ANGOR

Indah Thaher
Chapter #2

Perubahan Besar

“Pantas saja semua orang di sini menatapmu tanpa ada sorot penasaran sedikit pun,” ujarnya.

Aku menyadari apa yang ia maksud. Sejak dulu memang tidak banyak pendatang baru yang menetap di kota ini, mungkin karena lokasinya yang sedikit jauh dan terpelosok. Beberapa dari penduduk asli di kota ini bahkan sudah ada sampai lebih dari empat generasi turunan terdahulu. Jadi wajar saja semua orang di kota ini sudah familiar satu sama lain dan sangat menaruh perhatian besar jika ada pendatang baru yang datang ke kota ini.

“Mereka masih tidak terbiasa dengan wajah asing.”

Ia berdecak pelan. “Tepat sekali.”

Kini aku menatapnya lekat-lekat, mengamati rupanya dengan jelas. Wajahnya memang benar-benar tampan, orang mungkin akan percaya kalau ia mengaku sebagai aktor film. Rahangnya keras, ditutupi bayangan janggut tipis dan matanya memiliki sorot tajam, dengan sepasang alis tebal. Kedua matanya berwarna hitam pekat, dihiasi dengan bulu mata yang tebal. Tidak ada garis senyum di wajahnya dan tatapannya seperti sedang berusaha mencari sesuatu yang kau rahasiakan paling dalam.

Ada aura mengintimidasi darinya namun di saat bersamaan juga memiliki ketertarikan aneh untuk terus menatapnya. 

“Jadi kau berasal darimana?”

Ia kembali menoleh padaku. “Ibukota.”

Aku mengangguk diam, walaupun sebenarnya sedikit tidak menyangka dengan jawabannya.

“Apa?” tanyanya. Ia sepertinya menyadari ekspresiku.

Aku tersenyum kecil. “Bukan apa-apa. Aku hanya … sedikit tidak menyangka mereka mempekerjakan polisi dari luar kota ini. Penduduk di sini tidak pernah menggunakan jasa pekerja selain yang memang berasal dari sini.” Terutama polisi. Rasanya bukan hal yang biasa mendapati penduduk di sini membiarkan kasus seperti ini ditangani oleh orang luar. Mereka lebih suka mengurusnya sendiri. Apalagi kasus ini adalah kasus bunuh diri, yang dianggap sebuah aib. Aku pikir mereka akan bersikap jauh lebih selektif dalam menangani kasus semacam ini.

David terdiam sesaat. “Rasanya aku sudah menebak itu sejak pertama kali menginjakkan kakiku di sini,” jawabnya. Ia memasukkan tangan ke saku celana, masih menatap kerumunan itu. “Aku hanya menggantikan salah satu rekanku yang bekerja di kepolisian kota ini—sangat tiba-tiba sebenarnya. Ia mengalami kecelakaan beberapa hari lalu dan sampai sekarang masih dirawat di rumah sakit. Penyidik lain sedang bertugas di tempat lain. Jadi aku yang disuruh datang menggantikannya di sini,” sambungnya.

“Apa lukanya parah?”

Ia menatapku beberapa saat. “Tidak,” jawabnya. Ia menelengkan kepalanya sedikit. “Kukira kau seharusnya sudah tau tentang kabarnya. Seluruh kota ini sepertinya selalu tau apa yang sedang terjadi.”

Aku tersenyum kecil, menyadari maksud dari ucapannya barusan. “Ya. Karena aku baru saja datang ke sini kemarin malam.”

Sorot penasaran kini muncul di matanya. “Kau kembali ke sini setelah 4 tahun pergi untuk menghadiri pemakaman Hilda,” simpulnya. “Apa kau dan Hilda dekat?”

Aku berusaha tersenyum, walaupun tenggorokanku kini terasa kering karena perasaan tidak mengenakkan itu kembali muncul. “Tidak. Tidak terlalu dekat,” jawabku jujur.

Ia mengamatiku beberapa saat, lalu akhirnya menoleh kembali ke sekeliling taman pemakaman itu. Aku menyadari Sarah dan Ibu Hilda kini sedang berjongkok, menaburkan bunga-bunga dan menyiramkan botol air dingin di atasnya.

Sarah kemudian mendongak, menatap ke arah kami.

Kami akhirnya bertemu pandang. Tatapannya menyiratkan bahwa ia baru sadar kalau selama ini aku dan David berdiri mengamatinya dari kejauhan, 100-meter darinya, hampir tertutupi oleh dahan rindang pohon besar yang ada di belakang kami.

Aku mengangguk, menyapanya dengan diam begitu menyadari ia kini sudah mengenaliku. Beberapa saat kemudian ia balas mengangguk, sebelum akhirnya tatapannya tertuju pada David. Ia kemudian memalingkan wajah, kembali berbicara dengan Ibu Hilda yang berada di sebelahnya.

“Hanya kau sendiri yang menangani kasus ini?—maksudku sebagai penyidiknya?” tanyaku.

“Ya.” Ia terdiam sejenak. “Lagipula tidak banyak yang perlu dilakukan. Kasus ini sudah langsung ditutup.”

“Ditutup karena Hilda benar-benar bunuh diri?” tanyaku.

“Ya.”

“Apa penyebabnya?” tanyaku lagi tanpa bisa kutahan.

David kembali mengamatiku. “Kau belum dengar?” tanyanya. Ia kemudian mendengus pelan saat aku hanya diam. “Sepertinya kau benar-benar ketinggalan semua berita di kota ini,” sambungnya.

Aku tetap diam, menunggunya melanjutkan jawabannya. Aku kira ia tidak akan memberikan jawaban padaku semudah itu, untuk melindungi privasi keluarga Hilda atau semacamnya. Tapi kemudian ia membuka mulut.

“Himpitan ekonomi,” jawabnya akhirnya.

Himpitan ekonomi?

Dahiku mengerut begitu mencerna informasi ini. Aku tahu keluarga Hilda bukanlah keluarga yang mapan. Tapi rasanya sangat aneh mendapati Hilda bunuh diri karena tertekan dalam masalah ekonomi. Aku tahu selama ini ia selalu bekerja, membantu ibunya, membiayai pendidikannya sendiri dengan beasiswa, dan membantu membayar biaya pendidikan adiknya bersekolah dengan berkecukupan.

Lihat selengkapnya