bisa dipastikan. Ririn masih agak lembut, alasan perempuan itu menolak karena peraturan kantor.

Kemudian Jono teringat dengan para perempuan di masa lalunya. Sebagian besar memberikan jawaban yang sama, yaitu “Jon, kita temenan aja ya?” atau “Aku udah nyaman kayak gini. Lebih baik kita tetap berteman.” atau “Kita udah seperti kakak adik. Kamu adalah teman terbaikku, Jon.” Semuanya meminta menjadi teman. Bila dijumlahkan mungkin teman Jono sudah banyak sekali.

Ia pun berhenti mencintai, sudah lama ia berhenti. Jika itu karena wajah pas-pasannya, Jono memakluminya. Wajahnya memang bukan jenis yang bisa mendesirkan hati perempuan. Jika itu karena isi dompet tipisnya, Jono tahu diri. Di rumah pun tak ada barang prestise. Tidak ada tongkrongan mobil bahkan sepeda motor pun tidak ditemukan di rumah sederhananya. Ia bukanlah dari keluarga tajir melintir.

Dua sebab itulah yang membuatnya menjadi inferior. Jono hanyalah seberkas debu yang menempel di butiran upil di tengah-tengah megahnya kota besar metropolitan.

“Levelku ini mungkin hanyalah gadis dusun yang mau menerima apa adanya,” kata Jono dalam kekalutannya.

Bagi Jono, perasaan yang timbul kepada Ririn adalah sebuah kesalahan yang lagi-lagi ia ulang. Mulutnya berdecak. Jono menyesal seharusnya ia mendengarkan apa kata akalnya bukan mengikuti apa kata hatinya. Ia paham betul hatinya gampang goyah, mudah terlena, dan seringkali terjerat. Oleh karena itu ia selalu berguru pada akalnya. Berkat mematuhi akalnya itu sudah lama ia tidak merasakan luka. Bagaikan sebuah alarm peringatan pada dirinya untuk jangan coba-coba melahirkan sebuah harapan.

Di tengah segala rasa gundahnya itu akhirnya memanggil sosok bernama ketidakwaspadaan. Di tepi jalan itu, tatapan matanya kosong. Bisa-bisanya Jono berjalan melenceng dari trotoar. Perlahan langkah kakinya mulai ngawur, bergerak linglung menuju jalan raya. Sayangnya, tak ada siapapun yang sedang memperhatikan lelaki itu untuk bisa menegur atau semacamnya. Jono benar-benar tak sadar dan sama sekali tak memiliki pertahanan.

Namun, untuk menyadari bahwa ada mobil yang melaju dengan ugal-ugalan dari belakang sudah terlambat. Kecepatan mobil itu bahkan bisa menerbangkan dedaunan di aspal hingga melambung tinggi. Belum dengan suara yang berisik itu, lantunan musik reggae dengan volume full telah menyedot semua perhatian orang-orang yang dilaluinya. Seolah-olah ingin agar orang-orang juga ikut menikmati dan berjoget. Anehnya mobil pembawa kegaduhan itu tidak menarik Jono untuk menoleh. Ia sudah terperangkap sangat dalam oleh lamunannya sendiri.

Tapi, sang takdir tidak menghendaki Jono celaka. Masih dengan tubuh auto pilotnya, kaki Jono tercelup pada genangan kecil di depannya. Sensasi dingin segera naik melapor pada otaknya. Seketika itu pula Jono sadar.

Dengan santainya ia segera menepi kembali ke trotoar. Dan mobil warna merah scarlet yang berisik itu melintas begitu saja dengan kecepatan tak melambat sedikitpun. Ia juga mengoleh-olehi Jono semburan genangan yang digilasnya. Siraman air itu membuat wajah Jono renyuk dan kotor.

Ingin sekali Jono berteriak sumpah serapah sambil mengacungkan kepalan tangan, tapi ia urung. Suasana hatinya membuat ia malas, bahkan untuk gusar saja malas. Mobil tak tahu aturan itu juga sudah hampir menghilang dari pandangan. Ditolak oleh seorang perempuan jelas membuat harinya buruk. Semprotan genangan air ini menambah sempurnanya hari ini. Yang ia lakukan hanya mengelap air kotor di mukanya dengan sapu tangan.

Jono mulai melangkahkan kakinya lagi, tentu saja kali ini dengan kondisi sadar dan awas. Ia singkirkan lamunan-lamunan tak berarti itu. Satu hal yang ia pikirkan sekarang adalah segera sampai di rumahnya lalu pergi membasuh tubuhnya yang lelah.

Setelah berjalan beberapa puluh meter sambil sesekali melihat ke belakang, belum juga nampak satupun bus dari kejauhan. Jono tak tahu jika sebenarnya bus-bus sudah beberapa kali melewatinya di saat ia sibuk melamun.

Mata Jono menemukan tukang cilok yang mengetem di depan toko kelontong yang merangkap usaha tambal ban. Panas yang mengepul dari dandang cilok itu membuatnya tergerak untuk menghampirinya. Ia merasa di kala dingin menggerayang seperti ini akan nikmat rasanya bila lidahnya dimanjakan oleh butiran cilok pedas.

“Pak, ciloknya lima ribu. Sambalnya dibanyakin,” ucap Jono seraya tangannya merogoh kocek.

“Oke siap! Habis pulang kerja ya, Bang?” tanya tukang cilok basa-basi.

“Iya, Pak,” Jono mengangguk sembari memberikan uang kertas sepuluhribuan.

Di toko kelontong itu menyediakan dua kursi plastik di pelataran. Jono duduk setelah meminta ijin pada sang pemilik toko. Panas cilok yang terbungkus plastik itu menghangatkan tangannya. Di sana ia menyantap jajanan sorenya―kemudian ia tersenyum. Senyuman pertamanya sejak ditolak oleh Ririn pagi tadi. Terkadang angin dingin masih berembus menerpa dirinya, namun tak merubah garitan senyum yang lebar itu.

Lihat selengkapnya