ANGOR

Indah Thaher
Chapter #8

Terbuka dan Retak

Aku berlari sekencang mungkin ke depan, sambil menutup telingaku rapat-rapat. Tapi suara teriakan bercampur tangis itu tetap terdengar jelas. Justru suara itu kini semakin keras dan mulai menyakiti telingaku. Sekarang aku bisa mendengar bahwa ada tiga suara teriakan di sana, becampur menjadi satu. Dan semuanya sama-sama memberikan teriakan pilu yang membuat sekujur tubuhku merinding ketakutan.

Aku terus berlari menjauh dari manapun asal suara teriakan itu muncul, tapi tetap saja suara itu tidak mereda sedikit pun. Kini lapangan ini tiba-tiba saja bergerak tanpa ujung, membuatku seperti tetap berlari di tempat dan tidak pernah berpindah sedikit pun. Napasku kini mulai memburu penuh teror, menatap sekeliling dengan liar penuh kepanikan.

Kemudian terdengar suara api yang berkobar, bercampur menjadi satu dengan suara-suara teriakan itu. Aku langsung berputar dan mencari kobaran api yang seharusnya datang dekat dari tempatku berdiri.

Tapi tidak ada kobaran api di sana, bahkan asap mengepul sekali pun. Hanya ada aku yang berada di tengah lapangan kosong ini.

Aku mulai terisak panik, merasakan tanganku kini bergetar hebat penuh ketakutan.

“Kakak!” Suara itu berhasil membuatku menegang kaku beberapa saat, membuat pikiranku kosong.

Noah.

Aku langsung mendongak ke belakang dan rasa lega muncul dengan cepat saat aku mendapati adikku sedang berdiri tak jauh dariku. Aku langsung berlari menghampirinya. Begitu sampai di depannya, aku langsung membungkuk untuk memeluk badan kecilnya ke pelukanku. Seketika itu juga barulah aku sadar bahwa sejak tadi aku tidak lagi berada dalam tubuh kecilku.

Noah mulai menangis ketakutan. Dan aku langsung mengusap punggungnya, sambil membisikkan padanya kalau ia akan baik-baik saja dan aku akan melindunginya kapan pun berulang kali.

“Ayah dan Ibu hilang …” katanya sambil menangis terisak takut.

“Kita akan menemukan mereka, kita pasti akan menemukan mereka,” ujarku berulang kali dengan teguh. Kubisikkan terus ucapan itu padanya sampai ia mulai sedikit tenang.

Saat aku melepas pelukanku, aku baru menyadari bahwa sejak tadi suara teriakan-teriakan itu sudah lama hilang.

Aku menatap Noah dan mulai menghapus air mata dari pipinya yang kini sembab dan merah. Ia masih terisak diam, tapi sudah tidak lagi menangis.

“Kau aman sekarang bersamaku. Kita akan mencari Ayah dan Ibu bersama-sama,” janjiku.

Ia kemudian mengangguk kecil. Aku mulai bangkit berdiri sambil menggandeng tangan kecilnya bersamaku dan menatap ke sekeliling, mencari sosok Ayah dan Ibu dari kejauhan. Tapi tetap saja, halaman ini hanyalah berupa lapangan rumput tak berujung.

Aku mulai berjalan bersama Noah, mencari jalan keluar dari lapangan kosong ini.

“Noah!” panggil Ibu.

Aku langsung menoleh ke asal suara itu dan mendapati Ayah dan Ibu sudah berdiri di ujung lapangan rumput ini.

“Kemarilah, cepat!” panggil ayahku dengan suara was-was. Noah langsung melepaskan tanganku dan mulai berlari ke arah mereka. Aku mulai mengikutinya dan ikut berlari cepat. Lalu Noah tiba-tiba saja sudah jauh berada di depanku. Aku tetap berlari, namun anehnya, kakiku tidak bisa bergerak lebih cepat darinya. Aku ketinggalan jauh.

Ayah dan Ibu langsung memeluk Noah dengan erat begitu ia akhirnya sampai di ujung sana, sementara aku masih berlari jauh di di depan mereka.

Lalu mereka semua menatapku dengan sorot aneh.

Kemudian suara teriakan pilu bercampur tangisan itu kembali terdengar begitu keras, membuatku berhenti dan membungkuk sambil menutup telingaku rapat-rapat sekalipun aku tahu hal itu tidak akan membantu sedikit pun.

Lalu suara kobaran api muncul, seperti sebelumnya. Kini semua itu bercampur menjadi satu hingga membuatku kembali berteriak ketakutan.

Aku akhirnya memberanikan diri untuk membuka mata dan mulai berjalan ke arah keluargaku. Tapi seketika itu juga badanku langsung menegang tanpa nyawa.

Suara teriakan, tangisan dan kobaran itu ternyata berasal dari Ayah, Ibu dan Noah. Mataku terpaku melihat tubuh mereka kini tenggelam di antara kobaran api yang tiba-tiba muncul di tengah lapangan ini.

Mereka berteriak kencang, tangan mereka menggapai-gapai ke arahku meminta tolong. Sementara aku tidak bisa bergerak sedikit pun. Badanku beku.

Kemudian tiba-tiba tanah mulai bergetar hebat, seperti akan ikut runtuh jatuh terhisap ke dasar bumi.

“Tolong kami, Lauren—”

 

 

Aku membelalak lebar sambil megap-megap menarik napas. Mataku langsung jelalatan menatap ke sekeliling dengan gerakan liar, mencari entah apa. Selama beberapa saat aku bahkan tidak bisa berpikir apa-apa. Jantungku berdetak begitu keras dan cepat seperti akan meledak.

“Lauren! Buka pintunya!”

Aku langsung mendongak ke arah pintu dan menyadari sejak tadi suara ketukan keras itu berasal dari sana.

Lalu aku menyadari bahwa aku baru saja bermimpi buruk.

Mulutku masih terbuka, mencoba menghirup napas sebanyak mungkin untuk menenangkan jantungku yang masih bertalu-talu liar. Aku menatap ke sekeliling kamarku, kemudian pelan-pelan mulai merasakan ketenangan yang sejak tadi kuinginkan.

“Lauren!”

Aku menelan ludah, merasakan tenggorokanku yang sakit. “Ya, Bi.” Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.

Lihat selengkapnya