ANGOR

Indah Thaher
Chapter #7

Tertutup dan Terbuka

“Jangan menghindari tatapanku.”

Hilda tetap menunduk diam, masih tidak berani mengangkat wajahnya.

“Yasudah, awas kalau kau berani tatap aku. Akan kubuat matamu buta,” katanya lagi. Suara tawa langsung mengikuti di sekeliling ruangan itu.

Kelas ini benar-benar sudah kosong, sehingga sekecil pun suara yang keluar pasti akan terdengar karena gemaannya. Hanya ada kami di kelas ini dan tidak ada satu pun yang merasa was-was jika kepergok. Siapa yang akan peduli memangnya?

Jam pulang sekolah sudah berlalu sejak beberapa jam yang lalu. Jadi wajar saja sekolah ini sudah sepi. Lagipula, aku tahu tidak ada dari mereka yang akan ketakutan jika siapa pun—termasuk guru sekali pun—memergoki kami sedang mengintimidasi Hilda seperti yang kami lakukan saat ini.

APA YANG KAU LAKUKAN KEMARIN MALAM?” bentak Sarah pada Hilda. Gadis itu langsung terlonjak kaget.

T-tidak ada. Aku hanya di rumah,” jawabnya dengan suara yang begitu kecil. Wajahnya masih menunduk dan aku masih bisa melihat tangannya yang kini gemetaran. Tangan itu mengepal kuat hingga buku-buku jarinya mulai memutih. Gadis itu tetap berusaha untuk tidak memperlihatkan ketakutannya.

“JANGAN BOHONG PADAKU!” Sarah kemudian mendorong kasar bahu gadis itu dengan keras, membuatnya terdorong ke belakang. Suara tawa kembali mengikuti dari beberapa gadis yang berdiri di belakang Sarah.

Aku menatap Tifa yang sejak tadi berdiri di sebelahku. Ia menatapku dengan ekspresi datar—sama sepertiku. Aku dan ia tahu, kami sebenarnya tidak terlalu ingin berada di dalam hal ini.

“Dasar miskin tidak tahu diri! Tidak punya otak! TOLOL! Pacarku bilang kau sedang berada di toko itu kemarin malam!”

Hilda menatap Sarah sekilas dengan sorot ketakutan. “Aku tidak ke toko itu. Aku benar-benar ada di rumah.”

PLAKK.

Sarah menampar Hilda dengan keras. Suara tamparan itu langsung menggema keras di ruangan ini, membuatku merinding. Suasana di ruangan langsung diam beberapa saat, kemudian sedetik berikutnya suara kikikan dan sorakan langsung mengikuti pelan-pelan.

Aku mengintip dari belakang, menyadari bahwa kini Hilda benar-benar gemetaran hebat. Tangannya sedang memegang pipi kirinya yang kini terlihat merah meruam.

“Kau berani berbohong padaku, ya Tolol?” Sarah menelengkan kepala Hilda dengan keras. “Kau pikir aku akan memilih mempercayaimu daripada pacarku sendiri?” teriak Sarah. Ia lalu merengkuh dagu Hilda dengan kasar. Ia kini berbisik, menatap nanar pada Hilda. “Jika kau benar-benar mengaku yang sebenarnya sekarang, aku akan memaafkanmu.”

Hilda diam, masih tidak menatap Sarah.

“JAWAB!!” bentak Sarah dengan sangat keras. Kami semua langsung ikut terlonjak kaget mendengar teriakannya.

Tapi Hilda tidak bersuara, semakin takut karena teriakan Sarah. Karena itu Sarah melayangkan tangannya kembali ke wajah Hilda.

PLAKK. PLAKK.

“A-aku bersumpah tidak kemana-mana malam itu,” jawab Hilda akhirnya, suaranya sangat lirih.

Sarah kemudian menjauh, melepaskan tangan dari wajah Hilda. Lalu ia mulai mengelap tangannya dengan sapu tangan kecil dengan wajah jijik, seperti yang biasa ia lakukan setiap kali selesai memegang Hilda. Selama beberapa saat ia hanya berdiri diam memandangi Hilda. Kami pun tentu saja ikut diam, menunggu aba-aba Sarah selanjutnya.

“Pergilah kalau begitu,” ujarnya pelan. Suaranya kini tiba-tiba terdengar jauh lebih lunak.

Hilda memberanikan diri untuk menatap Sarah sekilas, masih ragu dengan perkataan yang baru saja ia dengar.

“KUBILANG PERGI,” ulang Sarah lagi, sambil mengangkat tangannya tinggi untuk memaksanya pergi sebelum ia harus memukulnya lagi.

Hilda langsung berbalik dan berjalan dengan cepat keluar dari pintu kelas. Begitu Hilda menghilang di balik pintu, kami langsung membombardinya dengan pertanyaan tentang keputusannya membiarkan Hilda pergi tanpa ada tindakan yang ia lakukan biasanya. Apa yang dilakukan Sarah barusan bukan apa-apa.

“Besok datang lebih pagi,” perintah Sarah. Semuanya langsung diam mendengarkan dengan patuh.

“Tidak masalah. Tapi bagaimana dengan Hilda? Apa kau benar-benar membiarkannya lepas?” tanya Nika kemudian tak sabar. Ia berkacak pinggang, seolah merasa tidak adil karena membiarkan Hilda kabur begitu saja.

“Tentu saja tidak. Aku tau dia berbohong.”

“Lalu?”

“Aku menyuruh kalian datang lebih pagi besok untuk dia,” jawab Sarah. Ia berbalik dan menatap kami semua dengan senyum kemenangan. “Besok kita akan menyambut Hilda sebelum ia sempat mengikuti ujian kelulusan. Mungkin dengan seember air atau semacamnya,” sambungnya sambil terkekeh.

Dan kami semua ikut terkekeh senang, memuji idenya tersebut.

 

            

“Apa maksudmu bukan Sarah yang melakukannya?”

Lihat selengkapnya