ANGOR

Indah Thaher
Chapter #9

Suka Tidak Suka

Aku menatap taman bermain itu dengan perasaan campur aduk. Taman bermain itu masih sama seperti yang terakhir kali kulihat, bahkan dalam mimpiku sekalipun. Hanya ada sedikit perbedaan di sana. Beberapa ayunan kini memiliki cat yang baru, tidak lagi terlihat kusam dan terkelupas. Selebihnya, benar-benar tidak ada yang berubah. Bahkan posisinya pun masih tetap sama.

Taman itu kini tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa anak kecil, bermain seluncuran bersama ibu mereka yang duduk di kursi taman yang tidak jauh dari mereka.

Rasanya aku tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu sejak aku hanya berdiri diam di depan taman itu. Pikiranku berputar-putar, kembali mengingat mimpi tentang Hilda.

Aku sadar itu bukan sepenuhnya mimpi.

Sebagian besar dari sana adalah kenyataan, sebuah ingatan.

Aku masih ingat taman ini saat aku dan yang lainnya masih menduduki SD. Dan aku jelas-jelas ingat bagaimana semua orang—termasuk aku, meneriaki Hilda dengan sebutan ‘Gembel tidak berayah’.

Jika kupikirkan lagi, sampai sekarang aku masih tidak mengerti mengapa Sarah menyebut Hilda dengan panggilan itu. Keluarga Hilda mungkin memang tidak kaya, tapi mereka juga bukan gembel yang tidak punya apa-apa. Mereka memiliki rumah yang layak dan sederhana, Ibu Hilda memiliki pekerjaan sebagai buruh dan pemilik toko roti kecil. Hilda dan adiknya juga bersekolah.

Mungkin itu hanya sebutan rendah yang bisa dipikirkan oleh Sarah, entahlah. Jujur, kukira sebutan itu hanya ia berikan karena didasari oleh ketidakdewasaannya saat itu. Bagaimana pun juga, saat itu juga Sarah masih anak-anak dan remaja yang tidak tahu apa-apa. Hanya meniru apa yang mereka lihat, dengar dan baca, lalu berbicara tanpa mengerti akibatnya.

Seingatku pun, sejak kami semua sudah SMA akhir, aku tidak lagi pernah mendengarnya menyebut Hilda dengan sebutan itu lagi.

Tanganku mulai mengepal, tiba-tiba merasakan dinginnya cuaca. Aku mengatupkan bahu ke leher sambil memasukkan kedua tanganku ke dalam saku jaket yang kukenakan. Langit memang sudah mulai gelap dan awan-awan pun sudah mulai menutupi matahari.

“Lauren?” panggil seseorang.

Aku menoleh dan mendapati suara itu berasal dari seorang bapak paruh baya penjual es krim yang berada tidak jauh dari tempatku berdiri. Senyumku langsung muncul tanpa bisa kutahan begitu aku mengenalinya. Ia pun kini tergelak pelan.

“Apa yang kau lakukan di sini? Kukira kau sudah pergi,” katanya dengan nada ceria.

Aku mulai berjalan menghampiri gerobak es krimnya yang berwarna kuning cerah. Lagi-lagi rasa familiar kembali menyelimutiku dengan cepat.

“Aku memutuskan tinggal beberapa hari lagi di sini.”

Ia mengangguk sambil tersenyum ramah. Aku mengamatinya beberapa saat, menyadari perubahan wajahnya kali ini. Pak Sanu masih selalu memakai topi kuning yang kini semakin terlihat usang. Dan aku bisa melihat semburat rambut putih menyelip keluar dari topinya. Tapi selebihnya ia masih sama. Ia masih memiliki mata yang tersenyum ramah pada siapa pun.

“Kau mau es krim?” tanyanya.

“Ya. Tentu saja.”

“Aku punya kesukaanmu.” Ia mulai menggeser pintu gerobak itu dan memasukkan tangannya ke dalam sambil mencari-cari. Beberapa saat kemudian ia mengeluarkan sebungkus es krim rainbow.

Aku langsung terkekeh. “Kesukaanku sejak dulu,” ujarku. Lalu aku terdiam sejenak. “Pak Sanu, aku beli 3 bungkus lagi.”

“Oke,” katanya sambil terkekeh. Sementara ia mulai memasukkan es krim itu ke dalam kantong, aku mulai mengeluarkan dompet dan mengambil beberapa lembar uang. Pak Sanu kemudian memberikan kantong berisi es krim itu padaku. Begitu aku memberikan uang padanya, ia langsung membelalak kaget.

“Ini kebanyakan, Lauren.”

“Tidak apa-apa. Anggap saja aku sedang mentraktir bapak,” sahutku sambil nyengir.

Ia terlihat ragu beberapa saat, kemudian ia mengambil uang itu dengan senyum tidak enak. “Terima kasih, ya.”

Aku mengangguk. “Sama-sama, Pak.”

Tiba-tiba saja semua ini kembali mengingatkanku saat dulu aku masih bersekolah. Sejak aku SD, Pak Sanu sudah berjualan es krim seperti ini. Hampir setiap pulang sekolah, Pak Sanu akan selalu ada di sini, kemudian saat sore ia akan berhenti di depan SMP Angor, lalu mulai berkeliling ke perumahan di kota ini.

“Aku tidak menyangka Bapak masih berjualan es krim di sini. Aku mendengar dari Paman kalau Bapak sudah memperluas toko es krim itu,” ujarku.

Lihat selengkapnya