ANGOR

Indah Thaher
Chapter #10

Dia atau Dia

Aku menatap punggung kecilnya yang ditutupi ransel besar berwarna biru pekat. Kepalanya bergerak sedikit, hendak ingin menoleh ke belakang. Gerakan kecil itu terlihat sangat ragu, seolah masih tidak yakin apakah ada yang memanggilnya atau tidak.

“Adit!” panggilku lagi. Kini aku sudah berada dekat di belakangnya.

Ia akhirnya berbalik dan melirikku dengan ragu. Aku langsung memberikannya senyum ramah, tapi Bocah itu hanya diam.

“Boleh aku berbicara denganmu sebentar saja?” tanyaku.

Ia kemudian menoleh ke belakang, melihat ke sekelilingnya beberapa saat lalu kembali menatapku. “Kakak berbicara denganku?” tanyanya dengan suara kecil. Aku merasakan nada takut di suaranya.

“Ya. Tentu saja,” ujarku sambil terkekeh, berusaha untuk membuatnya lebih nyaman. Tapi sepertinya itu tidak berhasil. Ia masih terlihat ragu, seolah ini pertama kalinya seseorang memanggilnya untuk berbicara padanya. Tangannya yang sejak tadi memegang erat tali sandang ranselnya kini mulai meremas-remas dengan gerakan cemas.

“Apa aku kenal dengan … Kakak?” tanyanya lagi.

Aku terdiam sejak, kemudian mulai menggigit bibir. “Mungkin tidak,” akuku. Senyumku kembali muncul. “Kau saat itu masih kecil sekali,” sambungku lagi.

Hanya pernah beberapa kali aku bertemu dengannya, saat masih digendong oleh ibunya kemana-mana. Dan terkadang Hilda juga sering terlihat bersama mereka.

“Aku Lauren. Keponakan Paman Septa. Dulu aku tinggal di kota ini, di Jalan Rahani,” kataku lagi.

Ia mengamatiku beberapa saat, tapi aku menyadari ia mengetahui informasi yang baru saja kukatakan padanya. Aku yakin ia pasti mengenal pamanku. Pamanku bekerja sebagai manajer tempat pabrik ibunya bekerja dan istrinya—bibiku, adalah pemilik restoran yang berada tidak jauh dari yang dahulu adalah toko roti Ibu Hilda.

Aku mulai berjalan mendekatinya, lalu duduk di tepi trotoar tepat di sebelahnya. Ia memandangiku, masih terlihat bingung dengan niatku. Sampai akhirnya aku menyadari bahwa sejak tadi matanya tertuju pada kantong plastik yang kubawa. Aku kemudian langsung mengangkat kantong plastik ke arahnya. Kantong plastik putih itu kini mulai berembun.

“Es krim untukmu,” ujarku sambil tersenyum padanya.

Ia memandangi kantong plastik itu dan aku dengan bergantian, kembali terlihat ragu. Dan lagi-lagi aku menyadari sikapnya ini seolah-olah menunjukkan betapa jarangnya ia berbicara dengan orang lain apalagi mendapat hadiah seperti ini.

Aku mendorong kantong itu ke tangannya. “Ambillah. Ini hadiah. Dan kurasa kau harus memakannya sekarang sebelum keburu meleleh.”

Ia akhirnya mengambil kantong itu lalu mulai melirikku sekilas. “Terima kasih, Kak,” gumamnya.

“Sama-sama,” sahutku.

Aku mengamatinya kini mulai memasukkan tangannya ke dalam kantong. Kemudian sedetik kemudian ia menyodorkan sebungkus es krim padaku. Aku menatapnya dengan bingung.

“Es krimnya ada banyak,” ujarnya dengan pelan.

Aku tersenyum, lalu mengambil es krim tersebut dan mulai membukanya.

Ia akhirnya duduk di sampingku, lalu mulai mengeluarkan lagi sebungkus es krim dari kantong itu. Kantong itu kemudian ia taruh di sampingnya dengan sikap hati-hati.

Aku mengamati Adit yang kini mulai menjilati es krimnya. Wajahnya terlihat lebih rileks dan kini aku mulai merasakan sorot senang di matanya—sorot yang selalu muncul pada setiap anak kecil yang mengagumi es krim.

Ia jelas memiliki banyak kemiripan dengan ibunya dan tentu saja Hilda. Mereka sama-sama memiliki dagu mungil, dengan sepasang mata hitam bulat yang terlihat dalam. Badannya sedikit kurus, dan ia sedikit lebih tinggi daripada kebanyakan anak umur 9 tahun pada umumnya. Tidak ada yang mungkin menyadari hal ini, tapi sebenarnya Adit justru lebih mirip dengan Hilda daripada ibunya. Kurasa itu artinya Hilda dan Adit lebih mirip dengan ayahnya.

Aku sendiri tidak terlalu banyak mendengar tentang ayah mereka, bahkan melihatnya di kota ini. Yang aku tahu ayah mereka bekerja di luar pulau—atas perintah pabrik di sini dan sangat jarang sekali pulang. Sampai saat sebulan setelah Adit lahir, ia tiba-tiba dikabarkan meninggal dunia.

“Kuharap kau suka es krim ini. Ini kesukaanku dari dulu,” ujarku sambil ikut mulai menyantap es krim ini.

“Ini enak,” jawabnya singkat dan sopan. Adit melirikku sekilas, dan wajahnya terlihat kembali sedikit kikuk bercampur bingung. “Ibu jarang membelikanku es krim,” katanya.

Aku mengangguk paham. “Kuharap ibumu tidak memarahiku karena hal ini,” candaku.

Lihat selengkapnya