ANGOR

Indah Thaher
Chapter #5

Waktu Kedua

David menatapku beberapa saat. Alisnya bertaut, memandangiku dengan ekspresi yang sama sekali sulit kubaca. Tapi aku tetap tidak melepaskan tatapanku padanya. Aku sadar aku harus terlihat yakin dengan apa yang aku ucapkan.

“Kau punya bukti?” tanyanya pada akhirnya.

“Aku saksinya. Aku mendengarkan pembicaraan mereka tentang hal ini,” jawabku.

David mengamatiku sejenak, lalu melirik jam tangannya dengan alis bertaut. Ia menghela napas pelan. “Ikut aku,” katanya. Ia lalu berbalik berjalan menuju pintu keluar. Aku mengikutinya dari belakang.

David berjalan menuju ke area parkir yang berada di samping gedung. Ia terus berjalan hingga sampai ke depan sebuah mobil sedan hitam.

“Masuklah. Kita bicara di dalam,” ujarnya.

Aku mengangguk, kemudian langsung membuka pintu mobil dan masuk. Begitu aku duduk di kursi penumpang, aku menatap David yang kini sudah masuk. Ia menaruh tas besarnya di kursi belakang, lalu kemudian tatapannya tertuju padaku.

“Ceritakan padaku dengan lengkap. Apa saja yang kau dengar dari percakapan mereka?” pintanya. Suaranya kini tiba-tiba terdengar lebih lunak.

Aku menceritakan semuanya dengan detil padanya. Mulai dari saat aku mengunjungi pemakaman, percakapan Sarah dengan seorang pria berbadan besar bertato, foto seorang pria yang mereka bicarakan, hingga akhirnya aku sampai di kantor polisi untuk mencarinya. Aku sadar aku tidak menceritakan tentang kunjunganku pada makam keluargaku dengan lengkap. Kurasa hingga detik ini, topik itu masih sangat tidak ingin kuceritakan pada siapa pun.

Begitu menceritakan semua kesaksianku, aku langsung mengutarakan semua dugaan yang sejak tadi sudah tertanam di otakku. Dan aku juga akhirnya menceritakan tentang perlakuan buruk yang dilakukan Sarah dan seisi kota ini pada Hilda dan keluarganya.

Dan bagaimana semua orang di kota ini tiba-tiba saja langsung bersikap seolah-seolah semua itu tidak pernah dilakukan dan terasa ditutup-tutupi dengan sangat aneh.

“Lauren,” ujar David. “Dari semua ceritamu itu, aku masih belum bisa menemukan sesuatu yang membuktikan kalau Sarah dan pria ini membunuh Hilda.”

“Kesaksianmu masih samar dan terlalu terburu-buru. Mereka hanya berkata tentang rencana dan bukti-bukti. Itu tidak cukup untuk menyimpulkan kalau mereka yang membunuh Hilda. Lagipula, mayat Hilda tidak ditemukan bekas luka kekerasan fisik selain luka irisan di tangannya.”

 Aku tertegun, merasakan perasaan aneh tentang hal ini. Rasanya ada sesuatu yang menahanku untuk tetap berpikir bahwa kematian Hilda tidak wajar.

“Aku tau ini kedengarannya gila. Tapi bagiku setidaknya kini kau memiliki alasan untuk membuka kembali kasus ini. Sarah memiliki alibi untuk membunuh Hilda. Dia menyuruh pria itu menghilangkan bukti yang entah apa dan rencana itu—aku bersumpah bisa mendengar nada benci dan marah saat dia mengatakan hal itu.”

David menatapku, kembali dengan sorot aneh yang tidak bisa kuartikan maksudnya. Tapi aku tetap melanjutkan perkataan yang ada dalam pikiranku.

“Dan jangan lupakan tentang pengasingan itu,” bisikku dengan tajam. Tiba-tiba saja ada rasa frustasi ketika aku kembali mengingat kenangan-kenangan itu.

David diam, menungguku melanjutkan penjelasanku.

Aku menelan ludah, merasakan rasa tidak nyaman itu kembali muncul. “Alasan mengapa aku sangat terkejut dengan pernyataanmu bahwa seluruh kota ini berkata Sarah dan Hilda bersahabat sejak dulu adalah karena memang bukan itu yang sebenarnya terjadi.” Aku menarik napas cepat. “Sarah dan anak-anak seumurannya—termasuk aku, kami sering menganggunya dan membuatnya dijauhi oleh siapa pun di kota ini. Dia dan keluarganya.”

David mengerutkan alisnya. “Menganggunya?”

Aku kembali mengangguk, menyadari rasa malu itu kembali muncul. “Pem-bully-an, jika itu maksudmu. Kami sering mengganggu dan mengerjainya waktu sekolah dulu.”

David kini menatapku dengan sorot diam. Aku sadar ia masih ingin menanyakan lebih jauh tentang apa yang sebenarnya pernah kami lakukan pada Hilda dulu. Selama beberapa saat aku menunggunya bertanya. Tapi ia tetap tidak bersuara dan aku sadar bahwa aku sendiri merasa sedikit lega ia tidak menanyakan hal itu.

Lihat selengkapnya