ANGOR

Indah Thaher
Chapter #6

Berhenti dan Tertutup

Aku menatap diam gedung itu selama entah berapa lama. Tidak ada yang berubah, hanya dinding dan kacanya yang kini terlihat lebih baru sejak terakhir aku mengingatnya. Tapi selebihnya sama. Kantor pegadaian itu tetap terlihat paling mencolok di antara gedung-gedung lain dengan cat berwarna oranye terang.

Aku mulai melangkah masuk melewati pintu kaca itu. Dan detik berikutnya, pandanganku langsung dipenuhi dengan beberapa orang yang sedang mengantri di loket. Aku tetap berjalan menuju meja resepsionis dan sesampai di sana, aku langsung disambut dengan senyuman oleh seorang resepsionis muda.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ramah.

“Hai, aku Lauren. Apa aku bisa bertemu dengan Tifa?”

“Tifa?” tanyanya dengan ekspresi bingung.

Aku mengangguk. “Tifa di bagian marketing. Dia pasti tau aku.”

Ia kembali mengangguk. “Sebentar, ya.” Ia kemudian mulai memencet nomor di telpon dan berbicara dengan seseorang di ujung sana. Sesekali ia melirik kembali padaku. Sampai beberapa saat kemudian, ia akhirnya menutup telponnya. “Dia akan turun sebentar lagi,” katanya.

“Terima kasih.” Lalu aku berjalan ke ruang tunggu dan duduk di kursi yang berjejer merapat di dinding. Aku menatap ke sekeliling ruangan itu beberapa lama, mencoba menghabiskan waktu sambil kembali mengingat kapan terakhir kali aku masuk ke dalam gedung ini.

“Lauren?”

Suara itu masih terdengar sangat familiar di telingaku. Aku mendongak dan mendapati sosok gadis yang dengan sangat mudah bisa kukenali.

Tifa.

Aku mengamatinya beberapa saat, menyadari ada banyak perubahan yang terjadi pada penampilannya. Ia kini tidak lagi Tifa yang selalu memakai celana jins biru ketat dan baju sweater besar dengan tas ransel merah. Rambutnya kini sudah panjang sebahu, diikat rapi dengan pita kecil. Ia kini adalah Tifa, seorang pegawai di kantor pegadaian dengan tampilan formal dan menawan.

“Hai, Tifa.” Aku tersenyum kecil. “Apa kabar?” tanyaku canggung begitu menyadari tidak ada balasan senyum darinya.

Ia menatapku sejenak dengan sorot bingung, masih tidak menyangka dengan kedatanganku ke sini. “Aku kira kau sudah kembali ke ibukota hari ini.”

Dan aku langsung menyadari ada nada ketus kini muncul di dalam suaranya.

“Aku memutuskan untuk tinggal beberapa hari lagi di sini,” jawabku.

“Untuk apa?”

Dan juga sorot kekesalan di matanya.

“Aku ingin bertemu denganmu dan teman-teman yang lain sebelum aku kembali.” Aku mengamatinya sesaat. “Apa kau punya waktu sekarang? Apa ini sudah jam istirahatmu? Mungkin kita bisa makan di luar atau semacamnya.”

Ia melirik ke sekitar, sebelum akhirnya menjawab dengan enggan. “Aku akan istirahat makan siang 10 menit lagi.”

“Oke. Aku tunggu di sini, kalau begitu.”

Ia terlihat ragu beberapa saat. “Kau bisa menungguku di restoran seberang sana, aku akan menyusulmu 10 menit lagi.”

Aku mengangguk dan menatapnya pergi berjalan hingga menghilang di ujung tangga. Kurasa aku lupa bahwa hubunganku dengan beberapa orang di kota ini tidak terlalu baik.

 

***

            

Begitu pelayan mulai beranjak pergi dari meja kami, suasana hening langsung menyelimuti kami dengan cepat. Restoran ini memang sedikit ramai, hanya tinggal beberapa meja yang terlihat kosong tanpa pengunjung. Tapi restoran ini sangat luas, jadi aku hanya bisa mendengar samar-samar suara percakapan yang bercampur aduk di dalam ruangan ini.

Tifa masih menatapku dengan sorot aneh, alisnya sesekali berkerut tidak nyaman. Ia jelas-jelas terlihat masih tidak yakin untuk ingin tetap menghabiskan waktu bersamaku saat ini.

Lihat selengkapnya