ANGOR

Indah Thaher
Chapter #4

Satu Titik

 Badanku membeku beberapa saat, mulai merasakan ketidaknyamanan yang luar biasa dari nada bicara Sarah dan nama Hilda yang disebut-sebut dalam percakapan ini. Aku kini bersembunyi sepenuhnya di balik pohon besar, kemudian berusaha mengintip ke arah Sarah.

“Bukti-bukti itu sudah aku bersihkan pagi tadi. Jadi jangan khawatir,” jawab pria besar itu.

Sarah menghembuskan napas tak sabar. “Tidak ada yang melihatmu, kan?”

Aku mengerutkan dahi, mulai mencerna apa yang baru saja kudengar. Ucapan Sarah kini terdengar seperti sedang menyembunyikan sesuatu dari orang-orang. Dan itu ada hubungannya dengan Hilda.

“Tidak. Tentu saja.” Ia mendengus, terlihat jelas mulai sedikit kesal. “Aku sudah sering melakukan hal ini, jadi tidak usah khawatir.”

Sarah melipat lengannya. Ia menatap pria itu tanpa rasa takut sedikit pun. Walaupun langit sudah semakin gelap, aku masih bisa melihat samar-samar rupa pria itu. Pria itu berotot kekar, jangkung dan ada sebuah tato menyelip dari kaos hitam di lengan kanannya. Aku tidak bisa melihat jelas gambar tato itu. Yang jelas, tato itu memenuhi lengan kanan bagian atasnya. Bagiku, pria itu terlihat jelas bukan tipe pria yang sangat nyaman untuk dibentak atau dimarahi.

“Kau baru saja membuatku khawatir beberapa menit lalu. Apa yang terjadi kemarin malam?”

Si Pria Besar mengeluarkan sesuatu dari kantongnya, secarik kertas. Ia kemudian menyodorkannya pada Sarah. “Kau kenal dia?” tanya pria itu.

Sarah menyipit, memandangi kertas yang kuduga adalah sebuah foto. Alisnya bertaut, terlihat jelas sedang berpikir keras untuk mengenali siapa pun yang ada di foto itu.

“Dia terlihat familiar bagiku,” jawabnya akhirnya.

Pria besar itu menatap Sarah, memberinya waktu untuk mencoba mengingat kembali pria di foto itu. Sampai akhirnya Sarah menggeleng kalah. “Aku tidak bisa mengingatnya. Tapi aku benar-benar merasa pernah melihatnya di suatu tempat. Apa yang dia lakukan?”

“Kemarin malam salah satu anak buahku melihatnya berkeliaran di rumah Hilda.”

“Apa??” bisik Sarah dengan kesal.

“Tidak apa-apa. Dia aman, kami sudah menangkapnya,” jawab pria itu.

Sarah menghembuskan napas dengan kesal. “Lalu apa?”

“Dia bilang dia pernah bekerja dengan ayahmu untuk melakukan rencana yang sama pada Hilda. Rencana yang sama seperti yang kita lakukan.”

Kakiku mulai terasa lemas mendengar kalimat terakhir yang diucapkan pria itu. Aku kembali menyandarkan punggungku ke pohon, membiarkannya menopang badanku.

“Kau serius?”

Pria itu mengangguk. Dan aku bisa melihat senyum di wajahnya. Sarah terdiam beberapa saat. Kemudian ia mendengus. “Lihat? Bukan hanya aku yang sudah muak dengan Si Tolol itu,” katanya dengan santai.

Jantungku kembali berdesir begitu menyadari nada jijik yang terdengar jelas dari ucapan yang baru saja dilontarkan Sarah. Nada yang familiar, yang sangat sering aku dengar sejak dulu dari mulutnya setiap kali membicarakan Hilda.

Sarah masih membenci Hilda.

Kali ini aku benar-benar sangat yakin dengan hal ini.

Sarah dan Hilda tidak pernah berteman. Tidak pernah. Dan tidak ada yang berubah selama 4 tahun terakhir ini.

“Dengar, aku harus pergi sekarang. Akan kuhubungi lagi kau besok pagi,” ujar Sarah. Mereka kemudian mulai berjalan menuju pintu masuk taman pemakaman. Begitu mereka mulai berjalan melewati pohon besar tempat aku bersembunyi, aku langsung bergerak pelan memutar untuk tetap menyembunyikan badanku dari pandangan mereka.

Mereka untungnya tidak menoleh ke arah pohon ini dan tetap menatap lurus ke depan. Kakiku mulai berjalan dengan pelan berhati-hati untuk tidak tersandung dahan besar pohon itu dan dedaunan yang bertumpuk penuh di atasnya.

“Kalau begitu tinggal satu lagi yang harus kita pastikan—”

SRHREEK.

Sarah tiba-tiba berhenti, langsung menoleh ke arahku. Aku berhasil menarik kepalaku dan bersandar merapat pada sisi pohon. Aku tidak yakin apakah Sarah sempat melihatku atau tidak. Tapi aku tetap mulai menahan napas, mencoba untuk tidak menambah kecurigaannya setelah suara yang baru saja tidak sengaja kutimbulkan.

Lihat selengkapnya