ANGOR

Indah Thaher
Chapter #3

Sudut Baru

Saat cahaya matahari tepat berada di atas kota ini, barulah kini aku bisa melihat jelas beberapa perubahan yang sudah terjadi di Kota Angor. Gedung-gedung mulai banyak menghiasi beberapa lahan yang dulunya masih kosong. Gedung bioskopnya kini berlantai dua dan lebih megah daripada sebelumnya. Dan kini ada sebuah taman kota yang luas berada di pusat kota, yang dahulunya hanya berdiri sebuah patung air mancur di sana.

Kota Angor sendiri sebenarnya adalah kota dengan penghasilan utama di bidang pertanian, khususnya cabai. Tapi setelah keluarga Waksono datang, industri pabrik mulai berkembang pesat. Kini, tidak hanya gedung pabrik pembuat kain yang ada di sini, tapi juga pabrik-pabrik baru produk olahan makanan. Beberapa berada di dekat pusat kota, selebihnya pabrik itu didirikan di pinggiran kota. Aku masih bisa melihat asap-asap mengepul itu dari kejauhan.

Tanpa bisa kutahan, aku akhirnya memutuskan untuk mengendarai mobilku mengintari kota ini. Selama ini kukira aku tidak akan merasakan kerinduan pada kota ini. Tapi ternyata rasa itu tetap ada.

Mataku tetap mencari semua hal yang selama ini ada diingatanku, semua tempat dan orang-orang yang biasanya menempati atau sering berjalan di sepanjang jalan yang kulalui. Beberapa darimana masih bisa kukenali, beberapa lagi terlihat sangat berubah. Si Gadis penjaga toko bunga yang berada di depan taman kota kini bukan lagi gadis kecil. Ia kini sudah berubah menjadi gadis remaja, berdiri di depan tokonya sambil mengangguk pelan mengikuti alunan musik dari headset yang tergantung di telinganya.

Mungkin 4 tahun ini memang banyak yang berubah.

Pikiranku langsung kembali dipenuhi oleh percakapanku dengan Ibu Hilda beberapa menit lalu. Rasanya aku masih belum bisa mempercayai sepenuhnya bahwa Sarah dan Hilda menjadi dekat satu sama lain. Tidak pernah kubayangkan ada satu pun kesamaan dari mereka berdua yang memungkinkan mereka berteman.

Tapi membayangkan hal itu benar-benar terjadi juga membuatku sedikit lega. Artinya 4 tahun terakhir ini Hilda dan keluarganya diperlakukan lebih baik.

Walaupun sebenarnya masalah ‘Himpitan ekonomi’ ini masih sangat terdengar tidak wajar di telingaku.

Aku memberhentikan mobil begitu sudah sampai di depan rumah. Mobil Paman sudah terparkir di depan garasi. Kukira mereka tidak akan membiarkanku untuk menyetir sendiri di kota ini.

Begitu mobil sepenuhnya berhenti, aku langsung turun dari mobil dan bergegas masuk ke dalam rumah. Paman dan Bibi yang sedang duduk di ruang tamu langsung mendongak dengan cepat begitu melihatku pulang.

“Kau baik-baik saja?” tanya Bibiku langsung.

Aku mengangguk kecil.

“Tadi kau kemana dulu? Kami kira kau sudah kembali ke rumah,” tanya Bibi lagi, alisnya berkerut cemas.

“Aku mengelilingi kota.” Aku menatap Paman dan Bibi yang hanya diam. “Maaf, aku tidak memberi kabar pada kalian tadi,” sambungku begitu menyadari ekspresi cemas Paman dan Bibi belum hilang.

Paman yang kemudian akhirnya menghela napas pelan lalu tersenyum kecil padaku. “Jadi, bagaimana menurutmu?”

“Tentang apa?” tanyaku.

“Kota ini. Aku yakin kau menyadari banyak perubahan yang terjadi pada kota ini,” ujarnya.

Aku tersenyum kecil, sedikit lega karena suasana tegang tadi berlalu. “Ya. Terlihat semakin maju daripada 4 tahun lalu.”

Bibi terkekeh. “Pak Mulyo berhasil membangun kota ini menjadi lebih baik.”

Alisku terangkat. “Siapa Pak Mulyo?”

“Walikota baru di sini,” jawab Paman.

Aku mengangguk paham. Satu lagi perubahan dari kota ini yang baru aku tahu. Aku mulai berjalan menuju dapur dan mengambil segelas air.

“Kau ingin makan?” tanya Bibi. Ia langsung berjalan mengikuti ke dapur. “Aku sebenarnya sedang mempersiapkan hidangan untuk makan siang.”

“Tidak apa-apa, Bi. Aku masih sedikit kenyang,” jawabku.

Bibi kemudian mengambil satu loyang kue bolu dan menyodorkannya padaku. “Makanlah, untuk sekedar mengisi perutmu,” katanya dengan nada lembut.

Aku tersenyum kecil, kemudian mengambil sepotong kue itu. Sejak dulu, Bibi memang selalu memanjakanku seperti ini. “Terima kasih, Bi.”

“Tidak perlu sungkan.”

Aku kemudian berjalan dan duduk di meja makan sambil menyantap kue bolu itu, sedangkan Bibi mulai berbalik dan sibuk menyiapkan makanan.

“Jadi apa kau sudah bertemu dengan teman-temanmu saat pemakaman tadi?” tanya Paman.

Lihat selengkapnya