“Halo?”
Gadis dengan kunciran kuda itu memunggungiku, diam tidak bergeming.
Kali ini aku mencoba berjalan selangkah mendekatinya. Tidak ada lagi rasa takut karena yang ia lakukan setiap kali di sini hanya berdiri diam memunggungiku.
“Kau siapa?” tanyaku lagi.
Dan seperti biasa ia tetap tidak menjawab.
“Apa kau ingin menyampaikan sesuatu padaku?”
Ia tetap diam, tidak ada tanda-tanda ingin menjawab. Dan aku tetap menunggu.
Namun untuk pertama kalinya, ia mulai berbalik pelan menghadapku. Sisi wajahnya kini terlihat. Bibirnya bergerak pelan, menggumamkan sesuatu yang tidak bisa kudengar.
“Aku tidak bisa mendengarmu,” ujarku.
Aku menyadari bahunya kini bergetar hebat, sedang menahan isakan sendu yang tiba-tiba terdengar kencang di telingaku.
Brukkk.
Tapi sebelum aku sempat bicara kembali, badanku tiba-tiba merosot dengan sangat cepat ke tanah seperti dihantam sesuatu yang besar dari atas langit.
“Lauren? Halo? Apa kau masih di sana?”
Aku mengedip, sadar dari lamunanku. Genggamanku pada ponsel kembali mengeras. “Iya, Bi. Aku masih di sini.”
Bibi tidak berbicara beberapa saat. “Mungkin sebaiknya aku telpon lagi nanti. Kau terdengar sedikit lelah—”
“Apa yang terjadi?” potongku.
Tidak ada suara beberapa saat, kemudian akhirnya terdengar suara helaan napas pelan di telepon. “Aku tidak tau pasti,” jawab bibiku enggan. “Tapi kabar beredar kalau dia … bunuh diri,” sambungnya dengan nada hati-hati.
Aku kembali terdiam, menatap kosong ke depan. Pikiranku masih mencoba mencerna berita yang menyedihkan itu.
“Pemakamannya akan dilakukan besok pagi. Garis polisi di rumahnya juga sudah dilepas. Tapi kurasa keluarganya masih belum bisa kembali ke dalam rumah hari ini. Jadi sepertinya mereka perlu …”
Suara bibi mulai tidak terdengar lagi di telingaku. Pikiranku dengan mudah langsung kembali ke masa lalu, dipenuhi dengan ingatan tentang semua hal yang terjadi di kota itu. Saat aku masih tinggal di kota itu.
Kota Angor, kota masa kecilku.
Kota Angor adalah sebuah kota kecil, dengan jumlah penduduk tidak lebih dari 6.000 orang. Mungkin kota itu memang terlihat sederhana, tapi semua fasilitas umum tersedia di sana. Sekolah dari tingkat SD hingga tingkat perguruan tinggi pun tersedia.
Selepas lulus pendidikan pun mereka tidak perlu lagi cemas memikirkan pekerjaan karena ladang usaha pun tersedia, baik industri atau pertanian. Jurusan dari perguruan tinggi di sana sudah disesuaikan dengan yang dibutuhkan oleh industri Kota Angor. Sehingga rasanya sungguh tidak aneh apabila semua penduduk asli di sana tidak pernah merantau ke luar kota. Mengapa harus repot-repot untuk merantau ke ibukota jika di tanah kelahiran mereka sudah tersedia semuanya?
Karena itulah, semua penduduk asli di sana tentunya sudah mengenal satu sama lain. Aku tentu mengenal gadis itu, Hilda. Ia lahir dan hidup di kota itu, sama sepertiku. Kami juga seumuran, sehingga kami selalu berada dalam satu sekolah. Walaupun kami hanya pernah sekali sekelas, tapi aku tahu sedikit tentangnya.
Hilda selalu sendiri.
Sejak SD hingga saat kuliah, rasanya aku tidak pernah benar-benar melihat ia berteman dengan siapapun. Ia sosok gadis yang sangat pendiam dan pemalu, selalu terlihat ketakutan dan menghindari tatapan orang-orang padanya.
Keberadaan gadis itu dan keluarganya tidak diacuhkan di kota ini.
Aku tau sejak dulu mereka sudah diperlakukan buruk oleh warga di kota itu. Dan aku pikir semua orang sudah tahu asal muasalnya. Semua dimulai oleh Sarah Waksono, anak semata wayang Pak Reyhan Si Pengusaha kaya raya yang menguasai Kota Angor. Keluarga Waksono adalah keluarga terpandang di kota ini sejak dulu dan semua orang sangat menghormati keluarga itu. Alasannya jelas, karena hampir semua pembangunan kota itu berasal dari uang Pak Reyhan. Ialah yang menyediakan banyak ladang usaha dan juga sebagai donator terbesar di semua sekolah di Kota Angor.
Aku masih ingat jelas saat SD, Sarah sering memanggil Hilda dengan sebutan ‘Gembel tak berayah’, hanya karena suatu hari Hilda mengenakan sepatu robek. Sebutan yang berlebihan, bahkan Hilda sendiri saat itu masih memiliki Ayah, hanya saja ayahnya memang jarang tampak karena bertugas di luar pulau. Tapi tetap saja, tidak ada yang membela atau setidaknya memperdebatkan sebutan tidak mengenakkan itu demi Hilda. Banyak anak-anak justru malah ikut memanggilnya dengan sebutan itu.
Dari awalnya hanya mengejek, perlahan mereka mulai melemparnya dengan kerikil setiap kali lewat, mulai menghilangkan bukunya, mulai mendorongnya dan semakin hari semakin parah.
Saat menduduki masa SMP, Sarah seringkali mencetuskan ide-ide untuk mengganggu Hilda. Dan sekali lagi, tidak ada seorang pun yang mempermasalahkan hal tersebut. Mereka justru dengan senang hati ikut melakukan. Semua perlakuan yang bagiku sudah tidak bisa lagi ditutupi dengan alasan karena itu ‘masa-masa remaja’.
Sampai saat semua sudah beranjak SMA, kukira perlakuan itu akan semakin parah. Tapi Sarah justru tidak pernah lagi mengganggu, mengejek atau bahkan berbicara lagi dengan Hilda. Ia benar-benar tidak lagi mengindahkan keberadaannya.
Tapi itu justru malah terasa lebih buruk karena sejak itu tidak hanya Sarah yang tidak mengacuhkan Hilda, tapi kami semua juga ikut melakukan. Keberadaannya sejak itu seolah mulai dihapus. Tidak ada yang mengajaknya bicara, melupakannya untuk tugas berkelompok, tidak memberi respon apa pun saat ia dipanggil maju di depan kelas oleh guru. Ia selalu sendiri, di saat semua anak-anak lain bersenda gurau bersama-sama.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya.
Sampai sekarang pun, aku masih tidak mengerti mengapa sasaran Sarah adalah Hilda. Apa yang dilakukan Hilda hingga membuat Sarah membenci Hilda dari apapun di kota itu? Tidak ada yang bisa Sarah dapatkan dari Hilda atas perbuatannya itu. Sarah sudah memiliki semuanya. Sedangkan Hilda hanya gadis sederhana dari keluarga sederhana, ibunya pun bekerja di salah satu pabrik milik ayah Sarah.
Semua perlakuan itu terus terjadi tanpa henti. Sampai akhirnya, semua orang sepertinya sudah terbiasa dan menormalkan perlakuan itu pada Hilda. Ia tidak punya teman dan selalu sendiri. Tidak ada yang berniat untuk berteman dengannya dan orang-orang tidak lagi mempermasalahkan keberadaannya.