Agha memarkir motor di halaman sebuah rumah kuno berarsitektrur zaman victoria. Ia berdiri sejenak di samping Kawasaki Ninja miliknya dan menatap bangunan yang terlihat kelam itu dengan mata menyipit. Lelaki berwajah bulat dengan kulit putih itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari dua teman yang lebih dulu datang. Ada dua kendaraan terparkir di halaman, tetapi permiliknya tidak terlihat.
Kesiur angin menggerakkan ranting pohon mangga di sudut halaman dan pohon kersen di sudut lain. Ayunan yang hampir lapuk di bawah pohon kersen tergantung setengah hati. Salah satu pengaitnya sudah lepas sehingga ayunan kayu itu miring. Tali dari besi berbentuk rantai telah berkarat hingga berwarna hitam.
Agha mengambil ponsel dan mengecek lokasi yang dishare Kavi di grup. Jangan-jangan dia salah rumah. Sepertinya menjadikan rumah tua ini sebagai angkringan bukanlah hal menyenangkan. Meski dua lantai dan cukup besar, bangunan bercat krem yang telah memudar itu terlihat horor. Memangnya ada orang yang mau makan di tempat menyeramkan seperti ini? Alih-alih kenyang, takut iya. Apalagi kalau ternyata ada Mbak Kunti. Mendadak Agha bergidik mengingat isi kepala yang makin lama makin liar.
Sekian menit menatap layar ponsel, Agha memastikan jika ia tidak salah alamat, tetapi ke mana kedua temannya?
Setelah mengedarkan pandangan sekali lagi, Agha memutuskan berjalan ke belakang rumah. Mungkin mereka ada di sana. Dia memang terlambat dari waktu janjian yang diputuskan di grup.
Suara ranting dan daun terinjak kakinya mengiringi langkah Agha. Sembari menatap sekeliling, Agha merapatkan jaket lalu menyimpan kedua tangan di saku. Entah mengapa, ia semakin merinding. Sinar matahari sore yang meredup membuatnya semakin masuk ke dalam lintasan-lintasan pikiran buruk di kepala.
Lelaki itu menarik napas lega ketika melihat kedua temannya baru saja keluar dari dalam rumah lewat pintu belakang. Bagian belakang rumah ini ternyata cukup luas. Di dekat pintu keluar, terdapat rumah kecil dengan arsitektur sederhana. Pintu kayu masih utuh, tetapi jendela kacanya sudah pecah.
“Kalian yakin mau ambil rumah ini?” serbu Agha ketika sudah bergabung dengan kedua temannya.
“Cuma ini yang menawarkan harga sewa murah padahal di tengah kota, Gha.” Kavi, pemuda dengan rambut lurus sedikit memanjang, berujar tenang. Ia menengadah, menatap lantai dua dengan sulur-sulur tanaman yang menutup pagar balkon.